Korban pemerkosaan dan jual beli manusia masih menggigil dan merintih kesakitan. Seorang warga Poso, Sulawesi Tengah, berinisial MA korban pemerkosaan dan trafficking Rabu dini hari (5/5) terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Umum (RSU) Anutapura, Palu, karena mengalami luka memar di bagian kepala, leher, perut, dan pipi.
MA yang dirawat di ruangan Camar RSU Anutapura masih dalam kondisi terbaring. Muka dan memarnya juga masih terlihat kehitam-hitaman. “Semalam saya menggigil menahan rasa sakit dibagian kepala, leher, perut dan pipi,” katanya.
Menurut MA, rasa sakit yang paling perih dirasakannya di bagian kepala. Pada saat itu, pelaku pemerkosa dan penganiaya bernama Briptu LK dan Briptu YT menyetubuhinya lalu memukul dia. “Kepala saya terbentur di tembok, sehingga rasa sakit di bagian kepala,” ujarnya.
Pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulteng Saraswati yang mendampingi MA di RSU Anutapura mengatakan, keberangkatan MA ke Polres Poso untuk memberikan laporan tambahan terpaksa dibatalkan. Karena kondisi korban tidak memungkinkan untuk diberangkatkan ke Poso, namun pihaknya telah memberitahu pihak Polres Poso agar mengagendakan lagi pertemuan MA dan Polres Poso setelah kondisi MA sudah sehat.
Koordinator UGD RSU Anutapura dr H Husaema MM membenarkan adanya pasien yang masuk pada pukul 02.30 wita, dengan keluhan sakit perut. Tapi masalah keterangan visum dia belum bisa memberikan keterangan kepada wartawan, karena ini mengangkut hak kepribadian seseorang. “Ya benar memang ada pasien dari Tentena yang masuk tadi subuh, dia mengalami sakit perut, masalah visumnya saya belum bisa memberikan keterangan,” jelas Husaema.
Sementara bagian Operasional LBH Sulteng Syahruddin mengatakan, tindakan oknum polisi terhadap MA sudah tidak bisa ditolerir lagi, karena selain oknum tersebut melakukan penganiayaan, dia juga melakukan pemerkosaan dan trafficking, berarti pelaku tersebut sudah melanggar undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Oknum polisi ini kata dia, menjadikan Pos Polmas Sangele sebagai tempat maksiat bukan lagi berfungsi sebagai pos penjagaan masyarakat, sementara kapolres Poso juga tidak melakukan pengawasan terhadap fungsi pos Polmas ini. Sehingga para oknum polisi yang bertugas disitu seenaknya saja berbuat hal-hal yang merugikan masyarakat.
“Kapolres seharusnya melakukan pengawasan terhadap Pos Polmas berfungsi secara maksimal atau tidak, karena kasus ini salah satu contoh bahwa pos Polmas hanya dijadikan sebagai tempat maksiat, kalau memang seperti itu pos Polmas ya ditutup saja,” tutur Syahruddin.
DARLIS.tempointeraktif.com
MA yang dirawat di ruangan Camar RSU Anutapura masih dalam kondisi terbaring. Muka dan memarnya juga masih terlihat kehitam-hitaman. “Semalam saya menggigil menahan rasa sakit dibagian kepala, leher, perut dan pipi,” katanya.
Menurut MA, rasa sakit yang paling perih dirasakannya di bagian kepala. Pada saat itu, pelaku pemerkosa dan penganiaya bernama Briptu LK dan Briptu YT menyetubuhinya lalu memukul dia. “Kepala saya terbentur di tembok, sehingga rasa sakit di bagian kepala,” ujarnya.
Pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulteng Saraswati yang mendampingi MA di RSU Anutapura mengatakan, keberangkatan MA ke Polres Poso untuk memberikan laporan tambahan terpaksa dibatalkan. Karena kondisi korban tidak memungkinkan untuk diberangkatkan ke Poso, namun pihaknya telah memberitahu pihak Polres Poso agar mengagendakan lagi pertemuan MA dan Polres Poso setelah kondisi MA sudah sehat.
Koordinator UGD RSU Anutapura dr H Husaema MM membenarkan adanya pasien yang masuk pada pukul 02.30 wita, dengan keluhan sakit perut. Tapi masalah keterangan visum dia belum bisa memberikan keterangan kepada wartawan, karena ini mengangkut hak kepribadian seseorang. “Ya benar memang ada pasien dari Tentena yang masuk tadi subuh, dia mengalami sakit perut, masalah visumnya saya belum bisa memberikan keterangan,” jelas Husaema.
Sementara bagian Operasional LBH Sulteng Syahruddin mengatakan, tindakan oknum polisi terhadap MA sudah tidak bisa ditolerir lagi, karena selain oknum tersebut melakukan penganiayaan, dia juga melakukan pemerkosaan dan trafficking, berarti pelaku tersebut sudah melanggar undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Oknum polisi ini kata dia, menjadikan Pos Polmas Sangele sebagai tempat maksiat bukan lagi berfungsi sebagai pos penjagaan masyarakat, sementara kapolres Poso juga tidak melakukan pengawasan terhadap fungsi pos Polmas ini. Sehingga para oknum polisi yang bertugas disitu seenaknya saja berbuat hal-hal yang merugikan masyarakat.
“Kapolres seharusnya melakukan pengawasan terhadap Pos Polmas berfungsi secara maksimal atau tidak, karena kasus ini salah satu contoh bahwa pos Polmas hanya dijadikan sebagai tempat maksiat, kalau memang seperti itu pos Polmas ya ditutup saja,” tutur Syahruddin.
DARLIS.tempointeraktif.com
0 komentar:
Posting Komentar