Citra polisi Indonesia di mata dunia, terkesan seperti runyam. Amnesty International (AI) yang bermarkas di London menyatakan, Polri masih sering terlibat kekerasan dan penyiksaan para tersangka. Laporan AI ini yang disiarkan Rabu (24/6), juga menyebutkan, para pelakunya jarang diadili. Lembaga ini mengakui, berbagai upaya dalam satu dasa warsa ini telah dilakukan untuk membuat polisi lebih profesional dan akuntabel. Namun langkah ini gagal.
Dalam laporannya AI juga menyebutkan aparat Polri kerap melakukan penyiksaan terhadap tahanan, bahkan biasanya bersikap brutal terhadap para pecandu narkoba dan kaum wanita khususnya pelacur. Selain itu Polri kerap meminta uang sogokan dari para tahanan jika ingin mendapatkan perlakukan yang lebih baik atau hukuman yang lebih ringan. Laporan AI menunjukkan betapa meluasnya budaya penyiksaan yang dilakukan kalangan polisi Indonesia.
Wakil Direktur AI untuk Asia Pasifik, Donna Guest, Rabu mengatakan, peran utama polisi adalah menerapkan hukum dan melindungi hak-hak azasi manusia, namun sering kali banyak perwira polisi yang bersikap seakan-akan berada di atas hukum.
AI melakukan penelitian kurun waktu Juni 2008 hingga April 2009, mengindikasikan meningkatnya penyiksaan bagi tersangka usai penangkapan, ujar Peneliti Indonesia dan Timur Leste AI, nyonya Issabelle Arradon di Jakarta, Rabu. Mereka yang menjadi korban kekerasdan polisi, mayoritas kaum marginal dan pekerja seks komersial. Gawatnya, mayoritas polisi yang melakukan tindakan tersebut tidak dihukum. Umumnya mereka dikenakan sanksi disiplin dan mutasi tempat kerja.
Penilaian dari lembaga internasional itu bukan cerita baru bagi rakyat Indonesia mengenai citra polisi. Polisi mutlak diperlukan, walau pun tingkah laku dan sikapnya perlu dibenahi. Masih perlu ditelusuri, mengapa polisi rajin menyiksa tersangka dalam tahanan. Kemungkinan ini merupakan warisan polisi kolonial Belanda yang terbilang kejam terhadap penduduk, yang sampai saat ini sulit dihilangkan.
Masuk sekolah polisi di tanah air ini khususnya di Medan bukan kerja gampang. Para calon siswa tidak hanya mengandalkan otak yang cerdas, fisik yang kokoh dan ketrampilan, tetapi juga harus ada ujung-ujungnya, yang semua orang awam mampu merabanya. Untuk membuktikannya sangat mustahil, karena seperti “menangkap angin, memang terasa tapi tidak terpegang”. Masalah seperti ini sudah menjadi rahasia umum dan dari produk seperti ini sulit diperoleh polisi yang professional.
Dalam pemeriksaan tersangka di tahanan juga kerap terjadi ucapan klise. Jika ada tahanan yang tidak mengaku, seenak perutnya juru periksa mengatakan, “Mana ada maling yang mengaku”. Dari sikap seperti ini diperoleh petunjuk, polisi perlu belajar lebih banyak lagi mengenai tekhnik-tekhnik pemeriksaan, yang akan menggiring tersangka memberikan pengakuan dengan sukarela. Tapi yang kerap terjadi seperti yang dikemukakan AI, juru periksa main “puk-pak” untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka.
Barangkali masih ada kurikulum “menggimbal tahanan” yang harus dibuang dari sekolah polisi, hingga polisi kerap main gimbal terhadap tahanan, mirip pembajak di sawah yang melecut lembunya hingga bilur-bilur agar berjalan menarik mata bajak. Penyiksaan terhadap tahanan menunjukkan, aparat kepolisian tidak secuil pun menghormati HAM dalam upaya mengorek pengakuan.
Ada semacam anekdot yang berkembang semasa era Orde Baru, yang sampai sekarang tidak diketahui siapa penggubahnya. Konon ada seorang polisi pensiunan Indonesia sedang jalan-jalan ke Perancis. Ketika itu di Perancis, para arkeolog sedang menditeksi usia satu mummy yang tiba dari Mesir. Selain pakar Perancis, juga dari Rusia, Jerman, Inggeris dan Timur, tidak mampu mengetahui berapa ratus tahun mayat yang terbungkus kain putih dalam kotak tembaga itu.
Isreal yang kesohor memiliki arkeolog handalan, juga tidak mampu menetapkan usia mummy tersebut. Seseorang memberi tahu, ada seorang pensiunan polisi dari Indonesia sedang jalan-jalan di kota Paris. Pensiunan polisi itu diundang dan diberitahu permasalahannya. Dengan membusungkan dada dan langkah percaya, polisi pensiunan itu masuk ke ruang mummy. Para arkeolog dari negara-negara lain dengan hati berdebar-debar menunggu hasil penelitian.
Berbeda dengan pakar lain yang melakukan penelitian dengan satu tim dan membutuhkan waktu berhari-hari, polisi pensiunan itu hanya cukup satu jam.
Ia pun berteriak di hadapan para arekolog itu dengan mengatakan, “Tiga ribu tahun usia mummy itu”. Para pakar dari negara-negara lain ternganga karena takjub mendengar hasil penelitian. Ketika seorang pakar bertanya, bagaimana anda bisa memastikannya. Polisi pensiunan itu mengatakan, “Kugimbal dia hingga mengaku”.
Anekdot itu membuat banyak pendengar tertawa, tapi menampar muka polisi. Dari gambaran ini menunjukkan, tingkah laku polisi masih belum berubah, mungkin warisan dari sikap polisi kolonial yang sampai kini tidak terhapus. Banyak anekdot lain yang memojokkan polisi, tapi yang satu ini memang ada kaitannya dengan penilaian AI yang bermarkas di London, mengenai tingkah laku polisi yang perlu dibenahi. (R01MOS).-
sumber:www.antarasumut.com
Rabu, 30 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Istri Tewas & Suami Dipenjara
Pengacara: BAP Lanjar Dibuat Seolah-olah Kecelakaan Tunggal.
Polisi dinilai sengaja membuat penyimpangan dalam kasus kecelakaan yang menimpa Lanjar. Dalam BAP Lanjar, tidak disebutkan bahwa istrinya tewas akibat tertabrak mobil setelah terjatuh dari motor. Kecelakaan yang dialami Lanjar dibuat seolah-olah kecelakaan tunggal
selengkapnya
Denda Tilang Tidak Lebih dari 50rb (INFO WAJIB DIBACA!!)
Beberapa waktu yang lalu sekembalinya berbelanja kebutuhan, saya sekeluarga pulang dengan menggunakan taksi. Ada adegan yang menarik ketika saya menumpang taksi tersebut, yaitu ketika sopir taksi hendak ditilang oleh polisi. Sempat teringat oleh saya dialog antara polisi dan sopir taksi..
selengkapnya
0 komentar:
Posting Komentar