Seorang oknum polisi di wilayah hukum Polres Labuhanbatu yang disinyalir bertugas sebagai satuan Polantas lengkap dengan seragam polisinya, Jumat (27/8) sekitar pukul 10.10 WIB menabrak seorang ibu yang sedang mengendarai sepeda motor di bilangan Jalan Jenderal Sudirman. Akibatnya, ibu itupun terjatuh, sedangkan anaknya berusia lebih kurang satu tahun sempat tertimpa sepeda motor ibunya.
Informasi yang diperoleh Global menyebutkan, kejadian berawal saat ibu beserta anaknya dengan mengendarai sepeda motor bebek yang semula datang dari arah Simpang VI hendak berbalik arah melalui jalan pemisah/jalan satu arah atau tepatnya di depan rumah makan Pagaruyung. Namun entah bagaimana, tiba-tiba oknum yang diduga Polantas mengendarai Daihatsu Terios BK 1171 KF menabrak sepeda motor mereka dari arah belakang.
Akibat dorongan mobil itu, keduanya terjatuh hingga balita si ibu sempa berada di bawah tindihan kenderaan beberapa saat. Ditambah saksi mata, oknum polisi lalu keluar dari mobilnya dan menyarankan agar ibu dan anaknya yang sedang dikerumuni puluhan warga lainnya karena merasa kasihan akibat terus menanggis untuk agar segera berobat dan bertanggungjawab atas biaya perobatannya.
Belum lagi korban dibawa ke rumah sakit, secara kebetulan Ketua DPRD Kabupaten Labuhanbatu Hj Ellya Riosa Siregar melintas dan melihat kejadian itu. Naluri keibuannya mungkin timbul dan bersedia membawa ibu dan anak berobat ke rumah sakit. "Ya sudah, biar kita bawa ke rumah sakit saja dulu," ujar Elya Rosa.
Saat hendak berangkat ke RSUD Rantauprapat, dari luar jendela mobil Ketua DPRD, oknum Polantas sempat berpesan kepada korban agar segera menemuinya nanti setelah selesai berobat di rumah sakit, sambil memberikan kartu tanda pengenalnya. Namun aksi Polantas tersebut menjadi bahan gelak tawa warga. Sebab mereka yakin bahwa hal itu sudah ditangani Ellya Rosa beserta perobatannya.
"Nggak usah pala, ada Ketua DPRD kok, pasti amannya itu," sindir warga.
http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=44060:duh-oknum-polantas-labuhanbatu-tabrak-warga&catid=32:sumut-dan-aceh&Itemid=58
Sabtu, 28 Agustus 2010
Jumat, 27 Agustus 2010
Memeras, Dua Polisi Ditahan
Kesatuan Reserse dan Kriminal Polrestabes Makassar, menahan dua orang oknum polisi bernama Briptu Laode Rahman dan Briptu Aditya, Kamis petang 26 Agustus. Keduanya dijebloskan ke sel Polrestabes Makassar.
Briptu Laode Rahman yang bertugas sebagai penyidik Polsekta Wajo dan Briptu Aditya anggota Polrestabes Makassar ditahan karena terbukti kuat memeras pelaku judi yang ditangkap pada Rabu malam, 25 Agustus. Dua orang warga sipil yang terlibat pemerasan, juga ikut ditahan.
Data yang diperoleh, kasus pemerasan ini bermula ketika kedua polisi tersebut mendapat laporan adanya perjudian di sebuah rumah di Jalan Cilallang II nomor 15. Informasi ini, datang dari dua warga sipil yang ikut ditahan karena terlibat pemerasan pelaku judi.
Kedua polisi yang kebetulan sedang patroli itu menuju lokasi dimaksud, sekira pukul 23.00. Tiga pria masing-masing Iwan, Agus, dan Alam pun diciduk dari depan rumah tempatnya berjudi. Mereka kemudian membawa ketiganya berputar-putar dalam kota menggunakan motor.
Tak lama berselang, kedua polisi tersebut mendatangi lagi rumah ketiga pelaku. Salah seorang kerabat pelaku bernama Ria, kemudian diberitahu kalau adiknya ditangkap polisi lantaran terlibat dalam perjudian.
"Saya diminta menyetor uang sebesar Rp 4,5 juta, jika ingin adik saya dilepas. Tetapi, saya hanya sanggup menyetor Rp 3 juta," ujar Ria, petang kemarin.
Bukan cuma Ria, kerabat dua tersangka lainnya juga dimintai uang sebesar Rp 3 juta. Total Rp 6 juta uang diambil polisi dari kerabat para tersangka judi. Tak terima pemerasan yang dilakukan polisi, Ria akhirnya melapor ke Polsekta Rappocini.
Namun, petang kemarin kasusnya diambil alih Polrestabes Makassar. Dalam kasus ini, polisi mengamankan barang bukti uang Rp 6 juta, senjata mainan satu unit, dan enam butir peluru tajam.
Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, AKBP Fajaruddin, dihubungi malam tadi membenarkan penangkapan kedua polisi tersebut bersama dua warga sipil lainnya. "Mereka dilaporkan memeras. Saat ini sudah ditahan dan diperiksa lebih lanjut," terangnya.
Secara terpisah, Kanit Pelayanan, Pengaduan, dan Penegakan Disiplin (P3D) Polrestabes Makassar, AKP Djoko MW ikut membenarkan keterlibatan dua polisi dalam kasus pemerasan tersangka judi. Keduanya ditangkap Polsekta Rappocini, namun telah diserahkan ke Polrestabes. "Mereka diproses pidana dulu.
Setelah itu baru diproses disiplinnya. Sanksi terberatnya bisa saja pemecatan, jika dalam pemeriksaan nantinya terbukti kuat. Anggota polisi yang terlibat lebih dulu disidang kode etik sebelum dipecat," tegas Djoko. (ram)
http://metronews.fajar.co.id/read/103117/10/memeras-dua-polisi-ditahan
Briptu Laode Rahman yang bertugas sebagai penyidik Polsekta Wajo dan Briptu Aditya anggota Polrestabes Makassar ditahan karena terbukti kuat memeras pelaku judi yang ditangkap pada Rabu malam, 25 Agustus. Dua orang warga sipil yang terlibat pemerasan, juga ikut ditahan.
Data yang diperoleh, kasus pemerasan ini bermula ketika kedua polisi tersebut mendapat laporan adanya perjudian di sebuah rumah di Jalan Cilallang II nomor 15. Informasi ini, datang dari dua warga sipil yang ikut ditahan karena terlibat pemerasan pelaku judi.
Kedua polisi yang kebetulan sedang patroli itu menuju lokasi dimaksud, sekira pukul 23.00. Tiga pria masing-masing Iwan, Agus, dan Alam pun diciduk dari depan rumah tempatnya berjudi. Mereka kemudian membawa ketiganya berputar-putar dalam kota menggunakan motor.
Tak lama berselang, kedua polisi tersebut mendatangi lagi rumah ketiga pelaku. Salah seorang kerabat pelaku bernama Ria, kemudian diberitahu kalau adiknya ditangkap polisi lantaran terlibat dalam perjudian.
"Saya diminta menyetor uang sebesar Rp 4,5 juta, jika ingin adik saya dilepas. Tetapi, saya hanya sanggup menyetor Rp 3 juta," ujar Ria, petang kemarin.
Bukan cuma Ria, kerabat dua tersangka lainnya juga dimintai uang sebesar Rp 3 juta. Total Rp 6 juta uang diambil polisi dari kerabat para tersangka judi. Tak terima pemerasan yang dilakukan polisi, Ria akhirnya melapor ke Polsekta Rappocini.
Namun, petang kemarin kasusnya diambil alih Polrestabes Makassar. Dalam kasus ini, polisi mengamankan barang bukti uang Rp 6 juta, senjata mainan satu unit, dan enam butir peluru tajam.
Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, AKBP Fajaruddin, dihubungi malam tadi membenarkan penangkapan kedua polisi tersebut bersama dua warga sipil lainnya. "Mereka dilaporkan memeras. Saat ini sudah ditahan dan diperiksa lebih lanjut," terangnya.
Secara terpisah, Kanit Pelayanan, Pengaduan, dan Penegakan Disiplin (P3D) Polrestabes Makassar, AKP Djoko MW ikut membenarkan keterlibatan dua polisi dalam kasus pemerasan tersangka judi. Keduanya ditangkap Polsekta Rappocini, namun telah diserahkan ke Polrestabes. "Mereka diproses pidana dulu.
Setelah itu baru diproses disiplinnya. Sanksi terberatnya bisa saja pemecatan, jika dalam pemeriksaan nantinya terbukti kuat. Anggota polisi yang terlibat lebih dulu disidang kode etik sebelum dipecat," tegas Djoko. (ram)
http://metronews.fajar.co.id/read/103117/10/memeras-dua-polisi-ditahan
Jelang Lebaran, Oknum Polisi Peras Pengendara Motor
Pengendara sepeda motor di Kabupaten Garut, Jawa Barat, beberapa hari belakangan mengeluhkan sikap oknum polisi lalulintas yang kerap memeras pengendara motor. Oknum-oknum petugas itu menghentikan pengemudi dengan dalih melanggar aturan lalu lintas. Namun bukannya memberikan surat tilang, oknum itu malah meminta sejumlah uang.
Ujang Rahmat, 23 tahun warga warung Tanjung, Desa Pasawahan, Kecamatan Tarogong Kaler, mengaku pernah menjadi korban ulah oknum polisi itu. Saat itu lampu sepeda motor Ujang tidak menyala.
Menurut Ujang, setelah dia berhenti, oknum polisi itu langsung meminta uang Rp 100 ribu. Karena saat itu Ujang menolak, oknum tadi menurunkan tawaran Rp 50 ribu. Ujang tetap menolak dan memilih untuk ditilang. “Bukannya saya tidak punya uang, tapi lebih baik saya ditilang biar uang dendanya masuk ke negara,” ujarnya saat ditemui di Jalan Guntur, Kecamatan Garut Kota, Kamis (26/8) .
Cuncun, 38 tahun, juga pernah mengalami kasus serupa. Seorang oknum polisi menghentikan motornya dan memeriksa surat-surat kendaraan. Kebetulan saat itu Cuncun belum membayar pajak kendaraan yang sudah jatuh tempo. “Saya kasih saja polisi Rp 50 ribu,” ujarnya.
Kepala Kepolisian Resort Garut, Ajun Komisaris Polisi Besar Yayat Ruhiat Hidayat menyatakan akan menelusuri permasalahan tersebut. Dia juga berjanji akan membenahi institusinya agar praktek pungli tidak terulang kembali. “Saya belum banyak mengetahui masalah itu, soalnya baru dua hari di Garut," katanya.
Dia berjanji membenahi kinerja anak buahnya. "Jangan sampai polisi hanya mencari-cari kesalahan,” ujarnya melalui telpon.
Menurut Yayat, praktik pungutan liar yang terjadi di jalan raya itu terjadi diakibat adanya kesempatan dan ada yang memberikan kesempatan. Apalagi banyak pengendara yang melakukan pelanggaran namun tidak mau repot dengan proses hukum. “Makanya suka ada yang nitip ke polisi,” ujar Yayat.
Sigit Zulmunir
sumber tempointeraktif
Ujang Rahmat, 23 tahun warga warung Tanjung, Desa Pasawahan, Kecamatan Tarogong Kaler, mengaku pernah menjadi korban ulah oknum polisi itu. Saat itu lampu sepeda motor Ujang tidak menyala.
Menurut Ujang, setelah dia berhenti, oknum polisi itu langsung meminta uang Rp 100 ribu. Karena saat itu Ujang menolak, oknum tadi menurunkan tawaran Rp 50 ribu. Ujang tetap menolak dan memilih untuk ditilang. “Bukannya saya tidak punya uang, tapi lebih baik saya ditilang biar uang dendanya masuk ke negara,” ujarnya saat ditemui di Jalan Guntur, Kecamatan Garut Kota, Kamis (26/8) .
Cuncun, 38 tahun, juga pernah mengalami kasus serupa. Seorang oknum polisi menghentikan motornya dan memeriksa surat-surat kendaraan. Kebetulan saat itu Cuncun belum membayar pajak kendaraan yang sudah jatuh tempo. “Saya kasih saja polisi Rp 50 ribu,” ujarnya.
Kepala Kepolisian Resort Garut, Ajun Komisaris Polisi Besar Yayat Ruhiat Hidayat menyatakan akan menelusuri permasalahan tersebut. Dia juga berjanji akan membenahi institusinya agar praktek pungli tidak terulang kembali. “Saya belum banyak mengetahui masalah itu, soalnya baru dua hari di Garut," katanya.
Dia berjanji membenahi kinerja anak buahnya. "Jangan sampai polisi hanya mencari-cari kesalahan,” ujarnya melalui telpon.
Menurut Yayat, praktik pungutan liar yang terjadi di jalan raya itu terjadi diakibat adanya kesempatan dan ada yang memberikan kesempatan. Apalagi banyak pengendara yang melakukan pelanggaran namun tidak mau repot dengan proses hukum. “Makanya suka ada yang nitip ke polisi,” ujar Yayat.
Sigit Zulmunir
sumber tempointeraktif
Mubalig Muhammadiyah Dipukuli Oknum Polisi Usai Tarawih
Tak diduga, dalam kegelapan malam saat mati lampu, usai melaksanakan shalat Tarawih, Ustad Ahmad Nazari Nasution (63) dipukuli oknum polisi di Padangsidempuan Hutaimbaru, Sumut.
Ustad Ahmad tiba tiba dipukuli, ditendang dan digiring ke mapolsek Padangsidimpuan yang hanya berjarak puluhan meter. Sudah begitu, di dalam kantor mapolsek korban kembali mendapat penganiayaan fisik dari oknum polisi tersebut.
Akibatnya, Mubalig Muhammadiyah ini pahanya, punggung dan kedua lengan mengalami memar dan bengkak. Ustad Ahmad Nazari Nasution merupakan warga Sabungan Indah, Padangsidempuan Hutaimbaru, Kota Padangsidempuan, yang juga sesepuh Muhammadiyah setempat.
Awalnya, ketika terjadi mati lampu itu, dia berteriak "kapore kang" yang berarti "ada apa" secara spontan karena kaget tiba tiba gelap. Oknum polisi yang kemudian diketahui bernama AHL itu langsung menghampiri dan memukulinya.
"Sekitar sepuluh menit ayah saya menjadi bulan-bulanan oknum polisi itu, dan kemudian melepaskannya dengan tendangan keras sehingga ayah saya tersungkur ke tanah. Ayah saya kemudian berjalan tertatih-tatih ke rumah," ungkap Berlin anak dari korban kepada para wartawan di Kantor PWI Perwakilan Tapsel-Sidempuan, Kamis (26/8/2010).
Berlin mengadukan kasus ini kepada wartawan karena kejadian yang menimpa ayahnya sepekan lalu itu belum ada kabar penanganan dari pihak berwajib.
Pihak korban sudah melaporkan kasus penganiayaan ini ke Polres Padangsidimpuan, namun hingga kini belum ada tanda-tanda penyelesaiaan.
"Kami berharap oknum tersebut dapat diberikan hukuman setimpal. Ayah saya kini harus menghentikan sementara aktivitas dakwahnya karena kondisi badannya yang belum sehat," katanya.
Kapolres Padangsidempuan AKBP Rony Bactiar Arief mengatakan kasus penganiayaan ini sudah ditangani provost dan telah dilakukan upaya perdamaian.
"Kedua pihak telah sepakat berdamai, namun oknum tersebut tetap kita lakukan proses hukuman," ujarnya kepada tribun medan.
Anggota DPRD Padangsidempuan, Khoiruddin Nasution, mengutuk keras tindakan penganiayaan yang dilakukan oknum polisi Polsek Padangsidempuan Hutaimbaru terhadap seorang sesepuh Muhammadiyah di daerah tersebut.
"Tindakan oknum polisi ini tidak bisa ditolelir apapun alasannya. Kami minta Polres Padangsidimpuan segera menuntaskan kasus tersebut. MUI juga harus mengambil sikap, jangan hanya sibuk mengurusi hal-hal yang berbau administarsi saja," ujar Khoiruddin. (*)
Editor : widodo
Source : Tribun Medan
Ustad Ahmad tiba tiba dipukuli, ditendang dan digiring ke mapolsek Padangsidimpuan yang hanya berjarak puluhan meter. Sudah begitu, di dalam kantor mapolsek korban kembali mendapat penganiayaan fisik dari oknum polisi tersebut.
Akibatnya, Mubalig Muhammadiyah ini pahanya, punggung dan kedua lengan mengalami memar dan bengkak. Ustad Ahmad Nazari Nasution merupakan warga Sabungan Indah, Padangsidempuan Hutaimbaru, Kota Padangsidempuan, yang juga sesepuh Muhammadiyah setempat.
Awalnya, ketika terjadi mati lampu itu, dia berteriak "kapore kang" yang berarti "ada apa" secara spontan karena kaget tiba tiba gelap. Oknum polisi yang kemudian diketahui bernama AHL itu langsung menghampiri dan memukulinya.
"Sekitar sepuluh menit ayah saya menjadi bulan-bulanan oknum polisi itu, dan kemudian melepaskannya dengan tendangan keras sehingga ayah saya tersungkur ke tanah. Ayah saya kemudian berjalan tertatih-tatih ke rumah," ungkap Berlin anak dari korban kepada para wartawan di Kantor PWI Perwakilan Tapsel-Sidempuan, Kamis (26/8/2010).
Berlin mengadukan kasus ini kepada wartawan karena kejadian yang menimpa ayahnya sepekan lalu itu belum ada kabar penanganan dari pihak berwajib.
Pihak korban sudah melaporkan kasus penganiayaan ini ke Polres Padangsidimpuan, namun hingga kini belum ada tanda-tanda penyelesaiaan.
"Kami berharap oknum tersebut dapat diberikan hukuman setimpal. Ayah saya kini harus menghentikan sementara aktivitas dakwahnya karena kondisi badannya yang belum sehat," katanya.
Kapolres Padangsidempuan AKBP Rony Bactiar Arief mengatakan kasus penganiayaan ini sudah ditangani provost dan telah dilakukan upaya perdamaian.
"Kedua pihak telah sepakat berdamai, namun oknum tersebut tetap kita lakukan proses hukuman," ujarnya kepada tribun medan.
Anggota DPRD Padangsidempuan, Khoiruddin Nasution, mengutuk keras tindakan penganiayaan yang dilakukan oknum polisi Polsek Padangsidempuan Hutaimbaru terhadap seorang sesepuh Muhammadiyah di daerah tersebut.
"Tindakan oknum polisi ini tidak bisa ditolelir apapun alasannya. Kami minta Polres Padangsidimpuan segera menuntaskan kasus tersebut. MUI juga harus mengambil sikap, jangan hanya sibuk mengurusi hal-hal yang berbau administarsi saja," ujar Khoiruddin. (*)
Editor : widodo
Source : Tribun Medan
Ketidakadilan Tembak Mati Maling Helm, Polisi Benar
Polda Kalimantan Selatan bersukukuh bahwa anggotanya sudah menjalankan prosedur dengan benar dalam kasus tewasnya tersangka maling helm, Bahran (28), yang ditembak polisi gara-gara akan kabur, Rabu (25/8/2010) malam lalu.
Kepala Bidang Propam Polda Kalimantan Selatan, AKBP Zuhdi Arrasuli, mengaku pihaknya masih menunggu berita acara laporan teknis kejadian tersebut.
Tanggung jawab secara kemanusiaan, yaitu turut berbelasungkawa atas meninggalnya tersangka.
Namun, Zuhdi sudah berani menyatakan, petugas sudah melakukan tindakan sesuai standar prosedur operasional.
"Sebenarnya kejadian tersebut petugas melakukan sesuai SOP pihak kepolisian, terkait situasi yang emergency," kata Zuhdi, Kamis (26/8/2010).
Meski begitu, Zuhdi mengatakan, secara prosedur pihak kepolisian juga turut bertanggung jawab untuk membawa jenazah korban dan upaya memberikan pertolongan pertama dan tanggung jawab secara kemanusiaan.
"Tanggung jawab secara kemanusiaan, yaitu turut berbelasungkawa atas meninggalnya tersangka," katanya.
Diberitakan sebelumnya, Bahran tewas akibat luka tembakan petugas saat melarikan diri di depan Poltabes Banjarmasin. Pelaku berusaha kabur saat akan dimasukan ke penjara setelah mencuri helm.
Bahran semula diamankan polisi karena nyaris dihakimi massa, setelah diketahui mencuri satu helm di kawasan Pengambangan, Banjarmasin.
Setelah dibawa ke Poltabes Banjarmasin dan menjalani pemeriksaan, malam harinya, seorang petugas menggiring Bahran ke sel Poltabes Banjarmasin.
Belum sampai ruang tahanan, Bahran malah melawan dengan menyodokkan sikunya ke dada polisi hingga terjatuh. Bahran pun melarikan diri.
Polisi lainnya yang mengetahui kejadian tersebut langsung mengejar Bahran yang sudah berlari keluar dari area Poltabes Banjarmasin.
Sempat diberi tembakan peringatan ke udara, tetapi Bahran tetap tidak menggubris. Tembakan kemudian diarahkan ke tubuh Bahran. Pemuda malang itu akhirnya jatuh dan meninggal satu jam kemudian. (Edward Pah)
Editor: yuli | Sumber :Banjarmasin Post
Kepala Bidang Propam Polda Kalimantan Selatan, AKBP Zuhdi Arrasuli, mengaku pihaknya masih menunggu berita acara laporan teknis kejadian tersebut.
Tanggung jawab secara kemanusiaan, yaitu turut berbelasungkawa atas meninggalnya tersangka.
Namun, Zuhdi sudah berani menyatakan, petugas sudah melakukan tindakan sesuai standar prosedur operasional.
"Sebenarnya kejadian tersebut petugas melakukan sesuai SOP pihak kepolisian, terkait situasi yang emergency," kata Zuhdi, Kamis (26/8/2010).
Meski begitu, Zuhdi mengatakan, secara prosedur pihak kepolisian juga turut bertanggung jawab untuk membawa jenazah korban dan upaya memberikan pertolongan pertama dan tanggung jawab secara kemanusiaan.
"Tanggung jawab secara kemanusiaan, yaitu turut berbelasungkawa atas meninggalnya tersangka," katanya.
Diberitakan sebelumnya, Bahran tewas akibat luka tembakan petugas saat melarikan diri di depan Poltabes Banjarmasin. Pelaku berusaha kabur saat akan dimasukan ke penjara setelah mencuri helm.
Bahran semula diamankan polisi karena nyaris dihakimi massa, setelah diketahui mencuri satu helm di kawasan Pengambangan, Banjarmasin.
Setelah dibawa ke Poltabes Banjarmasin dan menjalani pemeriksaan, malam harinya, seorang petugas menggiring Bahran ke sel Poltabes Banjarmasin.
Belum sampai ruang tahanan, Bahran malah melawan dengan menyodokkan sikunya ke dada polisi hingga terjatuh. Bahran pun melarikan diri.
Polisi lainnya yang mengetahui kejadian tersebut langsung mengejar Bahran yang sudah berlari keluar dari area Poltabes Banjarmasin.
Sempat diberi tembakan peringatan ke udara, tetapi Bahran tetap tidak menggubris. Tembakan kemudian diarahkan ke tubuh Bahran. Pemuda malang itu akhirnya jatuh dan meninggal satu jam kemudian. (Edward Pah)
Editor: yuli | Sumber :Banjarmasin Post
Kamis, 26 Agustus 2010
Jepret Polisi Sedang Razia, Wartawan Tempo Diperiksa Provos
Kepolisian Kota Besar Yogyakarta hari ini memeriksa wartawan Tempo Bernarda Rurit sebagai saksi pelapor. Pemeriksaan ini terkait kasus penghapusan secara paksa file foto milik Rurit yang diduga dilakukan sejumlah oknum polisi. File foto yang dihapus itu adalah rekaman gambar yang diambil Rurit saat polisi menggelar razia di Jalan Mangkubumi Kota Yogyakarta, 6 Agustus 2001.
"Sudah ada empat saksi yang kami periksa, termasuk Saudari Rurit. Tiga orang lainnya dari anggota kami," kata Kepala Unit Pelayanan, Penindakan, Penegakan Disiplin (P3D) Inspektur Satu Lucas Leo di ruang kerjanya, Selasa (24/8).
Ketiga saksi lain yang sudah diperiksa itu adalah Aipda Suparjoko, Bripka R. Gatot Nugroho, dan Briptu Purnomo. Ketiga saksi itu adalah anggota kepolisian yang berada di lokasi kejadian. Suparjoko dan Gatot adalah oknum yang diduga telah melakukan penghapusan file foto dari kamera Rurit. Sedangkan Purnomo adalah anggota yang melapor kepada Suparjoko bahwa ada wartawan yang melakukan memotret proses razia.
Dalm proses pemeriksaan ini, institusi kepolisian telah menarik Suparjoko dari tugas dinas lapangan (mutasi demosi). Suparjoko dinilai melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang pelanggaran disiplin anggota Polri pada Pasal 3 dan Pasal 5. "Fokus pemeriksaan kami pada Suparjoko, karena dia yang dilaporkan Saudari Rurit," kata Lucas.
Hasil pemeriksaan itu nantinya akan diserahkan ke Polda Yogyakarta sebelum digelar sidang internal kepolisian. Menurut Lucas, tak menutup kemungkinan kasus ini berlanjut ke proses pidana."Karena anggota memang salah. Tapi itu pun tergantung pihak pelapor, apakah akan melanjutkan atau memaafkan," kata Lucas.
Dalam surat tertulis kepada Jogja Police Watch, Kapoltabes Kota Yogyakarta Ajun Komisaris Besar Polisi Atang Heradi mengatakan, penghapusan file foto tersebut bukan atas nama institusi kepolisian, melainkan tindakan perorangan. Selain Suparjoko, tindakan mutasi demosi juga dikenakan kepada Brigadir Ruli Gunadi yang terbukti memerintahkan fotografer Antara, Regina Safri untuk menghapus file fotonya. Peristiwa tersebut terjadi sekitar 15 menit setelah insiden yang menimpa Rurit di tempat yang sama.
"Tindakan itu tanpa sepengetahuan atasan, sehingga membuktikan anggota tidak paham UU Pers," kata Ketua Jogja Police Watch Kusno Utomo, mengutip pernyataan Atang dalam surat tertulisnya.
Dalam pemeriksaan itu Rurit didampingi Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta Bambang Tiong dan kuasa hukum dari Jogja Police Watch Aknandari Malisy. "Saya harap bukan hanya Suparjoko yang diproses, tapi juga tim razia satlantas itu sendiri," katanya.
Bambang Tiong menegaskan, kasus yang menimpa wartawan Tempo dan Antara itu adalah kasus publik. Sehingga tidak cukup jika hanya dengan permintaan maaf saja.
PITO AGUSTIN RUDIANA
sumber http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/08/24/brk,20100824-273606,id.html
"Sudah ada empat saksi yang kami periksa, termasuk Saudari Rurit. Tiga orang lainnya dari anggota kami," kata Kepala Unit Pelayanan, Penindakan, Penegakan Disiplin (P3D) Inspektur Satu Lucas Leo di ruang kerjanya, Selasa (24/8).
Ketiga saksi lain yang sudah diperiksa itu adalah Aipda Suparjoko, Bripka R. Gatot Nugroho, dan Briptu Purnomo. Ketiga saksi itu adalah anggota kepolisian yang berada di lokasi kejadian. Suparjoko dan Gatot adalah oknum yang diduga telah melakukan penghapusan file foto dari kamera Rurit. Sedangkan Purnomo adalah anggota yang melapor kepada Suparjoko bahwa ada wartawan yang melakukan memotret proses razia.
Dalm proses pemeriksaan ini, institusi kepolisian telah menarik Suparjoko dari tugas dinas lapangan (mutasi demosi). Suparjoko dinilai melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang pelanggaran disiplin anggota Polri pada Pasal 3 dan Pasal 5. "Fokus pemeriksaan kami pada Suparjoko, karena dia yang dilaporkan Saudari Rurit," kata Lucas.
Hasil pemeriksaan itu nantinya akan diserahkan ke Polda Yogyakarta sebelum digelar sidang internal kepolisian. Menurut Lucas, tak menutup kemungkinan kasus ini berlanjut ke proses pidana."Karena anggota memang salah. Tapi itu pun tergantung pihak pelapor, apakah akan melanjutkan atau memaafkan," kata Lucas.
Dalam surat tertulis kepada Jogja Police Watch, Kapoltabes Kota Yogyakarta Ajun Komisaris Besar Polisi Atang Heradi mengatakan, penghapusan file foto tersebut bukan atas nama institusi kepolisian, melainkan tindakan perorangan. Selain Suparjoko, tindakan mutasi demosi juga dikenakan kepada Brigadir Ruli Gunadi yang terbukti memerintahkan fotografer Antara, Regina Safri untuk menghapus file fotonya. Peristiwa tersebut terjadi sekitar 15 menit setelah insiden yang menimpa Rurit di tempat yang sama.
"Tindakan itu tanpa sepengetahuan atasan, sehingga membuktikan anggota tidak paham UU Pers," kata Ketua Jogja Police Watch Kusno Utomo, mengutip pernyataan Atang dalam surat tertulisnya.
Dalam pemeriksaan itu Rurit didampingi Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta Bambang Tiong dan kuasa hukum dari Jogja Police Watch Aknandari Malisy. "Saya harap bukan hanya Suparjoko yang diproses, tapi juga tim razia satlantas itu sendiri," katanya.
Bambang Tiong menegaskan, kasus yang menimpa wartawan Tempo dan Antara itu adalah kasus publik. Sehingga tidak cukup jika hanya dengan permintaan maaf saja.
PITO AGUSTIN RUDIANA
sumber http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/08/24/brk,20100824-273606,id.html
Oknum Polisi Diduga Siksa Warga Desa Muara Baru
Ali Udin (21), warga Desa Muara Baru, Kecamatan Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) mengaku disiksa oleh oknum polisi yang bertugas di Polsek Teluk Gelam, pada Selasa (24/8) malam lalu, sekitar pukul 23.00 WIB, bertempat di Mapolsek setempat.
Awal mula terjadinya dugaan penyiksaan tersebut lantaran korban dan rekannya, Faisal (22), warga Dusun Anyar, Kecamatan Kayuagung, beserta sepeda motor Yamaha Mio warna biru tanpa nopol diamankan di Mapolsek Teluk Gelam karena tidak bisa menunjukan kelengkapan surat kendaraan.
Ali Udin kepada wartawan, Rabu (25/8), mengatakan, awalnya korban pergi menuju Desa Tugumulyo, Kecamatan Lempuing untuk menyaksikan festival band bersama 8 orang rekannya yang lain termasuk Faisal yang berboncengan dengan dirinya.
Namun sekitar pukul 22.30 WIB, rombongan pemuda ini hendak pulang lantaran pertunjukan musik tersebut habis. Korbanpun bersama Faisal terlebih dulu pulang dengan mengendarai sepeda motor Yamaha Mio tanpa nopol yang baru dibelinya secara kredit.
Sampai di Desa Bunut, karena keduanya hendak menunggu rekannya yang lain kemudian berhenti. Tak lama, anggota Polsek Teluk Gelam yang mencurigai gerak-gerik keduanya datang menghampiri. Lantaran curiga jika motor hasil pencurian, lantas polisi memeriksa kelengkapan surat kendaraan yang dibawa korban.
Sialnya, malam itu korban tidak bisa menunjukan selembar suratpun untuk menguatkan kepemilikan motor tersebut, apalagi polisi semakin curiga dengan Nopol lain yang dipakai di sepeda motor yang kata korban baru dibelinya. Selanjutnya, Ali Udin dan Faisal bersama kendaraannya digelandang ke Mapolsek untuk dimintai keterangan.
Ironisnya, korban yang berkali-kali mengaku bahwa motor itu miliknya yang baru dibeli secara kredit tetap dipaksa untuk mengakui jika Yamaha Mio yang dibawanya hasil pencurian kendaraan bermotor (curanmor) oleh polisi. Karena tetap bersikeras, oknum polisi itupun kemudian diduga melakukan interogasi disertai penyiksaan agar korban mengakui.
“Saya tiga kali dipukul. Pertama dirahang kiri, kedua di rahang kanan dan terakhir dimuka. Kalau yang dimuka rasanya tendangan kaki seseorang,” jelasnya.
Ditambahkannya, oknum polisi yang melakukan penyiksaan tersebut tidak dilihatnya, sebab kepala korban ditutup dengan sebuah bungkusan seperti topeng. “Aku ditahan sejak pukul 23.00 WIB-03.00 WIB. Setelah itu saya disuruh pulang dan diberi uang Rp20 ribu untuk ongkos pulang,” kata Ali Udin seraya mengatakan sepeda motornya hingga kini masih diamankan di Polsek Teluk Gelam.
Kapolsek Teluk Gelam, Aiptu Agus, saat dikonfirmasi melalui telepon selulernya, membantah keras jika anggotanya telah melakukan penyiksaan, pihaknya hanya menahan korban dan juga sepeda motornya karena dicurigai hasil kejahatan.
“Tidak benar kalau ada anggota saya melakukan penyiksaan, malah pulangnya saja dia saya beri uang untuk ongkos. Sedangkan yang saya tekankan kepada yang bersangkutan jika bisa menunjukkan surat kepemilikan ataupun bukti bahwa sepeda motor itu miliknya kami akan kembalikan kendaraan itu,” terangnya. (Irawan).
sumber http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=9722:oknum-polisi-diduga-siksa-warga-desa-muara-baru&catid=132:sumatera-selatan&Itemid=358
Awal mula terjadinya dugaan penyiksaan tersebut lantaran korban dan rekannya, Faisal (22), warga Dusun Anyar, Kecamatan Kayuagung, beserta sepeda motor Yamaha Mio warna biru tanpa nopol diamankan di Mapolsek Teluk Gelam karena tidak bisa menunjukan kelengkapan surat kendaraan.
Ali Udin kepada wartawan, Rabu (25/8), mengatakan, awalnya korban pergi menuju Desa Tugumulyo, Kecamatan Lempuing untuk menyaksikan festival band bersama 8 orang rekannya yang lain termasuk Faisal yang berboncengan dengan dirinya.
Namun sekitar pukul 22.30 WIB, rombongan pemuda ini hendak pulang lantaran pertunjukan musik tersebut habis. Korbanpun bersama Faisal terlebih dulu pulang dengan mengendarai sepeda motor Yamaha Mio tanpa nopol yang baru dibelinya secara kredit.
Sampai di Desa Bunut, karena keduanya hendak menunggu rekannya yang lain kemudian berhenti. Tak lama, anggota Polsek Teluk Gelam yang mencurigai gerak-gerik keduanya datang menghampiri. Lantaran curiga jika motor hasil pencurian, lantas polisi memeriksa kelengkapan surat kendaraan yang dibawa korban.
Sialnya, malam itu korban tidak bisa menunjukan selembar suratpun untuk menguatkan kepemilikan motor tersebut, apalagi polisi semakin curiga dengan Nopol lain yang dipakai di sepeda motor yang kata korban baru dibelinya. Selanjutnya, Ali Udin dan Faisal bersama kendaraannya digelandang ke Mapolsek untuk dimintai keterangan.
Ironisnya, korban yang berkali-kali mengaku bahwa motor itu miliknya yang baru dibeli secara kredit tetap dipaksa untuk mengakui jika Yamaha Mio yang dibawanya hasil pencurian kendaraan bermotor (curanmor) oleh polisi. Karena tetap bersikeras, oknum polisi itupun kemudian diduga melakukan interogasi disertai penyiksaan agar korban mengakui.
“Saya tiga kali dipukul. Pertama dirahang kiri, kedua di rahang kanan dan terakhir dimuka. Kalau yang dimuka rasanya tendangan kaki seseorang,” jelasnya.
Ditambahkannya, oknum polisi yang melakukan penyiksaan tersebut tidak dilihatnya, sebab kepala korban ditutup dengan sebuah bungkusan seperti topeng. “Aku ditahan sejak pukul 23.00 WIB-03.00 WIB. Setelah itu saya disuruh pulang dan diberi uang Rp20 ribu untuk ongkos pulang,” kata Ali Udin seraya mengatakan sepeda motornya hingga kini masih diamankan di Polsek Teluk Gelam.
Kapolsek Teluk Gelam, Aiptu Agus, saat dikonfirmasi melalui telepon selulernya, membantah keras jika anggotanya telah melakukan penyiksaan, pihaknya hanya menahan korban dan juga sepeda motornya karena dicurigai hasil kejahatan.
“Tidak benar kalau ada anggota saya melakukan penyiksaan, malah pulangnya saja dia saya beri uang untuk ongkos. Sedangkan yang saya tekankan kepada yang bersangkutan jika bisa menunjukkan surat kepemilikan ataupun bukti bahwa sepeda motor itu miliknya kami akan kembalikan kendaraan itu,” terangnya. (Irawan).
sumber http://www.indowarta.com/index.php?option=com_content&view=article&id=9722:oknum-polisi-diduga-siksa-warga-desa-muara-baru&catid=132:sumatera-selatan&Itemid=358
Selasa, 24 Agustus 2010
Kepergok dengan Wanita Lain, Istri Dianiaya
stri untuk dilindungi dan disayang, bukan untuk ditendang bagai bola kaki. Namun kata bijak orang pintar itu diabaikan Ismail Sitompul. Oknum Polisi itu malah menganiaya istrinya. Buntutnya, Ismail pun duduk di kursi pesakitan PN Lubuk Pakam, Senin (23/8)
Oknum Polres Deliserdang itu diadili pada perkara kekersan dalam rumah tangga.. Dengan wajah lusuh, oknum Polisi itu duduk di kursi pesakitan di hadapan majeis hakim dipimpin Rumintang SH dengan jaksa penuntut Parada Situmorang SH.
Sesuai keterangan terdakwa, dirinya justru menyangkal melakukan pemukulan terhadap istrinya. Katanya ia hanya menolak badan sang istri, karena si istri, Ida Erna, memergoki dirinya bersama seorang wanita di kawasan Kompleks Villa Gading Mas Jalan Marindal Medan.
Ketika itu, jelas terdakwa, Ida mencaci-maki dirinya dengan mengatakan, "siapa wanita itu, itu pasti wanita simpanan mu."
Mendengarkan perkataan sang istri, terdakwa kemudian menyentilkan puntung rokok yang ada di tangannya ke arah korban.
Korban tak terima dan suasana makin ricuh. Kata terdakwa, saat itu tanpa sengaja dirinya menolak Ida hingga terjerembab ke tanah.
``Saya tak ada memukulnya. Tak sengaja menolaknya. Cuma itu,' terang terdakwa.
Atas tindakannya itu, terdakwa diancam pidana pasal 44 ayat 4 UU RI No 23 Tahun 2004, tentang kekerasan dalam rumah tangga. Guna kejelasan kasus ini, sidang ditunda hingga pekan depan.(Yan)
sumber http://www.gomedan.com/?open=view&newsid=3270&catid=19
Oknum Polres Deliserdang itu diadili pada perkara kekersan dalam rumah tangga.. Dengan wajah lusuh, oknum Polisi itu duduk di kursi pesakitan di hadapan majeis hakim dipimpin Rumintang SH dengan jaksa penuntut Parada Situmorang SH.
Sesuai keterangan terdakwa, dirinya justru menyangkal melakukan pemukulan terhadap istrinya. Katanya ia hanya menolak badan sang istri, karena si istri, Ida Erna, memergoki dirinya bersama seorang wanita di kawasan Kompleks Villa Gading Mas Jalan Marindal Medan.
Ketika itu, jelas terdakwa, Ida mencaci-maki dirinya dengan mengatakan, "siapa wanita itu, itu pasti wanita simpanan mu."
Mendengarkan perkataan sang istri, terdakwa kemudian menyentilkan puntung rokok yang ada di tangannya ke arah korban.
Korban tak terima dan suasana makin ricuh. Kata terdakwa, saat itu tanpa sengaja dirinya menolak Ida hingga terjerembab ke tanah.
``Saya tak ada memukulnya. Tak sengaja menolaknya. Cuma itu,' terang terdakwa.
Atas tindakannya itu, terdakwa diancam pidana pasal 44 ayat 4 UU RI No 23 Tahun 2004, tentang kekerasan dalam rumah tangga. Guna kejelasan kasus ini, sidang ditunda hingga pekan depan.(Yan)
sumber http://www.gomedan.com/?open=view&newsid=3270&catid=19
Hari Gini... Polisi Masih Bela Anaknya Berkelahi
Jika anak berkelahi melawan teman sebaya masih banyak ditemukan. Tapi bagaimana jika ayahnya yang seorang polisi jadi ikut-ikutan memberi bogem mentah pada lawan anaknya?
Kejadian itu menimpa Gregorius Pius Namang (14) siswa SD Inpres Beru yang juga warga Maumere NTT secara tak sengaja terlibat perkelahian dengan AP yang kemudian melaporkan kepada ayahnya, seorang polisi. Gregorius Pius dipukul dan diancam tembak oleh polisi itu hingga demam dan ketakutan tak berani masuk sekolah.
Gregorius Pius Namang tak menyangka kalau keterlibatannya dalam perkelahian, Jumat sore kemarin di Lapangan Kota Baru, Kota Maumere dengan dua anak berbuntut panjang. Jumat malam itu, Pius dan Koak digelandang polisi ke Polres Sikka karena berkelahi melawan AP. Di kantor polisi itu, Pius dan Koak "dibina".
Di kantor polisi itu, Pius dapat bogem mentah lima kali. Oknum polisi itu dengan tangan terkepal menampar pelipis kiri dan kanannya. Pius menderita demam tinggi. Rahangnya terasa sakit digerakkan ke kiri atau ke kanan. Kemarin murid SD Inpres Beru itu tak masuk sekolah. Dia istirahat di rumah orangtuanya.
"Tadi malam kami disuruh sapu-sapu di kantor polisi. Saya dan Koak bagi tugas. Saya sapu di dalam ruangan, Koak sapu di luar ruangan. Hari Senin, saya bersama orangtua disuruh menghadap ke Polres Sikka. Katanya saya harus tandatangan surat pernyataan. Kalau tidak datang, pak polisi tembak saya," kata Pius ditulis pos kupang, Minggu (22/8) (*)
Tribun Medan
Kejadian itu menimpa Gregorius Pius Namang (14) siswa SD Inpres Beru yang juga warga Maumere NTT secara tak sengaja terlibat perkelahian dengan AP yang kemudian melaporkan kepada ayahnya, seorang polisi. Gregorius Pius dipukul dan diancam tembak oleh polisi itu hingga demam dan ketakutan tak berani masuk sekolah.
Gregorius Pius Namang tak menyangka kalau keterlibatannya dalam perkelahian, Jumat sore kemarin di Lapangan Kota Baru, Kota Maumere dengan dua anak berbuntut panjang. Jumat malam itu, Pius dan Koak digelandang polisi ke Polres Sikka karena berkelahi melawan AP. Di kantor polisi itu, Pius dan Koak "dibina".
Di kantor polisi itu, Pius dapat bogem mentah lima kali. Oknum polisi itu dengan tangan terkepal menampar pelipis kiri dan kanannya. Pius menderita demam tinggi. Rahangnya terasa sakit digerakkan ke kiri atau ke kanan. Kemarin murid SD Inpres Beru itu tak masuk sekolah. Dia istirahat di rumah orangtuanya.
"Tadi malam kami disuruh sapu-sapu di kantor polisi. Saya dan Koak bagi tugas. Saya sapu di dalam ruangan, Koak sapu di luar ruangan. Hari Senin, saya bersama orangtua disuruh menghadap ke Polres Sikka. Katanya saya harus tandatangan surat pernyataan. Kalau tidak datang, pak polisi tembak saya," kata Pius ditulis pos kupang, Minggu (22/8) (*)
Tribun Medan
Polisi Terkait Kasus IL Masuk Lapas Sampit
Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Kelas II B Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Kalimantan Tengah (Kalteng) Rahmat Mulyana mengatakan, pengusaha Suhendraso alias Apung dan rekannya Mamik serta Wahyudin tersangka kasus illegal logging (IL) telah mendekam di Lapas Sampit.
Selain itu juga ditahan oknum polisi Iptu AK, mantan Kapolsek Parenggean serta Bripka Sud mantan Kanitreskrim. Sedangkan status mereka, kata Rahmat Maulana, sebagai tahanan kejaksaan dan mereka dititipkan selama 20 hari.
Diungkapkan Rahmat Maulana, saat tiba mereka langsung dikarantina dan mengikuti program orientasi masa pengenalan lingkungan yang merupakan kewajiban bagi tahanan yang baru masuk. Dimana masa pengenalan lingkungan ini para tahanan baru harus mempelajari aturan, tata cara
berhubungan dengan penghuni serta kewajiban mereka selama menjadi warga binaan. Dimana masa karantina berlangsung satu minggu tapi bisa lebih jika semua peraturan itu diabaikan.
Informasi yang dihimpun di lapangan, kasus yang melibatkan pengusaha dan oknum polisi serta mantan Kapolres Kotim AKBP Sug yang juga telah dijadikan tersangka bermula April 2010 lalu. Apung diketahui aparat polisi menyimpan ratusan potong kayu jenis ulin di gudang miliknya tanpa memiliki dokumen yang syah.
Kemudian Apung pun ditahan. Namun terjadi rekayasa dimana Apung menghubungi rekannya untuk dicarikan orang lain yang menggantikan dirinya sebagai tersangka. Dan upaya itu berhasil dan posisi Apung sebagai tersangka digantikan Wahyudin, seorang petugas Keamanan Pasar dengan imbalan sejumlah uang. Kasus rekayasa ini berjalan lancar karena yang bersangkutan menyuap.
Namun kasus ini menjadi terbongkar yang bukan hanya menyeret Apung dan rekan bisnisnya tapi juga perwira di kepolisian termasuk mantan Polres Kotim AKBP Sug. Kasus Apung ini dibagi menjadi beberapa perkara seperti dugaan gratifikasi atau korupsi, pemalsuan tersangka atau rekayasa kasus dan kasus ilegal logging. (rag)
sumber http://www.harianpelita.com/read/1904/11/antar-daerah/pengusaha-dan-polisi-terkait-kasus-il-masuk-lapas-sampit--/
Selain itu juga ditahan oknum polisi Iptu AK, mantan Kapolsek Parenggean serta Bripka Sud mantan Kanitreskrim. Sedangkan status mereka, kata Rahmat Maulana, sebagai tahanan kejaksaan dan mereka dititipkan selama 20 hari.
Diungkapkan Rahmat Maulana, saat tiba mereka langsung dikarantina dan mengikuti program orientasi masa pengenalan lingkungan yang merupakan kewajiban bagi tahanan yang baru masuk. Dimana masa pengenalan lingkungan ini para tahanan baru harus mempelajari aturan, tata cara
berhubungan dengan penghuni serta kewajiban mereka selama menjadi warga binaan. Dimana masa karantina berlangsung satu minggu tapi bisa lebih jika semua peraturan itu diabaikan.
Informasi yang dihimpun di lapangan, kasus yang melibatkan pengusaha dan oknum polisi serta mantan Kapolres Kotim AKBP Sug yang juga telah dijadikan tersangka bermula April 2010 lalu. Apung diketahui aparat polisi menyimpan ratusan potong kayu jenis ulin di gudang miliknya tanpa memiliki dokumen yang syah.
Kemudian Apung pun ditahan. Namun terjadi rekayasa dimana Apung menghubungi rekannya untuk dicarikan orang lain yang menggantikan dirinya sebagai tersangka. Dan upaya itu berhasil dan posisi Apung sebagai tersangka digantikan Wahyudin, seorang petugas Keamanan Pasar dengan imbalan sejumlah uang. Kasus rekayasa ini berjalan lancar karena yang bersangkutan menyuap.
Namun kasus ini menjadi terbongkar yang bukan hanya menyeret Apung dan rekan bisnisnya tapi juga perwira di kepolisian termasuk mantan Polres Kotim AKBP Sug. Kasus Apung ini dibagi menjadi beberapa perkara seperti dugaan gratifikasi atau korupsi, pemalsuan tersangka atau rekayasa kasus dan kasus ilegal logging. (rag)
sumber http://www.harianpelita.com/read/1904/11/antar-daerah/pengusaha-dan-polisi-terkait-kasus-il-masuk-lapas-sampit--/
Oknum Polisi Hajar Warga
Gara-gara Diingatkan Untuk Tidak Berkendara Sambil SMS
Gara-gara mengingatkan seorang polisi yang membaca SMS sambil mengendarai sepedamotor, Mashono Rio Kertonegoro (21) warga Blonotan Onggopatran, Sitimulyo, Piyungan, Bantul, Sabtu (21/8) kemarin harus mau diopname di RS Hidayatullah Jogja. Pasalnya, polisi tersebut merasa tidak terima dan kemudian bersama polisi lainnya langsung memukuli Mashono.
Peristiwa tidak simpatik ini terjadi di Jalan Wonosari KM 12,5 tepatnya di sekitar Tegalyoso Sitimulyo, Piyungan. Saat itu, Mashono yang berkendara dari arah barat tiba-tiba dikejutkan oleh seorang polisi yang mengendarai sepedamotor sambil beraktivitas dengan ponselnya. Saat itu, posisi Mashono terpepet dan hampir terjatuh dari kendaraannya.
“Saya terpepet dan polisi tersebut sepertinya tidak sadar dengan apa yang dilakukan. Untuk itulah saya meminta agar dia tidak berkendara sambil ber-SMS,” kata Mashono yang ditemui Radar Jogja saat dirawat di RS Hidayatullah.
Mendapat nasihat tersebut, oknum polisi tersebut mencoba untuk mengelak dan mengatakan bahwa dia tidak ber-SMS, melainkan hanya melihat tanda waktu yang ada di ponsel. Namun demikian, Mashono kembali berargumen dan menunjukkan bahwa alasan yang disampiakan polisi tersebut tidak tepat, sebab polisi tersebut juga mengenakan jam tangan.
Argumen Mashono yang menunjukkan jam tangan tersebut rupanya membuat polisi yang hingga kini belum diketahui ini marah dan mulai emosi. Saat itulah Mashono mengatakan kalau dia akan melaporkan apa yang dilakukan polisi tersebut kepada komandannya. “Karena dia mulai marah, saya mengatakan akan melaporkan ke pimpinannya,” kata Mashono.
Kebetulan, tidak jauh dari tempat itu, jajaran Satlantas Polres Bantul tampak tengah mengadakan razia kendaraan bermotor dari arah berlawanan. Polisi yang diingatkan itu ternyata juga merupakan bagian dari petugas yang tengah melakukan razia. Mashono kemudian mendatangi seorang perwira polisi berpangkat Ipda yang tampak memimpin razia.
“Saya menyadari sepenuhnya bahwa berkendara sambil ber-SMS itu sangat membahayakan pengendara lainnya. Untuk itu, pimpinannya harus saya beritahu. Apalagi saya juga nyaris terjatuh gara-gara perbuatan itu,” kata Mashono.
Terhadap perwira tersebut, Mashono yang berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Hukum UAD ini kemudian mengatakan bahwa tindakan polisi yang berkendara sambil ber-SMS itu melanggar UU No 2 tahun 2009 tentang Lalu-Lintas. “Saya juga mengatakan kalau polisi tersebut tidak bisa beralasan melihat jam, sebab di tangannya sudah melingkar jam tangan,” kata Mashono.
Entah kenapa tiba-tiba, polisi yang ber-SMS sambil berkendara ini kemudian memegang tangan Mashono dan kemudian mendorongnya. “Saat ada yang berbuat kasar kepada saya, saya meminta kepada perwira itu agar anak buahnya tidak kasar terhadap warga masyarakat. Namun perwira tersebut justru terlihat diam saja dan saya kembali dipukul dari belakang,” kata Mashono.
Saat itu yang memukul Mashono bukan hanya polisi yang berkendara sambil ber SMS, menurut Mashono, ada 5 hingga 8 polisi yang saat itu memukulinya dari belakang. Bahkan saat itu aksi pemukulan terhadap Mashono ini dilakukan di depan perwira dan juga mayarakat yang sedang terkena razia kendaraan bermotor.
Mashono kemudian tersungkur ketika kepala bagian belakangnya dipukul dengan keras. Saat itulah perwira polisi yang sejak tadi hanya melihat kemudian membawanya ke salah salah satu rumah warga.
“Di tempat itu saya kembali diintimidasi dan ditanyai siapa saya, apa pekerjaan saya dan siapa orang tua saya. Menurut saya siapapun saya, siapapun orang tua saya dan apapaun pekerjaan saya itu tidak penting. Yang utama adalah yang saya lakukan itu hanya mengingatkan polisi yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat,” kata Mashono.
Bahkan setelah keluar, polisi yang ber-SMS sambil berkendara kembali mengintimidasi Mashono dengan terus mendesakkan dadanya ke tubuh Mashono. Merasa tidak ada pihak yang bisa dimintai perlindungan, Mashono akhirnya memilih untuk pulang. (ufi)
sumber http://www.radarjogja.co.id/berita/utama/10394-oknum-polisi-hajar-warga.html
Gara-gara mengingatkan seorang polisi yang membaca SMS sambil mengendarai sepedamotor, Mashono Rio Kertonegoro (21) warga Blonotan Onggopatran, Sitimulyo, Piyungan, Bantul, Sabtu (21/8) kemarin harus mau diopname di RS Hidayatullah Jogja. Pasalnya, polisi tersebut merasa tidak terima dan kemudian bersama polisi lainnya langsung memukuli Mashono.
Peristiwa tidak simpatik ini terjadi di Jalan Wonosari KM 12,5 tepatnya di sekitar Tegalyoso Sitimulyo, Piyungan. Saat itu, Mashono yang berkendara dari arah barat tiba-tiba dikejutkan oleh seorang polisi yang mengendarai sepedamotor sambil beraktivitas dengan ponselnya. Saat itu, posisi Mashono terpepet dan hampir terjatuh dari kendaraannya.
“Saya terpepet dan polisi tersebut sepertinya tidak sadar dengan apa yang dilakukan. Untuk itulah saya meminta agar dia tidak berkendara sambil ber-SMS,” kata Mashono yang ditemui Radar Jogja saat dirawat di RS Hidayatullah.
Mendapat nasihat tersebut, oknum polisi tersebut mencoba untuk mengelak dan mengatakan bahwa dia tidak ber-SMS, melainkan hanya melihat tanda waktu yang ada di ponsel. Namun demikian, Mashono kembali berargumen dan menunjukkan bahwa alasan yang disampiakan polisi tersebut tidak tepat, sebab polisi tersebut juga mengenakan jam tangan.
Argumen Mashono yang menunjukkan jam tangan tersebut rupanya membuat polisi yang hingga kini belum diketahui ini marah dan mulai emosi. Saat itulah Mashono mengatakan kalau dia akan melaporkan apa yang dilakukan polisi tersebut kepada komandannya. “Karena dia mulai marah, saya mengatakan akan melaporkan ke pimpinannya,” kata Mashono.
Kebetulan, tidak jauh dari tempat itu, jajaran Satlantas Polres Bantul tampak tengah mengadakan razia kendaraan bermotor dari arah berlawanan. Polisi yang diingatkan itu ternyata juga merupakan bagian dari petugas yang tengah melakukan razia. Mashono kemudian mendatangi seorang perwira polisi berpangkat Ipda yang tampak memimpin razia.
“Saya menyadari sepenuhnya bahwa berkendara sambil ber-SMS itu sangat membahayakan pengendara lainnya. Untuk itu, pimpinannya harus saya beritahu. Apalagi saya juga nyaris terjatuh gara-gara perbuatan itu,” kata Mashono.
Terhadap perwira tersebut, Mashono yang berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Hukum UAD ini kemudian mengatakan bahwa tindakan polisi yang berkendara sambil ber-SMS itu melanggar UU No 2 tahun 2009 tentang Lalu-Lintas. “Saya juga mengatakan kalau polisi tersebut tidak bisa beralasan melihat jam, sebab di tangannya sudah melingkar jam tangan,” kata Mashono.
Entah kenapa tiba-tiba, polisi yang ber-SMS sambil berkendara ini kemudian memegang tangan Mashono dan kemudian mendorongnya. “Saat ada yang berbuat kasar kepada saya, saya meminta kepada perwira itu agar anak buahnya tidak kasar terhadap warga masyarakat. Namun perwira tersebut justru terlihat diam saja dan saya kembali dipukul dari belakang,” kata Mashono.
Saat itu yang memukul Mashono bukan hanya polisi yang berkendara sambil ber SMS, menurut Mashono, ada 5 hingga 8 polisi yang saat itu memukulinya dari belakang. Bahkan saat itu aksi pemukulan terhadap Mashono ini dilakukan di depan perwira dan juga mayarakat yang sedang terkena razia kendaraan bermotor.
Mashono kemudian tersungkur ketika kepala bagian belakangnya dipukul dengan keras. Saat itulah perwira polisi yang sejak tadi hanya melihat kemudian membawanya ke salah salah satu rumah warga.
“Di tempat itu saya kembali diintimidasi dan ditanyai siapa saya, apa pekerjaan saya dan siapa orang tua saya. Menurut saya siapapun saya, siapapun orang tua saya dan apapaun pekerjaan saya itu tidak penting. Yang utama adalah yang saya lakukan itu hanya mengingatkan polisi yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat,” kata Mashono.
Bahkan setelah keluar, polisi yang ber-SMS sambil berkendara kembali mengintimidasi Mashono dengan terus mendesakkan dadanya ke tubuh Mashono. Merasa tidak ada pihak yang bisa dimintai perlindungan, Mashono akhirnya memilih untuk pulang. (ufi)
sumber http://www.radarjogja.co.id/berita/utama/10394-oknum-polisi-hajar-warga.html
Minggu, 22 Agustus 2010
Polisi Hajar Istri Dilaporkan ke Polisi
orkan istrinya ke polisi karena melakukan penganiayaan. Polisi berpangkat bripka itu, diduga melakukan kekerasan berupa pemukulan terhadap istrinya Sandra Daesy (29).
Beradasarkan laporan kepolisian di Mapolres Bojonegoro, kejadian penganiayaan berawal saat Sandra berpisah dengan suaminya, Megaton, karena tak mampu menafkahi keluarga sejak dua tahun silam. Ketiga anak mereka pun ikut dibawa Megaton.
Sandra pun berniat mengambil ketiga anaknya. Namun, permintaan itu ditolak mentah-mentah. Sandra dan Megaton cekcok mulut yang berakhir dengan penganiayaan berupa tendangan dan pukulan ke tubuh Sandra.
Tak terima diperlakukan kasar, Sandra memutuskan melaporkan suaminya ke Mapolres setempat. Dalam laporannya, dia juga menyertakan Ibu Megaton, Siti Romlah sebagai pihak terlapor karena ikut melakukan penganiayaan.
Sementara itu, Kasubag Humas Polres AKP MT Ariyadi menjelaskan, pihaknya tengah menyelidiki laporan dugaan penganiayaan tersebut. "Kasus itu masih dalam proses penyelidikan," katanya. (frd)
(Nanang Fahrudin/Koran SI/hri)
Beradasarkan laporan kepolisian di Mapolres Bojonegoro, kejadian penganiayaan berawal saat Sandra berpisah dengan suaminya, Megaton, karena tak mampu menafkahi keluarga sejak dua tahun silam. Ketiga anak mereka pun ikut dibawa Megaton.
Sandra pun berniat mengambil ketiga anaknya. Namun, permintaan itu ditolak mentah-mentah. Sandra dan Megaton cekcok mulut yang berakhir dengan penganiayaan berupa tendangan dan pukulan ke tubuh Sandra.
Tak terima diperlakukan kasar, Sandra memutuskan melaporkan suaminya ke Mapolres setempat. Dalam laporannya, dia juga menyertakan Ibu Megaton, Siti Romlah sebagai pihak terlapor karena ikut melakukan penganiayaan.
Sementara itu, Kasubag Humas Polres AKP MT Ariyadi menjelaskan, pihaknya tengah menyelidiki laporan dugaan penganiayaan tersebut. "Kasus itu masih dalam proses penyelidikan," katanya. (frd)
(Nanang Fahrudin/Koran SI/hri)
Polisi Itu Kawan, Atau Lawan?
Tanpa kita sadari, kehidupan kita sampai hari ini, bersinggungan dengan yang namanya “polisi”. Mulai dari tingkat Pospol (Pos Polisi) sampai Mabes Polri. Dari pangkat Bharada sampai dengan Jenderal.
Banyak saat dimana kita begitu anti dengan polisi. Tapi, di banyak saat yang lain, kita menjadi respek dan kagum dengan polisi.
Hal yang juga saya temui di banyak orang, sebagian dari mereka begitu membenci polisi. Sebagian dari mereka juga, begitu kagum dan berharap besar pada polisi.
Pada kenyataannya. Bahwa, polisi adalah alat (atau apapun-lah namanya) yang harus ada di setiap negara. Bahwa, polisi adalah penting dan lembaga penyelesai masalah. Meski, sesekali, polisi juga (mau tidak mau) menjadi bagian dari penyebab masalah.
Awam kemudian menyebutnya sebagai Oknum. Ini istilah paling egaliter dan santun untuk memisahkan polisi sebagai institusi dan polisi sebagai perseorangan.
Kita dan banyak orang, telah menjadi saksi bagaimana tahun 1998 menjadi momentum penting bagi polisi. Ketika angkatan yang satu ini dipisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Kita dan banyak orang, juga telah menjadi saksi bagaimana polisi berubah. Kantor-kantornya. Seragamnya. Kepangkatannya. Peralatan dan perlengkapannya. Persenjataannya. Kapasitas intelektualnya. Dan yang penting lagi adalah, bagaimana kemudian polisi telah memiliki banyak
perangkat konstitusi yang menjadi lembaga ini bisa mengungkap apa saja yang oleh publik dianggap sebagai kejahatan. Mulai dari kejahatan terencana, kejahatan tidak sengaja, kejahatan disengaja, sampai kejahatan (yang mungkin saja) dibuat agar menjadi kejahatan.
Kebetulan, dalam sebuah diskusi dengan seorang kawan yang dinas di Kepolisian, fakta ini diterima dengan senyuman. “Ya, itulah polisi. Bahwa, keberadaan polisi itu harus ada di setiap negara. Polisi tidak bisa dihilangkan dari struktur kenegaraan. Kalau kemudian terjadi persoalan dengan institusi ini, tentu ini masalah orang-perorang atau kepentingan. Polisi sebagai bagian dari negara, tidak mungkin bermasalah. Karena, polisi adalah penjaga ketertiban dan keamanan. Jadi, yang diselesaikan bukan polisinya. Tapi, masalahnya,” kata kawan itu.
Mengesankan untuk seorang kawan saya yang menjadi “polisi” di negara Indonesia yang terus
belajar berdemokrasi ini. Minimal, bagi saya, kawan ini telah meyakinkan bahwa polisi sebagai institusi, tidak mungkin menjauh dari demokrasi yang sedang bergerak di Republik Indonesia. Bahwa, polisi tidak bisa menjadi pengekang, penghambat apalagi menjadi masalah bagi demokrasi. Polisi harus bergerak bersama demokrasi dalam koridor penjaga keamanan dan ketertiban.
* * *
Kepada lima orang, saya pernah mengajukan pertanyaan yang sama: polisi itu kawan, atau lawan?
Jawabnya mengejutkan. Kelimanya spontan menjawab lawan, kemudian terdiam beberapa saat, dan menjawab pelan: “Ya… kawan juga sih?”
Seperti ambigu, tetapi tidak.
Saya meyakini, ketika seseorang memiliki trauma dengan polisi, maka dia akan menyebut polisi sebagai lawan. Sebaliknya, ketika seseorang terkesan oleh pelayanan polisi, maka baginya polisi adalah kawan. Meski, pada ujungnya, ketika seseorang menjadi korban kejahatan atau menjadi korban ketidak-adilan, yang muncul di kepalanya agar masalah itu diselesaikan cuma satu kata: polisi!
Jadi, kalau ada pertanyaan: seperti apa polisi ideal itu, jawabannya bisa sangat relatif. Bisa jadi, kalau sepuluh orang yang ditanya, akan ada sepuluh profil polisi ideal. Kalau seribu, bisa jadi juga akan ada seribu profil polisi ideal.
Tentu, ini tidak bisa menjadi permakluman bahwa polisi tidak perlu punya bentuk. Justru, ini adalah catatan penting buat siapapun yang menjadi pimpinan polisi dan jajarannya. Bahwa, polisi bukan saja berada di wilayah hukum dan adminstratif. Polisi juga ada di wilayah persepsi publik.
Sama seperti kenyamanan dan kebahagiaan, setiap orang akan punya persepsi terhadapnya. Dalam konteks kehidupan bernegara, persepsi itulah yang kemudian diwujudkan dalam berbagai program, kebijakan dan performa. Sehingga, negara memiliki standar untuk membuat rakyatnya nyaman dan bahagia.
Polisi juga sama. Harusnya ada standar polisi ideal. Polisi yang belajar dari perjalanan sejarahnya, perjalanan bangsa dan yang paling penting adalah belajar terus menghayati dinamika rakyatnya.
Polisi tidak bisa berjalan sendiri. Karena, polisi pada hakekatnya adalah rakyat juga…
sumber kompasiana
Banyak saat dimana kita begitu anti dengan polisi. Tapi, di banyak saat yang lain, kita menjadi respek dan kagum dengan polisi.
Hal yang juga saya temui di banyak orang, sebagian dari mereka begitu membenci polisi. Sebagian dari mereka juga, begitu kagum dan berharap besar pada polisi.
Pada kenyataannya. Bahwa, polisi adalah alat (atau apapun-lah namanya) yang harus ada di setiap negara. Bahwa, polisi adalah penting dan lembaga penyelesai masalah. Meski, sesekali, polisi juga (mau tidak mau) menjadi bagian dari penyebab masalah.
Awam kemudian menyebutnya sebagai Oknum. Ini istilah paling egaliter dan santun untuk memisahkan polisi sebagai institusi dan polisi sebagai perseorangan.
Kita dan banyak orang, telah menjadi saksi bagaimana tahun 1998 menjadi momentum penting bagi polisi. Ketika angkatan yang satu ini dipisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Kita dan banyak orang, juga telah menjadi saksi bagaimana polisi berubah. Kantor-kantornya. Seragamnya. Kepangkatannya. Peralatan dan perlengkapannya. Persenjataannya. Kapasitas intelektualnya. Dan yang penting lagi adalah, bagaimana kemudian polisi telah memiliki banyak
perangkat konstitusi yang menjadi lembaga ini bisa mengungkap apa saja yang oleh publik dianggap sebagai kejahatan. Mulai dari kejahatan terencana, kejahatan tidak sengaja, kejahatan disengaja, sampai kejahatan (yang mungkin saja) dibuat agar menjadi kejahatan.
Kebetulan, dalam sebuah diskusi dengan seorang kawan yang dinas di Kepolisian, fakta ini diterima dengan senyuman. “Ya, itulah polisi. Bahwa, keberadaan polisi itu harus ada di setiap negara. Polisi tidak bisa dihilangkan dari struktur kenegaraan. Kalau kemudian terjadi persoalan dengan institusi ini, tentu ini masalah orang-perorang atau kepentingan. Polisi sebagai bagian dari negara, tidak mungkin bermasalah. Karena, polisi adalah penjaga ketertiban dan keamanan. Jadi, yang diselesaikan bukan polisinya. Tapi, masalahnya,” kata kawan itu.
Mengesankan untuk seorang kawan saya yang menjadi “polisi” di negara Indonesia yang terus
belajar berdemokrasi ini. Minimal, bagi saya, kawan ini telah meyakinkan bahwa polisi sebagai institusi, tidak mungkin menjauh dari demokrasi yang sedang bergerak di Republik Indonesia. Bahwa, polisi tidak bisa menjadi pengekang, penghambat apalagi menjadi masalah bagi demokrasi. Polisi harus bergerak bersama demokrasi dalam koridor penjaga keamanan dan ketertiban.
* * *
Kepada lima orang, saya pernah mengajukan pertanyaan yang sama: polisi itu kawan, atau lawan?
Jawabnya mengejutkan. Kelimanya spontan menjawab lawan, kemudian terdiam beberapa saat, dan menjawab pelan: “Ya… kawan juga sih?”
Seperti ambigu, tetapi tidak.
Saya meyakini, ketika seseorang memiliki trauma dengan polisi, maka dia akan menyebut polisi sebagai lawan. Sebaliknya, ketika seseorang terkesan oleh pelayanan polisi, maka baginya polisi adalah kawan. Meski, pada ujungnya, ketika seseorang menjadi korban kejahatan atau menjadi korban ketidak-adilan, yang muncul di kepalanya agar masalah itu diselesaikan cuma satu kata: polisi!
Jadi, kalau ada pertanyaan: seperti apa polisi ideal itu, jawabannya bisa sangat relatif. Bisa jadi, kalau sepuluh orang yang ditanya, akan ada sepuluh profil polisi ideal. Kalau seribu, bisa jadi juga akan ada seribu profil polisi ideal.
Tentu, ini tidak bisa menjadi permakluman bahwa polisi tidak perlu punya bentuk. Justru, ini adalah catatan penting buat siapapun yang menjadi pimpinan polisi dan jajarannya. Bahwa, polisi bukan saja berada di wilayah hukum dan adminstratif. Polisi juga ada di wilayah persepsi publik.
Sama seperti kenyamanan dan kebahagiaan, setiap orang akan punya persepsi terhadapnya. Dalam konteks kehidupan bernegara, persepsi itulah yang kemudian diwujudkan dalam berbagai program, kebijakan dan performa. Sehingga, negara memiliki standar untuk membuat rakyatnya nyaman dan bahagia.
Polisi juga sama. Harusnya ada standar polisi ideal. Polisi yang belajar dari perjalanan sejarahnya, perjalanan bangsa dan yang paling penting adalah belajar terus menghayati dinamika rakyatnya.
Polisi tidak bisa berjalan sendiri. Karena, polisi pada hakekatnya adalah rakyat juga…
sumber kompasiana
Perampokan Bank CIMB Upaya Rusak Citra Kapolda
Perampokan Bank CIMB Niaga di Medan oleh 16 pria bersenjata laras panjang pada Rabu 18 Agustus lalu disinyalir sebagai upaya merusak citra Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Oegroseno.
Indikasinya, dua kejadian perampokan lain juga terjadi di wilayah Sumatera Utara beberapa hari sebelumnya. “Tapi di luar Medan,” ujar Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane kepada okezone di Jakarta, Minggu (22/8/2010).
Perusakan citra yang dimaksud Neta adalah reputasi Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Oegroseno yang saat ini digadang-gadang sebagai salah satu kandidat kuat Kapolri, menggantikan Jenderal Bambang Hendarso Danuri.
Perampokan di Medan agak khas, beda dengan perampokan di tempat lain. Pelakunya begitu tenang dan piawai menggunakan senjata. Bahkan ketika dipotret tidak menunjukkan reaksi kemarahan, jadi seolah-olah ingin menunjukkan aksinya ke publik,” ujarnya.
Dari fakta itu, Neta menganalisa, perampokan Bank CIMB Medan yang merenggut nyawa Briptu Manuel dan melukai dua satpam bank, merupakan bagian dari upaya merusak citra Kapolda Sumur Irjen Pol Oegroseno.
“Belum tentu (ada oknum polisi terlibat) tapi yang jelas dari tipikal sangat terlatih dan menggunakan senjata organik,” ujarnya.
Perlu diketahui, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri bakal pensiun pada Oktober mendatang. Saat ini sejumlah nama telah disebut-sebut bakal menggantikan posisinya. Di antaranya, Irjen Pol Oegroseno, Irjen Pol Nanan Soekarna, dan Irjen Pol Timur Pradopo.(ful)
sumber okezone
Indikasinya, dua kejadian perampokan lain juga terjadi di wilayah Sumatera Utara beberapa hari sebelumnya. “Tapi di luar Medan,” ujar Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane kepada okezone di Jakarta, Minggu (22/8/2010).
Perusakan citra yang dimaksud Neta adalah reputasi Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Oegroseno yang saat ini digadang-gadang sebagai salah satu kandidat kuat Kapolri, menggantikan Jenderal Bambang Hendarso Danuri.
Perampokan di Medan agak khas, beda dengan perampokan di tempat lain. Pelakunya begitu tenang dan piawai menggunakan senjata. Bahkan ketika dipotret tidak menunjukkan reaksi kemarahan, jadi seolah-olah ingin menunjukkan aksinya ke publik,” ujarnya.
Dari fakta itu, Neta menganalisa, perampokan Bank CIMB Medan yang merenggut nyawa Briptu Manuel dan melukai dua satpam bank, merupakan bagian dari upaya merusak citra Kapolda Sumur Irjen Pol Oegroseno.
“Belum tentu (ada oknum polisi terlibat) tapi yang jelas dari tipikal sangat terlatih dan menggunakan senjata organik,” ujarnya.
Perlu diketahui, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri bakal pensiun pada Oktober mendatang. Saat ini sejumlah nama telah disebut-sebut bakal menggantikan posisinya. Di antaranya, Irjen Pol Oegroseno, Irjen Pol Nanan Soekarna, dan Irjen Pol Timur Pradopo.(ful)
sumber okezone
Oknum Polisi Diduga Terlibat Nakorba
Oknum anggota Polrestabes Surabaya, Bripka AN, diduga terlibat dalam perdagangan sabu-sabu. Tadi malam, mantan anggota Reskrim Polresta Surabaya Utara itu diperiksa di ruang khusus penyidik satnarkoba .
Hal ini terlihat ketika beberapa penyidik dari Unit Idik III Satnarkoba Polrestabes sibuk sejak Rabu lalu. Dalam ruang penyidikan, seorang lelaki berpakaian dinas polisi tengah diperiksa secara maraton. Pria itu berseragam Dalmas (Pengendalian Masyarakat).
Samar-samar terdengar Bripka AN mencoba mengelak tuduhan sebagai bandar sabu-sabu (SS) dengan berbagai dalih. Padahal petugas jelas mendapatkan barang bukti (BB) sabu seberat 3,5 gram dari rumah Bripka AN di kawasan Lakarsantri.
”Belum dipastikan keterlibatannya. Kami masih menunggu proses pemeriksaan dari penyidik. Kasih dulu waktu buat penyidik untuk memeriksa dan melakukan cross check dengan tersangka lainnya,” ujar Kasatnarkoba Polrestabes AKBP Eko Puji Nugroho dihubungi, Jumat(20/8).
Memang, penangkapan Bripka AN tidak serta-merta digerebek di rumahnya, melainkan pengembangan dari penangkapan Zaini ,35, seorang pengedar asal Desa Pengalangan, Gresik. Zaini dibekuk petugas setelah terpancing menjual sabu kepada polisi yang menyamar (undercover buy).
Zaini sendiri sebelumnya sudah diincar petugas karena beberapa kali terlihat melakukan transaksi dengan pengguna. Polisi sempat kesulitan masuk ke jaringan Zaini, karena dia hanya melayani pembeli di kawasan Gresik saja. Namun akhirnya Zaini percaya saat diajak transaksi di kawasan Giwak, Citra Raya, sampai akhirnya ia ditangkap setelah menyerahkan dua poket sabu seberat satu gram.
Dari nyanyian Zaini inilah akhirnya disebut nama Bripka AN yang berdinas di Polrestabes Surabaya. Alhasil, polisi langsung bergerak ke rumah Bripka AN di kawasan Lakarsantri tersebut. Awalnya, pria berkulit hitam ini sempat mengelak dan merayu petugas untuk tidak menggeledah rumahnya.
Tak termakan rayuan AN, petugas merangsek masuk dan menggeledah rumah tersebut sampai menemukan satu poket sabu seberat 3,5 gram beserta alat isap. Walau tes urine yang dilakukan petugas terhadap AN hasilnya negatif, namun berdasarkan BB yang ditemukan, mereka tetap menggelandang AN ke Mapolrestabes. (nurqomar/B)
sumber http://www.poskota.co.id
Hal ini terlihat ketika beberapa penyidik dari Unit Idik III Satnarkoba Polrestabes sibuk sejak Rabu lalu. Dalam ruang penyidikan, seorang lelaki berpakaian dinas polisi tengah diperiksa secara maraton. Pria itu berseragam Dalmas (Pengendalian Masyarakat).
Samar-samar terdengar Bripka AN mencoba mengelak tuduhan sebagai bandar sabu-sabu (SS) dengan berbagai dalih. Padahal petugas jelas mendapatkan barang bukti (BB) sabu seberat 3,5 gram dari rumah Bripka AN di kawasan Lakarsantri.
”Belum dipastikan keterlibatannya. Kami masih menunggu proses pemeriksaan dari penyidik. Kasih dulu waktu buat penyidik untuk memeriksa dan melakukan cross check dengan tersangka lainnya,” ujar Kasatnarkoba Polrestabes AKBP Eko Puji Nugroho dihubungi, Jumat(20/8).
Memang, penangkapan Bripka AN tidak serta-merta digerebek di rumahnya, melainkan pengembangan dari penangkapan Zaini ,35, seorang pengedar asal Desa Pengalangan, Gresik. Zaini dibekuk petugas setelah terpancing menjual sabu kepada polisi yang menyamar (undercover buy).
Zaini sendiri sebelumnya sudah diincar petugas karena beberapa kali terlihat melakukan transaksi dengan pengguna. Polisi sempat kesulitan masuk ke jaringan Zaini, karena dia hanya melayani pembeli di kawasan Gresik saja. Namun akhirnya Zaini percaya saat diajak transaksi di kawasan Giwak, Citra Raya, sampai akhirnya ia ditangkap setelah menyerahkan dua poket sabu seberat satu gram.
Dari nyanyian Zaini inilah akhirnya disebut nama Bripka AN yang berdinas di Polrestabes Surabaya. Alhasil, polisi langsung bergerak ke rumah Bripka AN di kawasan Lakarsantri tersebut. Awalnya, pria berkulit hitam ini sempat mengelak dan merayu petugas untuk tidak menggeledah rumahnya.
Tak termakan rayuan AN, petugas merangsek masuk dan menggeledah rumah tersebut sampai menemukan satu poket sabu seberat 3,5 gram beserta alat isap. Walau tes urine yang dilakukan petugas terhadap AN hasilnya negatif, namun berdasarkan BB yang ditemukan, mereka tetap menggelandang AN ke Mapolrestabes. (nurqomar/B)
sumber http://www.poskota.co.id
Oknum Polisi Bonceng Janda Pembawa Ineks
Oknum anggota Polsek SU II berinisial Brigadir AK, disergap jajaran Direktorat Narkoba Polda Sumsel ketika sedang membonceng janda berinisial Enw (36). Mereka disergap, tim pimpinan Kasat II AKBP Ismail Zahara dan Kanit III Sat Idik II AKP Drs H Hidayat, ketika hendak membeli takjil buat berbuka puasa, di Jl KH Wahid Hasyim, depan SPBU 1 Ulu, Kecamatan SU I, Kamis (19/8) sekitar pukul 17.30 WIB.
Hasilnya, dari bawah kaki tersangka Enw, polisi menemukan amplop yang dibungkus kantong plastik hitam. Begitu dibuka lagi, didalamnya ada lagi kantong plastik klip bening berisi 58 butir ineks dan 1 butir dalam kondisi pecah, semuanya warna pink berlogo Wallet. Kemudian 51 butir ineks lagi warna pink muda. Atas temuan barang bukti narkotika itu, keduanya digelandang ke Mapolda Sumsel.
Hingga kemarin sore, dalam pemeriksaan Esn sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara, oknum Brigadir AK statusnya masih sebagai saksi. ”Hasil pemeriksaan awal, oknum polisi itu (Brigadir AK, red), mengaku tidak mengetahui jika yang diboncengnya itu membawa narkoba. Namun, kita akan lakukan pemeriksaan lebih lanjut,” terang Direktur Narkoba Polda Sumsel, Kombes Pol Teguh Prayitno, kemarin.
Sementara, untuk hukuman disiplinnya, lanjut Teguh, terhadap Brigadir AK akan diserahkan ke atasan yang berhak menghukumnya (ankum). Ditegaskan Teguh, penangkapan itu sudah dari penyelidikan sebelumnya. ”Saat penangkapan, tersangka (Enw,red) sedang dibonceng motor oleh oknum anggota polisi tersebut (Brigadir AK,red). Saat hendak digeledah, tersangka berusaha membuang BB narkoba yang ada di tangan kirinya secara perlahan-lahan, lalu diinjak dengan kakinya. Tapi aksi itu sempat dilihat anggota,” beber Teguh.
Kepada wartawan, tersangka Enw membantah ineks itu miliknya. “Sumpah, Pak, aku idak tahu dengan ineks itu. Karena waktu distop, kami lagi nak beli makanan untuk berbuka. Pertama, aku diajak menjauh dari motor, sekitar dua meter dan dompet aku yang diperiksa. Setelah itu, aku disuruh mendekat lagi ke motor. Tapi tiba-tiba di bawah kaki aku, sudah ada ineks itu,” cetus tersangka Enw. Usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik, kemarin keduanya dibawa ke RS Bhayangkara untuk menjalani tes urine. (mg10)
sumber http://www.sumeks.co.id
Hasilnya, dari bawah kaki tersangka Enw, polisi menemukan amplop yang dibungkus kantong plastik hitam. Begitu dibuka lagi, didalamnya ada lagi kantong plastik klip bening berisi 58 butir ineks dan 1 butir dalam kondisi pecah, semuanya warna pink berlogo Wallet. Kemudian 51 butir ineks lagi warna pink muda. Atas temuan barang bukti narkotika itu, keduanya digelandang ke Mapolda Sumsel.
Hingga kemarin sore, dalam pemeriksaan Esn sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara, oknum Brigadir AK statusnya masih sebagai saksi. ”Hasil pemeriksaan awal, oknum polisi itu (Brigadir AK, red), mengaku tidak mengetahui jika yang diboncengnya itu membawa narkoba. Namun, kita akan lakukan pemeriksaan lebih lanjut,” terang Direktur Narkoba Polda Sumsel, Kombes Pol Teguh Prayitno, kemarin.
Sementara, untuk hukuman disiplinnya, lanjut Teguh, terhadap Brigadir AK akan diserahkan ke atasan yang berhak menghukumnya (ankum). Ditegaskan Teguh, penangkapan itu sudah dari penyelidikan sebelumnya. ”Saat penangkapan, tersangka (Enw,red) sedang dibonceng motor oleh oknum anggota polisi tersebut (Brigadir AK,red). Saat hendak digeledah, tersangka berusaha membuang BB narkoba yang ada di tangan kirinya secara perlahan-lahan, lalu diinjak dengan kakinya. Tapi aksi itu sempat dilihat anggota,” beber Teguh.
Kepada wartawan, tersangka Enw membantah ineks itu miliknya. “Sumpah, Pak, aku idak tahu dengan ineks itu. Karena waktu distop, kami lagi nak beli makanan untuk berbuka. Pertama, aku diajak menjauh dari motor, sekitar dua meter dan dompet aku yang diperiksa. Setelah itu, aku disuruh mendekat lagi ke motor. Tapi tiba-tiba di bawah kaki aku, sudah ada ineks itu,” cetus tersangka Enw. Usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik, kemarin keduanya dibawa ke RS Bhayangkara untuk menjalani tes urine. (mg10)
sumber http://www.sumeks.co.id
Oknum Polisi pangkat Kapten diduga otak Pemerasan
Selain diduga melakukan pelanggaran dalam penyitan Surat para Nelayan, sejumlah Polisi ddiduga melakukan pemerasan kepada pemilik Kapal Nelayan, sebesar jutaan rupiah setiap kapalnya. Hal ini disampaikan oleh salah satu pemilik Kapal Nelayan yang mengaku jika ia menajdi Korban pemerasan oknum Polisi berpangkat Kapten, yang mengaku dari Mabes Polri Jakarta.Karena takut kapal miliknya ditangkap, Luky kemudian menyetorkan dana senili 750 ribu rupiah untuk sang Kapten.
Namun pemeberian ini ditolak dengan alasan yang tidak sepatutnya terjadi, Sementara itu sang Oknum Polisi berpangkat Kapten, beinisial E-J masih belum bisa di temui. Hal ini menyebabkan munculnya dugaan jika penangkapan sejumlah Surat Surat Kapal ini karena, permintaan sang oknum Polisi tidak di penuhi.Oknum Polisi Polair yang diduga melakukan pemerasan, meminta setiap Kapal harus menyetor 1 juta rupiah perbulan kepadanya, utnuk memuluskan setiap Nelayan yang hendak melaut.
Maulana malik al-habiby
sumber http://www.pacifictv.tv/manado/1359-oknum-polisi-pangkat-kapten-diduga-otak-pemerasan.html
Namun pemeberian ini ditolak dengan alasan yang tidak sepatutnya terjadi, Sementara itu sang Oknum Polisi berpangkat Kapten, beinisial E-J masih belum bisa di temui. Hal ini menyebabkan munculnya dugaan jika penangkapan sejumlah Surat Surat Kapal ini karena, permintaan sang oknum Polisi tidak di penuhi.Oknum Polisi Polair yang diduga melakukan pemerasan, meminta setiap Kapal harus menyetor 1 juta rupiah perbulan kepadanya, utnuk memuluskan setiap Nelayan yang hendak melaut.
Maulana malik al-habiby
sumber http://www.pacifictv.tv/manado/1359-oknum-polisi-pangkat-kapten-diduga-otak-pemerasan.html
Langganan:
Postingan (Atom)
Istri Tewas & Suami Dipenjara
Pengacara: BAP Lanjar Dibuat Seolah-olah Kecelakaan Tunggal.
Polisi dinilai sengaja membuat penyimpangan dalam kasus kecelakaan yang menimpa Lanjar. Dalam BAP Lanjar, tidak disebutkan bahwa istrinya tewas akibat tertabrak mobil setelah terjatuh dari motor. Kecelakaan yang dialami Lanjar dibuat seolah-olah kecelakaan tunggal
selengkapnya
Denda Tilang Tidak Lebih dari 50rb (INFO WAJIB DIBACA!!)
Beberapa waktu yang lalu sekembalinya berbelanja kebutuhan, saya sekeluarga pulang dengan menggunakan taksi. Ada adegan yang menarik ketika saya menumpang taksi tersebut, yaitu ketika sopir taksi hendak ditilang oleh polisi. Sempat teringat oleh saya dialog antara polisi dan sopir taksi..
selengkapnya