Sabtu, 12 Desember 2009

Citra Kinerja Polisi Didominasi Kekerasan dan Korupsi

Pemukulan sejarawan Universitas Indonesia JJ Rizal oleh oknum polisi di Depok menambah catatan buruk kinerja Kepolisian Indonesia. Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, kasus ini melengkapi catatan kepolisian yang didominasi isu perilaku kekerasan dan koruptif.

"Fenomena ini yang dominan kami cermati dari kasus-kasus yang ada," katanya dalam diskusi mingguan Trijaya FM di Warung Daun Cikini, Sabtu (12/12). Oleh karena itu, yang kini harus diperjuangkan oleh pemerintah dan masyarakat sipil adalah mendorong reformasi total di tubuh kepolisian, mulai dari sistem rekrutmen, hingga pengawasan dan pembinaan.

Emerson menyoroti kasus salah pukul yang dialami Rizal mungkin saja bisa selesai karena dirinya dekat dengan media atau berasal dari kalangan akademisi. Akan tetapi tidak terbayangkan kalau itu terjadi pada orang biasa. "Lagipula, kalau preman menganiaya saja diproses, apalagi polisi. Harusnya ditindak tegas,," tandasnya.

JJ Rizal yang juga hadir dalam diskusi itu menyesalkan bahwa kasus yang menimpanya justru dilakukan oleh oknum dari institusi yang paling sering kontak dengan masyarakat. "Ternyata, menurut data Komnas HAM, pelanggaran HAM di 2008 itu paling banyak dilakukan oleh polisi. Kasus saya ini refleksi pendidikan dasar di polisi itu sudah rusak," ujarnya.

sumber kompas

Propam Segera Periksa Anggota Polres Probolinggo

Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Resor Probolinggo akan memeriksa Brigadir Satu In. Pemeriksaan dilakukan menyusul peristiwa tertembaknya Slamet, warga Desa Palang Besi, pelaku perjudian dadu dalam penggerebekan yang dilakukan Jum’at dini hari (11/12). Akibat tembakan itu, Slamet terluka.

Kepala Polres Probolinggo, Ajun Komisaris Besar Ai Afiandi kepada wartawan mengatakan, satu orang polisi akan diperiksa terkait dengan peristiwa penggerebekan yang memakan korban luka cukup serius di beberapa bagian tubuhnya.

Menurut Ai, tertembaknya Slamet ini lantaran peluru nyasar dari senjata anggotanya. Dia menceritakan, ada lima orang anggota yang melakukan penggerebekan.
Suasana sekitar tempat penggerebekan saat itu agak gelap. Sebelum penggerebekan ada tembakan peringatan sebanyak empat kali. Tembakan peringatan tersebut tampaknya membuat para penjudi panik hingga berlarian. Dalam suasa panik tersebut, In tertabrak salah satu penggerebek hingga jatuh dan senjatanya meletus. Letusan senjata itu ternyata mengenai korban.

Berkaitan dengan luka lainnya di beberapa bagian tubuh korban, Ai mengatakan masih menunggu laporan dari Propam.

Seperti diberitakan penggerebekan kalangan judi dadu di Kecamatan Lumbang mengakibatkan Slamet mengalami luka cukup serius. Ditemukan benda asing yang bersarang di bagian kepala korban, tiga jari kaki luka terputus. Sedang muka atau wajah korban mengalami bengkak-bengkak.

Dalam penggerebekan di lahan milik Lasmini ini, polisi juga menangkap Sutono, bandar judi dadu itu. Sebelum melakukuan penggerebekan tersebut, polisi sebenarnya telah melakukan tembakan peringatan sebanyak empat kali.

sumber tempointeraktif.com

Jumat, 11 Desember 2009

Komandan Brimob Diduga Menyalahgunakan Wewenang

Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Oegroseno menduga ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Komandan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sumatera Selatan dalam tragedi penembakan petani di Kabupaten Ogan Ilir.

Hari ini Propam memeriksa sepuluh anggota Brimob yang melakukan penembakan pada Jumat pekan lalu.

Untuk sementara, hasil pemeriksaan menunjukan bila penempatan Brimob di lokasi pondokan petani Desa Rengas, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan itu sudah sesuai dengan prosedur, yakni untuk mendukung penertiban pondokan petani. "Prosedur perizinan dari Kapolda hingga Kapolres telah sesuai aturan," kata Oegroseno saat dihubungi, Jumat (11/12).

Dugaan penyalahgunaan wewenang itu, lanjut Oegroseno, dicurigai ada di tahap Komandan Brimob sebagai orang yang bertanggung jawab atas aktivitas anggotanya saat bertugas. "Untuk membuktikan dugaan tersebut, Propam akan melakukan pendalaman penyelidikan terhadap Komandan Brimob," kata dia.

Sedangkan dalam pemeriksaan terhadap sepuluh Brimob penembak warga, Propam masih menyelidiki apakah penembakan itu sudah sesuai aturan atau belum.

Berdasarkan prosedur, penembakan yang dilakukan aparat harus dimulai dengan penembakan peringatan ke atas dan ke bawah. "Kalau situasi tetap memanas dan warga tidak bisa dikendalikan baru diizinkan menembak ke arah massa, ke bagian kaki."

Seluruh proses penyelidikan, lanjutnya, diperkirakan akan selesai dalam waktu dua pekan.

Kekerasan di Ogan Ilir ini bermula saat lahan sekitar 40 hektare di wilayah Pabrik Gula Cinta Manis dinyatakan oleh Mahkamah Agung sah milik petani Desa Rengas, pada 1996 lalu.

Pada Oktober kemarin, petani dan Kepala Rayon PTPN VII telah sepakat agar lahan seluas 800 hektare dikembalikan ke warga setelah perusahaan negara itu melakukan panen.

Dengan adanya kesepakatan itu, warga pun membersihkan lahan dan mendirikan pondok tidak permanen di lahan tersebut. Namun, pada Jumat pekan lalu, satuan petugas PTPN VII Pabrik Gula Cinta Manis dan anggota Brimob Polda Sumatera Selatan melakukan pembongkaran pondokan milik petani Desa Rengas. Bahkan dua petani, Wan dan Rozali Semoat disandera.

Akibatnya, ribuan masyarakat Desa Rengas mendatangi Rayon 6 PTPN VII dan menahan dua pegawai perusahaan untuk ditukar dengan rekan mereka.

Sayangnya, saat pertukaran petani dan pegawai perusahaan itu berlangsung, terjadi kontak fisik antara warga dan anggota Brimob. Akibatnya, sekitar 20 warga mengalami luka tembak dan memar-memar.

Wakil Juru Bicara Mabes Polri Brigadir Jenderal Sulistyo Ishak mengatakan hari ini telah dilakukan proses rekonstruksi terhadap sepuluh anggota Brimob yang melakukan penembakan. "Kami tidak akan menutup-nutupi anggota yang harus dilakukan penegakan hukum secara internal maupun pidana," kata Sulistyo.

sumber tempointeraktif

Lima Oknum Polisi Dipecat

Lima anggota Polres Kota Pagaralam, Sumatra Selatan (Sumsel), diberhentikan dengan tidak hormat karena mereka terbukti terlibat menggunakan narkoba.

Kapolres Kota Pagaralam, AKBP Abdul Sholeh, di Pagaralam, Jumat, mengatakan, pemecatan itu dilakukan berdasarkan surat keputusan khusus yang dikeluarkan oleh Kepolisian Daerah (Polda) Sumsel.

"Kelima anggota Polres Pagaralam yang dipecat tersebut adalah Briptu MF, Briptu AS, Briptu OI, Briptu IH dan Briptu Zo," ujarnya.

Dia mengatakan, anggota polisi ini terbukti melanggar PP No 1 tahun 2003 psl 59 (1) huruf dan UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

"Pemecatan ini merupakan bukti komitmen jajaran polri dalam menegakkan hukum, tidak peduli ia anggota polisi jika terbukti bersalah akan dikenakan sanksi termasuk pemecatan," katanya.

sumber kompas

Wartawan Bonyok Dihajar Oknum Polisi

Pemukulan terhadap wartawan kembali terjadi di Kota Balikpapan. Seorang jurnalis Post Metro Balikpapan, Fauzan (21), menjadi korban pemukulan yang dilakukan oknum polisi yang mengaku bertugas di Resnarkoba Polda Kaltim.

Info yang dihimpun, Selasa (13/10/2009), pemukulan terjadi pukul 00.30 Wita dini hari tadi di Jalan Siaga saat korban wartawan bersama empat rekanya asik bermain Play Station.

"Fauzan didatangi dua orang polisi dan dua temannya untuk menegur karena berisik saat bermain PS. Sekalipun sudah sudah minta maaf. Fauzan tetap didorong hingga kepalanya terbentur," ungkap rekan Fauzan, Minu, di RS Restu Ibu Balikpapan, Selasa (13/10/2009).

Menurut Minu, pemukulan terjadi karena Fauzan menolak permintaan oknum polisi tersebut untuk melakukan push up, sehingga terjadi pendorongan dan pemukulan kepada Fauzan. "Kamu berani menantang? Saya tidak takut," tegas polisi tersebut seperti yang ditirukan Minu.

Menurut pengakuan Fuzan, salah satu oknum polisi yang melakukan pemukulan dari mulutnya tercium bau minuman keras. Akibat pemukulan itu, Fauzan harus dirawat di RS Restu Ibu dengan luka geger otak ringan di kepala dan luka di lambung.

Atas kejadian tersebut, Komunitas Wartawan Balikpapan akan melayangkan protes dengan mendatangi Polres Balikpapan. Mereka meminta proses penegakan hukum atas pemukulan yang dialami Fauzan. (teb)

sumber okezone

Selingkuhi Istri Teman, Oknum Polisi Digerebek Warga

Pagar makan tanaman, pribahasa tersebut layak disandang Cn, warga Desa Papahan,Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah. Bagaimana tidak, Cn, tega berbuat asusila dengan Nuning, istri temannya sendiri.

Parahnya lagi, antara Cn dan As, suami Nuning, adalah seorang polisi yang berdinas di Polres Karanganyar, Jawa Tengah. Dari informasi di lapangan menyebutkan, warga mencurigai Naning tengah berselingkuh saat seorang pria datang ke rumah tersebut.

Pasalnya, Kejadian itu bukan kali pertama. Warga sering melihat keduanya berduaan saat suami Nuning tidak ada di rumah. Malam itu, AS suami Naning pun tengah menjalankan tugas rutinya di kantor.

"Sampai malam hari, Cn, masih terus berada di rumah Nuning. Padahal As suaminya sedang tidak ada di rumah. Itu membuat kami resah dan risih. Akhirnya kami mendatangi mereka," ungkap Hery Setyawan, salah satu warga Kodokan yang ikut dalam penggerebekan, Minggu (18/10/2009).

Menurut Hery, bukan hanya di rumah Nuning saja perselingkuhan dilakukan. Ibu dua anak itu juga pernah kepergok berselingkuh di salah satu kawasan wisata di Karanganyar. "Sekarang diulang lagi. Padahal dulu sudah pernah ketahuan," imbuhnya.

Mendapati keduanya tengah berduaan, warga pun langsung menyidang keduanya. Persidangan dilakukan hingga dinihari kemarin. Hery pun berharap kejadian tersebut menjadi pelajaran bagi keduanya.

Sementara itu, Kapolres Karanganyar AKBP Sri Handayani saat dikonfirmasi terkait ulah anak buahnya mengaku belum dapat berkomentar. Dirinya berdalih belum mengetahui secara pasti kejadian tersebut. "Saya akan cek dulu. Saya belum menerima laporan itu secara lengkap," jelas Kapolres.

sumber okezone

Bermasalah Emosi, Oknum Polisi Ancam Bredel Media

Peristiwa tidak menyenangkan kembali harus dialami wartawan. Salah seorang wartawan media online, Sandro diancam oleh oknum polisi saat meliput prosesi pemotongan hewan kurban di Lapangan Bhayangkara, Mabes Polri, Jakarta, Jumat (27/11/2009).

Kronologisnya, seekor sapi yang mau dipotong ngamuk dan berlari. Sandro pun dengan sigap mengabadikan momen tersebut dengan kamera handphonenya. Namun tiba-tiba, seorang oknum polisi membentaknya dengan kasar. Bahkan, oknum tersebut mengancam akan membredel medianya.

"Dari mana kamu," salah seorang berperawakan tambun dengan menggunakan baju koko putih, bercelana panjang dan bertopi haji dengan nada tinggi.

"Dari Kompas.com Pak," jawab Sandro.

"Beritain yang bener ya. Saya pegang Kompas. Awas saya bredel," ancam oknum tersebut.

Tak terima dengan perlakuan oknum tersebut, Sandro bertanya kembali kepada oknum tersebut untuk mempertegas kalimat 'bredel' tadi. "Maksud bapak tadi apa ngancam-ngancam dan mau membredel media saya," tanya Sandro.

"Kamu jangan coba-coba ancam saya. No comment tanya saja sama Ketua Panitia," jawab oknum tersebut dengan ketus dan langsung meninggalkan sang wartawan.

Tak berapa lama kemudian, sang polisi berdalih dirinya tidak mengancam Sandro. "Saya tidak mengancam, hanya mengingatkan," jawab si oknum tadi.

"Berarti kata awas dan bredel tadi itu mengingatkan ya," tanya Sandro. "Iya," jawabnya singkat.

Salah seorang anggota polisi yang melihat kejadian itu langsung menarik oknum tersebut dan tak lama oknum tersebut kembali menemui wartawan Kompas.com.

Oknum tersebut akhirnya meminta maaf kepada wartawan tersebut. "Kalau ada salah-salah kata, saya pribadi minta maaf. Situasi sedang panas, jangan diperkeruh dengan membuat berita yang jelek-jelek," kata oknum tersebut dengan nada ketus.

Menurut informasi dari Panitia Kurban, oknum polisi itu bermasalah dengan emosinya. Akhirnya mereka berdamai.(bul)
(hri)

sumber okezone

Polres Jakarta Utara Panen Tangkapan Judi Togel

Jajaran Polres Jakarta Utara berhasil menangkap 23 pengedar judi togel dalam sepekan terakhir. Polisi mengamankan uang tunai sejumlah Rp4,7 juta, kupon, buku rekapan, dan alat hitung.

Kasat Reskrim Polres Jakarta Utara, Kompol Adex Yudiswan, menegaskan penangkapan tersebut merupakan hasil razia di sejumlah daerah rawan judi togel di Jakarta Utara.

"Di antaranya Kelapa Gading, Pademangan, Penjaringan, dan Tanjung Priok," ungkapnya di Jakarta, Jumat (11/12/2009).

Para tersangka saat ini telah diamankan di Mapolres Jakarta Utara. Mereka diancam dengan pasal 303 (1) KUHP dengan ancaman masimal 10 tahun penjara. (Isfari Hikmat/Koran SI/ful)

okezone

Duh, Polisi Kepulauan Seribu Aniaya Istri

Seorang anggota polisi Kepulauan Seribu, Bripda Heri Ismail (23), akan dicari satuannya karena pengaduan istri sirinya ke Polres Metro Jakarta Utara dan Polres Metro Kepulauan Seribu. Marlia Adelia (23) atau yang akrab disapa Ade, nama istri Heri, mengadu karena telah mengalami kekerasan yang dilakukan suaminya.

Penganiayaan ini bermula ketika Ade bersama putranya Akbar (2) sedang melintas di Jalan Raya Cemara, Koja, Jakarta Utara. Saat itu, Ade mengenali mobil Daihatsu Xenia milik suaminya yang juga melintas dari arah berlawanan. Karena memang sudah lama mencari suaminya, Ade pun sengaja berhenti di tengah jalan untuk menghentikan mobil itu. Ternyata di dalam mobil itu Heri sedang bersama seorang perempuan lain yang tidak dikenal Ade.

Namun, tiba-tiba Heri kembali ke mobil dan mengarahkan mobilnya seolah-olah akan menabrak Ade. Ade pun kaget, dan dia melompat ke pinggir. Ade sempat tersenggol mobil dan jatuh bersama Akbar. Akbar menangis karena takut dan kaget.

Setelah menyenggol Ade, Heri turun dari mobil dan langsung mencekik Ade sambil berteriak marah. “Mas Heri menampar dan mencekik saya. Dia juga memukul wajah saya,” kata Ade, Kamis (10/12/2009). Akibat perbuatan Heri dan rasa sedih yang tak terhingga, Ade pun pingsan.

Setelah sadar, Ade telah berada di kamas kos kakak laki-lakinya di Jalan Lontar 10, Nomor 10, RT 11 RW 10, Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara. Di kamar nomor lima itu, Ade melihat kakak dan istrinya sedang menangis mencoba menyadarkan Ade dari pingsannya. “Tapi saya sudah tidak melihat Mas Heri lagi,” tambahnya.

Kejadian itu sendiri berlangsung pada Sabtu (5/12/2009) lalu sekitar pukul 17.00 WIB. Pada malam harinya, ditemani kakaknya, Ade memeriksakan kondisinya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Koja, Jakarta Utara. “Di Rumah Sakit Koja, saya sekalian divisum untuk bahan melaporkan Mas Heri ke Polres Jakarta Utara dan Unit Pelayanan Pengamanan Penindakan Disiplin (P3D) Polres Kepulauan Seribu tempat Mas Heri bertugas,” ujarnya.

Tidak harmonis

Pernikahan Ade dengan Heri sudah lama tidak harmonis. Terlebih saat Ade sedang mengandung anak keduanya yang kini telah berusia enam bulan. “Sebelumnya Mas Heri memang sudah jarang pulang, bilangnya selalu sedang ada tugas dari atasannya,” tutur Ade.

Wakil Kepala Polres Kepulauan Seribu Komisaris Polisi Suyanto membenarkan bahwa Heri Ismail adalah petugas kepolisian yang bertugas di kesatuannya. Menurutnya, kasus penganiayaan yang dilakukan Heri terhadap istrinya juga sedang diproses oleh petugas P3D.

“Tiga bulan lalu sebenarnya Heri telah divonis bersalah dan diputuskan untuk dimutasi ke luar daerah,” ucap Suyanto saat dihubungi melalui telepon selulernya.

Namun, ditambahkan Suyanto, keputusan tersebut memang belum dilaksanakan oleh Heri. Suyanto pun tidak menjelaskan kasus apa yang melibatkan Heri tiga bulan silam tersebut.

sumber kompas

Kamis, 10 Desember 2009

Polisi Penganiaya Tahanan Diberi Sanksi Disiplin

Polisi yang bertugas di Kepolisian Resor (Polres) Kota Gorontalo, yang menjadi tersangka penganiaya dengan cara memaku tangan tahanan saat melakukan interogasi, telah diberi sanksi disiplin.

Hal itu diungkapkan oleh Kapolres Kota Gorontalo Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Yosal Zein, Rabu (9/12). "Yang bersangkutan baru diberi sanksi disiplin, dan sekarang mendekam di dalam tempat khusus di Polda Gorontalo, selama 21 hari," kata dia.

Brigadir Napri, nama polisi tersebut, menurut dia, baru diberikan sanksi disiplin, karena belum adanya gugatan pidana dari keluarga Kasman Noho, tahanan yang menjadi korban penganiayaan itu. "Hingga saat ini, pihak keluarga Kasman belum menggugat si pelaku secara pidana," kata dia.

Bahkan menurut dia, pihak keluarga korban terkesan tidak mempedulikan masalah itu, karena tidak hadir saat sidang digelar.

Brigadir Napri melakukan penyiksaan terhadap Kasman Noho, dengan cara memaku kedua tangannya di atas meja, saat menginterogasi pada Selasa (1/12) malam.

Kasman, warga Desa Moutong, KecamatanTilongkabila, Kabupaten Bone Bolango, sebelumnya dijemput polisi di rumahnya, pada Selasa (1/12) siang, karena diduga telah mencuri sepeda motor milik Koperasi "Fadillah", tempat dia bekerja.

Selain Brigadir Napri, polisi juga memeriksa dua anggotanya yang lain, yakni Dedy dan Taufik, yang juga ikut menginterogasi tahanan. Dalam interogasi yang berujung pada penyiksaan itu, Kasman tetap tidak mau mengakui telah mencuri sepeda motor.

Keadaan kasman yang sudah babak belur itu, baru diketahui pihak keluarganya pada keesokan harinya, Rabu (2/12), yang hendak menjenguknya di tahanan, dan atas desakan pihak keluarga, Kasman pun dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan. (Ant/OL-01)

sumber media indonesia

Banpol Tewas Dianiaya Polisi

Seorang anggota Bantuan Polisi (Banpol) di Wilayah Sengkang, Sulawesi Selatan, dianiaya oleh anggota Polres Wajo hingga tewas.

Informasi yang dihimpun menyebutkan, Pakkasse (59), diduga tewas dianiaya saat polisi sedang menginterogasinya di ruangan penyidik kantor Kepolisian Resor (Polres) Wajo, usai buka puasa, Kamis (17/9) sekitar pukul 18.30 Wita.

Penangkapan dan pemeriksaan tersebut terkait kecurigaan polisi terhadap korban yang dianggap sebagai anggota jaringan pencuri kendaraan motor (curanmor) di wilayah Sengkang.

Sementara keluarga korban curiga dan keberatan dengan perlakuan tersebut.

Jenazah anggota Banpol yang telah mengabdi selama 20 tahun lebih ini dilarikan ke Instalasi Kedokteran Forensik Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Mappa Oudang Makassar untuk diautopsi.

Sebelumnya korban dibawa ke Rumah Sakit Umum (RSU) Sengkang. Ditemukan luka memar dileher kiri belakang dan punggung sebelah kanan.

Salah satu anak korban, Anto (30), Jumat (18/9), di Makassar, mengungkapkan, jika keluarganya tidak terima perlakuan polisi terhadap ayahnya. Mereka menduga Pakkasse dianiaya dengan benda keras hingga mati lantaran dituduh sebagai jaringan curanmor.

Anto menceritakan, kasus ini berawal saat Banpol senior ini bermaksud melerai pertengkaran antara polisi dan seorang anak yang dituduh ingin mencuri motor Yamaha di Pasar Sentral Sengkang (17/9) sekitar pukul 17.00 Wita sore.

Karena polisi tersebut tidak mengenal korban, akhirnya sejumlah polisi di pasar tersebut langsung melumpuhkannya dengan tangan kosong dan membawanya ke Polres Wajo untuk diperiksa.

"Saat saya mau jenguk ayah saya, petugas melarang saya masuk untuk menemuinya. Akhirnya saya minta izin kepada salah satu anggota perwira, tapi saya temukan bapakku sudah tidak bernyawa lagi di kursi rungan penyidik," ungkap Anto

Saat di dalam ruangan penyidik, dia melihat ayahnya sudah tergeletak di atas bangku panjang penyidik dalam keadaan sudah tidak bernyawa dan telinganya mengeluarkan darah.

"Polisi bilang ia hanya pingsan dan menyuruhku segera membawanya ke rumah sakit sebelum meninggal," jelasnya.

Anto dan beberapa keluarganya yakin jika kematian ayah lima anak ini akibat penganiayaan dengan benda tumpul, yang diduga adalah gagang pistol dan diketahui selama ini korban tidak memiliki penyakit dan berencana akan memperkarakan kasus ini dipengadilan.

"Kami menduga dilakukan oleh salah seorang polisi berpangkat Briptu. Pelaku itu memang terbilang polisi baru di Polres Wajo, jadi tidak mengenal Takkasse, padahal dia cukup dikenal di jajaran polres Wajo," ujarnya. (Ant/OL-03)

Rabu, 09 Desember 2009

Kompolnas Sesalkan Penembakan di Ogan Ilir

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyesalkan peristiwa penembakan terhadap 19 petani Desa Rengas, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir (OI), Sumatra Selatan (Sumsel), Jumat (4/12) oleh anggota Satuan Brigadir Mobil (Brimob) Polda setempat.

Hal itu disampaikan Novel Ali, anggota Kompolnas dan dua orang staf Burhanudin dan Beni yang didampingi Kabid Humas Polda Sumsel, Kombes Abdul Gofur di Palembang, Rabu.

"Konflik tersebut sebenarnya antara pihak PTPN VII dan masyarakat yang menuntut hak atas tanah mereka untuk dikembalikan," kata dia pula.

Menurut dia, kejadian tersebut betul-betul tidak menguntungkan pihak kepolisian. "Apakah hal ini merupakan ketidak tahuan mereka berkaitan dengan pertauran Kapolri tentang prosedur penggunaan senjata bagi anggota polisi," ujar dia.

Ia mengharapkan, pihak Propam dalam menangani kasus tersebut tidak melakukan pembelaan terhadap oknum yang tersandung persoalan itu, karena apapun putusannya harus dihargai dan apabila mengacu pidana maka diproses sesuai hukum yang berlaku.

Anggota Kompolnas didampingi pihak Polda melihat kondisi di lokasi kejadian dan meminta kepada Kapolda agar petugas kepolisian segera ditarik agar ketakutan masyarakat terhadap polisi tidak berlarut-larut.

Anggota Kompolnas setelah kejadian itu berusaha berdialog langsung dengan petani yang menjadi korban, dan tampaknya enggan bila di ruang tempat mereka bertemu terdapat anggota kepolisian.

Sementara Kabid Humas Polda Sumsel Abdul Gafur mengatakan, pihaknya telah memeriksa enam anggotanya yang terlibat penembakan warga di sana.

"Kami sedang memperdalam sejauh mana tindakan dari anggota kami," kata dia pula.

Ke-19 korban penembakan warga Desa Rengas, Kabupaten OI yang dilakukan oknum Brimob setempat itu, sembilan diantaranya terpaksa dirujuk ke Rumah Sakit Umum dr Muhammad Husin Palembang, karena mengalami luka serius, sedangkan selebihnya hanya mengalami luka ringan.(*)

sumber antara

Polisi Langgar HAM Terbanyak

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), melansir pelanggaran hak azasi manusia pada 2009 banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum, yang didominasi oleh polisi.

Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jendral Bambang Hendarso Danuri, mengatakan, pihaknya tengah melakukan reformasi diri dengan melakukan perbaikan. "Kita mereformasi diri. Ini tidak semudah membalikan telapak tangan, tentunya berproses," kata dia, di Jakarta, Rabu (9/12).

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia, Inspektur Jendral Nanan Soekarna, mengatakan, polisi merupakan aparat pengak hukum yang paling sering bersentuhan dengan masyarakat. Polri, tegas Nanan, akan menindak tegas anggotanya yang melanggar. "Kode etik harus ditegakkan, bagi mereka yang melanggar akan kita dipecat, sekalipun itu resiko," kata dia.

Dia menyebutkan, selama 10 tahun reformasi, polisi yang dipecat mencapai 3.000 orang. "Kalau nggak layak jadi polisi ya kita pecat," tegas Nanan.

Nanan menyatakan, pendidikan di kepolisian tidak cukup untuk mengubah pola pikir anggota Polri. "Harapan kita masyarakat ikut mendidik, kalau mereka mau jadi polisi, tapi nggak mau jadi pelayan masyarakat, jangan jadi polisi," kata Nanan. Nanan juga meminta agar masyarakat ikut mengawasi kinerja polisi. "Jangan kompromi dengan polisi yang brengsek itu," tandas dia. ratna puspita/pur


SUMBER republika

Terima Suap, Perwira Polisi Ditahan

Seorang anggota Polda Sulawesi Tenggara, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Hamade, terpaksa dijebloskan ke dalam sel tahanan Polda Sulawesi Tenggara. Gara-garanya, dia ketahuan telah menerima suap dari pendaftar calon siswa bintara magang Polri 2004. Tak tanggung- tanggung, nilainya mencapai Rp 500 juta. Terbongkarnya permainan tersangka Hamade ini berkat laporan masyarakat ke Polda Sulawesi Tenggara. Dalam laporan masyarakat itu disebutkan bahwa tersangka telah meminta sejumlah uang kepada 18 pendaftar calon siswa bintara saat pendaftaran calon siswa bintara magang Polri yang dibuka Polda Sulawesi Tenggara pertengahan tahun ini. Untuk membuktikan tudingan itu, polisi selanjutnya melakukan penyelidikan. Dari hasil penyelidikan tersebut akhirnya perbuatan tersangka terungkap. Terhitung sejak Selasa (30/11) AKP Hamade dijebloskan ke sel tahanan provost Polda Sulawesi Tenggara. Ini merupakan bukti bahwa kami juga tak segan-segan menindak anggota polisi yang terlibat suap, korupsi, atau hal-hal semacamnya, ujar Kepala Polda Sulawesi Tenggara Brigjen T Ashikin Husein kepada Tempo di Kendari, Kamis (2/12). Saat dicokok, AKP Hamade adalah perwira pengajar di Sekolah Polisi Negara Anggota, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Sebelumnya, ia menjabat Kepala Biro Operasional Polda Sultra. Menurut Kepala Polda, pihaknya mendapat laporan dari masyarakat soal kelakuan AKP Hamade itu sekitar sebulan yang lalu. Laporan dari masyarakat itu diterima pihaknya, kata Ashikin, setelah sejumlah orangtua yang anaknya menjadi korban tersangka melapor ke Polda. Mereka mempertanyakan kenapa anaknya tak lulus, padahal mereka telah membayar sejumlah uang. Berdasarkan informasi itu, Polda segera bergerak melakukan penyidikan. Hasilnya, polisi memperoleh sejumlah bukti seperti beberapa lembar slip transfer uang. Bagaimana bisa lulus, seleksi penerimaan calon siswa kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, ujar Ashikin. Untuk seleksi kali ini, saya sendiri yang membuat soal-soal ujiannya dan yang memeriksanya langsung Wakil Kapolda. Jadi jangan harap bocor, dia melanjutkan. Secara terpisah, Kepala Dinas Penerangan Polda Sulawesi Tenggara AKP Djihartono mengatakan bahwa perbuatan tersangka AKP Hamade sudah dikategorikan tindak pidana. Artinya, selain harus menjalani sidang internal di Polda, ia juga harus menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Kendari. Ini kasus penggelapan. Maka akan diserahkan juga ke pengadilan umum, ujar Djihartono. dedy kurniawan

Sumber: Koran Tempo, 3 Desember 2004

Pencuri Semangka Terima Pengembalian Uang "Damai" dari Polisi

Keluarga Basar Suyanto, terdakwa pencurian satu buah semangka di Kediri mengaku menerima pengembalian uang suap dari anggota Kepolisian Sektor Mojoroto. Uang senilai Rp 500 ribu tersebut sempat diberikan kepada oknum anggota polisi untuk menyelesaikan kasusnya.

Suminem, 37, istri Basar Suyanto mengatakan beberapa hari lalu dia didatangi anggota Polsek Mojoroto berinisial PR di rumahnya Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Kedatangan itu untuk mengembalikan uang senilai Rp 500 ribu yang sempat diminta PR untuk menyelesaikan perkara yang menjerat suaminya saat masih ditangani Kepolisian Sektor Mojoroto. "Uang itu dikembalikan setelah kasusnya sering diberitakan," kata Suminem kepada Tempo, Rabu (9/12).

Menurut Suminem, uang tersebut diserahkan kepada PR untuk biaya pencabutan laporan pencurian. Saat itu PR menyebutnya sebagai biaya ganti rugi kehilangan semangka milik Darwati. Karena berharap suaminya segera dibebaskan, Suminem berusaha memenuhi permintaan tersebut. "Saya pinjam kanan kiri," kata ibu dua anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga ini.

Sri Widayati, 32, adik ipar Basar Suyanto membenarkan pengakuan tersebut. Bahkan menurutnya nilai ganti rugi itu terus bertambah menjadi Rp 1 juta hingga Rp 5 juta. Namun karena tidak memiliki biaya untuk membebaskan Basar, pihak keluarga memilih pasrah dan merelakannya dipenjara.

Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Kediri Komisaris Polisi Kuwadi membantah adanya uang damai tersebut. Dia mengaku telah memeriksa seluruh jajarannya yang menangani kasus itu dan memastikan tidak ada pungutan yang dilakukan terhadap keluarga Basar. "Saya sudah cek satu persatu," katanya.

sumber tempointeraktif

Selasa, 08 Desember 2009

DIANIAYA POLISI, MUNAWAR BUSUARA TEWAS MENGENASKAN

Munawar Busuara, 42 tahun, warga Desa Hate Bicara, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, Sabtu (20/10) sekitar pukul 03.00 WITA, tewas mengenaskan. Sekujur tubuhnya lebam kebiruan bekas penganiayaan.

Hanya karena persoalan keluarga, korban akhirnya tewas dianiaya sejumlah oknum polisi di Polsek Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara. Sabtu dini hari itu Munawar dijemput sejumlah anggota polisi karena masalah dengan saudaranya Sarju diadukan ke Polsek Jailolo. Saat melakukan penjemputan, polisi sudah melakukan pemukulan pada korban.

Selain dipukuli, korban juga ditendang hingga terjatuh. Korban meninggal sebelum dibawa ke rumah sakit. Meninggalknya Munawar membuat pihak keluarga menyesal dan bermaksud membawa kasus ini ke jalur hukum. Kepala Polres Halmahera Barat Ajun Komisaris Besar Polisi Solihin mengatakan, pemeriksaan sudah mengarah pada dua oknum polisi. Solihin berjanji akan melakukan penyelidikan lebih lanjut.(DOR)

sumber metrotvnews.com

Oknum Polisi Bandar Narkoba

Sindikat narkoba jaringan Jawa-Sumatera berhasil dibongkar. Dua orang diduga bandar narkoba dari Jakarta berhasil diamankan sekitar pukul 21.30 WIB, Rabu (2/12).
Keduanya, Bripka Amir Murthado (37), anggota polisi yang mengaku bertugas di Polres Tangerang, Banten. Lalu temannya Dondi (41), warga Kampung Pinang, RT 2/9, Kelurahan Tiga Raksa, Kecamatan Tiga Raksa, Kabupaten Tangerang.
Para tersangka beserta barang bukti narkoba dan satu unit mobil berhasil diamankan di halaman parkir Penginapan Timur, Jl Tanjung Api-Api (TAA), Kelurahan Kebun Bunga, Kecamatan Sukarami, Palembang. Terjun langsung Satuan Intelkam Poltabes Palembang pimpinan Kompol Rade Mangaraja Sinambela SIk bersama aparat dari Polsekta Sukarami pimpinan AKP Sugeng Hariyadi SIk.

Petugas mencatat ada 500 butir pil ineks warna hijau muda logo Batman dan sabu-sabu (SS) sebanyak satu kantong yang beratnya 100 gram yang diamankan. Di samping, polisi juga menyita dua unit handphone (Hp) dan satu mobil Daihatsu Xenia, warna hitam dengan Nopol B 1237 NFH, juga diamankan satu buah nopol B 14 CDR dengan nama Chandra.
Penangkapan terhadap bandar yang juga menjadi pengedar narkoba itu, setelah polisi menerima laporan warga. Informasinya, ada mobil selama dua hari sudah diparkir di Penginapan Timur dan kunci mobil tersebut dititipkan dengan petugas hotel. Kemudian polisi langsung melakukan penyelidikan di TKP.
Seorang petugas hotel, Putri (15) mengaku, kunci mobil para tersangka dititipkan dengan petugas shif pagi. Sedangkan Putri berjaga pukul 15.00-21.00 WIB. “Saya tidak tahu dengan kunci mobil tersebut, tapi kunci itu dititipkan dengan petugas yang bertugas pagi,” ujar Putri.
Dua hari melakukan penelisikan, petugas mendapat informasi kalau mobil tersebut akan diambil oleh tersangka yang akan tiba dari Jakarta. Nah, begitu kedua pelaku tiba di penginapan polisi langsung mengamankan tersangka. Keduanya diminta untuk menunjukan barang bukti di dalam mobil.
Nah, untuk mengelabui petugas, barang bukti disembunyikan di dinding mobil sebelah kanan belakang dan dibungkus dengan dua buah amplop warna putih. Pil ineks sebanyak 500 butir ditemukan di dalam lima kantong klip bening. Ada juga yang dipecah menjadi 100 butir per kantong.
Semula tersangka Amir yang ditemui enggan bercerita lebih banyak. Ia mengaku kalau dia sebagai anggota polisi yang bertugas di Tiga Raksa, Tangerang. Apalagi saat polisi ingin memeriksa urin, tersangka sempat menolak karena mengaku baru mengonsumsi narkoba. “Saya tidak kuat Pak untuk tes urine, karena saya baru saja make,” ungkap Amir.
Tersangka Amir membantah barang haram tersebut miliknya. Sebab, dia datang ke Palembang hanya mengambil mobil rental yang sudah lama di Palembang. “Saya merasa dijebak pada kejadian ini,” cetusnya.
Senada, tersangka Dondi mengaku, diajak tersangka Amir ke Palembang. Tujuannya, ingin mengambil mobil. “Saya diminta tolong oleh istrinya Amir untuk mengambil mobil di Palembang. Saya baru kali ini diajak Amir ke Palembang. Berangkat dari Jakarta malam sekitar pukul 19.50 WIB, naik pesawat Sriwijaya Air. Dari bandara langsung ke penginapan. Memang rencananya langsung mau pulang ke Jakarta. Saya tidak tahu kalau ada narkoba di mobil, karena saya cuma diajak, Mas,” aku Dondi yang berprofesi sebagai penjual jamu di Tangerang.
Tiba di Palembang, tambah Dondi, dia diajak tersangka Amir ke salah penginapan di dekat bandara dan beristirahat beberapa jam di dalam kamar. ”Paling sekitar satu jam kami istirahat, lalu Pak Amir mengajak keluar ngambil mobil dan langsung berangkat ke Jakarta. Saat kami masuk dalam mobil kami ditangkap polisi,” tukasnya.
Kapoltabes Palembang Kombes Pol Drs Luki Hermawan MSi didampingi Kasat Narkoba Kompol Syahril Musa SH mengatakan, setelah dilakukan penyelidikan selama dua hari, muncul dua orang tak dikenal. Keduanya melapor ke resepsionis penginapan dan hendak mengambil mobil tersebut. ”Bahkan dari informasi terbaru yang kami dapat, bahwa kedua orang yang mencurigakan itu akan membawa narkoba.”
Kini, kedua tersangka masih diperiksa intesif atas keterkaitan tersebut. “Hasil pemeriksaan sementara diperoleh keterangan bahwa tersangka Amir Murtadho memang anggota polisi. Setelah dicek yang bersangkutan tidak membawa surat perintah dan tidak ada perintah untuk meninggalkan satuannya, Polres Tangerang. (


sumber hermansuryantoadaapahariini.wordpress.com

Dua Isteri, Bripda Parera Dipecat

Bripda Dominggus Parera, NRP 68050558, anggota Samapta di Polres Timor Tengah Utara (TTU), dipecat tidak dengan hormat dari keanggotaan Polri karena Dominggus memiliki dua istri.

Pemecatan Bripda Parera berdasarkan Surat Keputusan Kapolda NTT Nomor: Pol.Skep/243/VI/2009 tanggal 15 Juni 2009. Acara pemecatan Bripda Dominggus dilakukan dalam apel di Mapolres TTU di Kefamenanu, Kamis (2/7/2009) pagi.

Upacara resmi itu dipimpin Kapolres TTU, AKBP Adi Wibowo, S.H, dihadiri Wakapolres TTU, Kompol Danang Beny K, para kasat, kaur, kabag serta seluruh anggota Polres TTU. Dalam upacara tersebut, pakaian Polri dan atribut-atribut Polri yang dikenakan Bripda Parera dicopot.

Dalam arahan singkatnya, Kapolres Adi Wibowo mengatakan anggota Polri adalah salah satu aparat penegak hukum. Karena itu dia harus memberi contoh perilaku, perbuatan, sikap dan perkataan yang benar dan baik menurut hukum.

"Jika aturan itu dilanggar, maka dia harus mendapat teguran dan sanksi. Jika teguran dan sanksi tidak digubris dan tidak mempan, maka dia harus dipecat," tegas Wibowo.


Menurutnya, reformasi di tubuh institusi Polri adalah tuntutan masyarakat. "Sekarang masyarakat kita sudah sangat kritis bila berhadapan dengan aparat. Jadi harus jaga diri baik-baik, melayani masyarakat dengan baik pula. Ukuran keberhasilan ditentukan pada pelayanan kita kepada masyarakat. Kalau anggota polisi berbuat semena-mena, maka harus diproses hukum sesuai dengan aturan yang berlaku," tandasnya.

Wakapolres TTU, Kompol Danang Beny K, kepada wartawan mengatakan Bripda Parera dipecat karena memilih hidup bersama dengan istri mudanya daripada dengan istri sahnya.

"Di Polri tidak ada kebijakan anggota punya dua istri. Jika punya istri lain di luar istri sah, dia harus dipecat," tandasnya.

Ditanya mengenai informasi bahwa ada anggota Polres TTU yang bertugas di Haumeni Ana memiliki tiga orang istri, Wakapolres Danang meminta agar istri sah anggota polisi itu segera melapor ke Polres TTU.

"Yang punya dua istri saja dipecat, apalagi punya tiga orang istri. Lapor segera ke saya, nanti diproses dan diusulkan untuk dipecat. Ngapaian pelihara anggota polisi kayak begitu," tandasnya.

Disaksikan wartawan, dalam upacara itu, Bripda Dominggus Parera dikawal dua anggota provost, memasuki lapangan upacara di depan Mapolres TTU. Kemudian baju seragam dan topi kesatuan Dominggus dicopot oleh Kapolres TTU, AKBP Adi Wibowo, S.H. Diganti dengan baju batik warna coklat muda dan topi sipil warna coklat pula. Bripda Parera juga membubuhkan tanda tangannya di SK pemecatan dirinya.

Usai upacara, Bripda Parera langsung meninggalkan halaman Mapolres TTU. (ade)

sumber pos-kupang.com

Menghamili empat perempuan Dua Oknum Polres Lembata Diadili

Menghamili empat perempuan dan tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, dua anggota Polres Lembata, Bripda Antonius Wilson Manek dan Bripda Herman W. Litalay, diadili pada sidang kode etik profesi Polres Lembata. Dalam pemeriksaan, komisi kode etik Polres Lembata memutuskan, dua terperiksa terbukti melanggar kode etik profesi Polri dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri.


Atas keputusan itu, terperiksa Wilson maupun Herman tidak menyatakan menerima atau menolak keputusan tersebut. Keduanya diberi waktu delapan hari untuk mengajukan sanggahan atau pendapat.


Dua persidangan yang digelar Rabu (24/6/2009) lalu, itu dipimpin Ketua Komisi Kode Etik Profesi Polres Lembata, Kompol Erwin, S.E, didampingi anggota komisi, AKP David Yoseph, AKP Made Ibrahim, dan Sekretaris Brigpol Lorens Purab. Terperiksa Wilson dan Herman didampingi Ipda Jamaludin.


Dalam sidang itu, salah satu korban, Ratna Making, yang dihamili Wilson, hadir bersama anak, orangtua dan kerabatnya. Wilson, anggota Samapta Polres Lembata menghamili dua perempuan, Ratna Making, yang berdomisili di Lewoleba dan Nurmaya yang berdomisili di Kupang. Ratna hamil dan telah melahirkan seorang anak laki-laki yang kini berusia sekitar dua tahun lebih.


Dalam pembelaannya, Wilson mengatakan bahwa dia berencana akan menikahi Ratna. Namun karena mengetahui Ratna telah berhubungan dengan pria lain, maka Wilson berusaha menghindar. Tetapi, ketua komisi profesi menegaskan pembelaan yang disampaikan itu bukan upaya menghindarkan diri dari perbuatan.


Sementara sidang kedua menghadirkan terperiksa, Herman. Anggota Polsek Omesuri ini menghamili dua perempuan sebelum dan setelah menjadi anggota Polri. Wanita pertama, Indrawati Panie, warga Kelurahan Oesapa, Kupang, dikencani sekitar tahun 2003-2004 dan hamil. Indrawati telah melahirkan seorang putra pada tahun 2004 dan diberi nama Richard Moses Litalay.


Orangtua Indrawati tidak mengetahui Herman mengikuti test polri di Polda NTT dan dinyatakan lulus. Mereka tahu setelah Herman mengikuti pendidikan. Karena itu, Herman bersama anggota keluarga menemui orangtua Indrawati dan menyatakan akan menikahi Indrawati setelah Herman dilantik menjadi polisi.


Saat dilantik dan ditempatkan bertugas di Polres Lembata, Herman sempat membawa Indrawati dan anaknya ke Lembata selama seminggu. Tetapi, percecokan muncul dan saudara Indrawati datang dari Kupang memboyong Indrawati kembali ke Kupang.


Satu korban Herman lainnya, Constantina Antonia Parera, hidup serumah dengan Herman selama bulan Desember 2006 dan pada bulan Januari 2007, wanita asal Maumere ini hamil. Mengetahui hal itu, Herman meminta Constatina menggugurkan kandungannya dengan menyerahkan obat gugur. Tindakan Herman ini diadukan keluarga Constantina ke Polres Lembata. Herman kemudian menyatakan bersedia menikahi Constatina, namun hingga kini tidak merealisasikan janjinya.


Menurut Kompol Erwin, hal yang memberatkan Herman, dia berhubungan dengan perempuan yang bukan istrinya dan hamil sebelum menjadi anggota polri. Juga meracik obat dan menyerahkan kepada Constantina untuk menggugurkan kandungan.


Herman juga pernah dihukum penjara 21 hari dan hukuman penundaan dua periode kenaikan pangkat. Perbuatan Herman telah merusak citra Polri di mata masyarakat yang berdampak pada hubungan sosial Polri dengan masyarakat. (ius)

sumber pos-kupang

Sepakat Damai Kok Harus Rp 9 Juta?

JUDUL tulisan ini merupakan penggalan dari salah satu curhat yang dimuat harian pos kupang (edisi Jumat, 12 Juni 2009).

Lengkapnya, SMS curhat ini berbunyi demikian, "Yang terhormat Bapak Kapolda NTT. Kami mau tanya saja, apa benar kalau orang berkelahi terus kedua-duanya sepakat damai kok biaya penarikan masalahnya harus Rp 9 juta? Apa ini bukan pemerasan pak? Kejadiannya di Polres SoE. Tolong jelasin pak."

Selain curhat ini, Pos Kupang sesungguhnya memuat banyak curhat lain seputar kritik dan keluhan masyarakat (pembaca), tanggapan Polda maupun dukungan atas pelaksanaan tugas-tugas kepolisian.

Ombudsman Nasional Perwakilan NTT-NTB dalam press release awal tahun ini juga mengungkapkan keluhan tentang kinerja institusi kepolisian paling dominan, yakni mencapai 44,16 persen dari total keluhan yang diterima lembaga negara ini selama tahun 2008.

Fakta-fakta ini sengaja diangkat kembali saat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengenang ulang tahun (HUT)-nya yang ke-63, 1 Juli 2009. Bila merujuk pada usia manusia, umur 63 tahun bukan lagi muda. Justru, usia seperti itu seharusnya menjadi saat "menikmati" apa yang telah dicapai dan diraih.

Tentu saja tidak obyektif kalau di atas analogi ini, orang lalu membuat penilaian tentang kinerja kepolisian. Perjalanan sebuah institusi memang tidak bisa dengan gampang diperhadapkan dengan ziarah hidup seseorang.

Namun, analogi tersebut tetap dapat dijadikan cermin justru karena masih banyaknya keluhan dari masyarakat seputar perilaku oknum polisi. Kritik dan suara pedas masyarakat disampaikan baik melalui media massa maupun secara langsung ke instansi kepolisian. "Kritik masyarakat itu bagian dari proses peningkatan profesionalisme kinerja kepolisian. Masyarakat mencintai polisi sehingga memberikan kritikan dan saran," begitu Pelaksana Tugas (Plt) Kabid Humas Polda NTT, Kompol Okto Riwu memaknainya.

Saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (29/6/2009), Okto Riwu mengakui, instansi kepolisian, khususnya yang bertugas di wilayah hukum Polda NTT, masih terus meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat.

Menurutnya, tugas utama kepolisian, yakni bertanggung jawab terhadap keamanan dalam negeri (baca: NTT); melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat; membangun keamanan dan ketertiban masyarakat serta fungsi penegakan hukum.

Ini memang tugas dan tanggung jawab yang tertera dalam dokumen; dalam surat keputusan, tetapi belum tentu terpatri dalam hati setiap anggota polisi. Idealnya setiap polisi menghidupi tugasnya sebagai pengayom dan sebagai penegak hukum. Tetapi, ketika menoleh ke fakta, yang ditemukan ternyata masih jauh dari ideal tersebut.


Setidaknya ini pendapat Nixon Bunga, S.H, seorang praktisi hukum yang karena profesinya sering berurusan dengan aparat kepolisian. Baginya, perilaku oknum polisi masih mencoreng citra kepolisian, bahkan semakin tampak saat usia instansi ini semakin menua. "Faktanya memang begitu. Masih banyak tindakan oknum yang sesungguhnya menampar wajah instansi Polri. Tentu ini "kado" di Ultah ke-63 bagi petinggi Polri, khususnya di lingkungan Polda NTT," ujar Nixon Bunga.

Salah satu penasehat hukum senior di Kota Kupang ini mensinyalir, faktor perekrutan anggota baru menjadi biangnya. Sebagai misal, ia menyoroti standar ijazah yang digunakan, yakni setingkat SLTA. Dalam pandangannya, sudah saatnya institusi kepolisian merekrut tamatan perguruan tinggi.

Faktor lainnya, kata Nixon Bunga, adalah rasio antara warga NTT dengan jumlah aparat yang ada di wilayah hukum ini. Walaupun ia mengakui perlunya penelitian lebih jauh tentang pengaruh dari faktor ini, ia berpendapat, perekrutan anggota baru setiap tahun tentu antara lain untuk mencapai rasio yang seimbang.

Sinyalemen Nixon Bunga ini barangkali ada benarnya. Dari data yang diperoleh di Humas Polda NTT diketahui, saat ini rasio antara jumlah polisi di wilayah hukum Polda NTT dengan penduduk NTT, yakni 1 berbanding 418. "Personil kami saat ini berjumlah 9.906 orang, terdiri dari 9.599 polki (polisi laki-laki) dan 307 polwan (polisi wanita). Sementara jumlah penduduk NTT sesuai data kami, 4.149.711 jiwa. Karena itu kalau dihitung rasionya, didapat angka 1:418," jelas Okto Riwu.


Apakah rasio ini ideal? Menurut Okto Riwu, faktor ini tidak bisa menjadi satu-satunya tolok ukur menilai berhasil tidaknya polisi mengemban tugasnya. Khusus di NTT, menurutnya, faktor topografi, kepadatan penduduk di setiap kabupaten dan kultur setiap daerah yang beragam mesti ikut dipertimbangkan.

Namun, seakan sepakat dengan publik NTT yang menghendaki peningkatan kualitas pelayanan polisi, Okto Riwu menegaskan, polisi terus berbenah dari tahun ke tahun demi masyarakat yang dilayani. Selamat Ultah, jaya polisiku.*

sumber kupang pos

Mabuk, Oknum Polisi Baku Pukul dengan Warga di Oesapa

Brigpol Jeren Mbai, oknum anggota polisi yang bertugas sebagai Babinkamtibmas di Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima, terlibat baku pukul dengan Bobi Kosta, warga Kelurahan Oesapa. Insiden ini terjadi setelah Brigpol Jeren Mbai dan Bobi Kosta, bersama dua orang warga Oesapa, teler akibat meneguk minuman keras (Miras) di rumah Bobi Kosta di RT 18/RW 07, Kelurahan Oesapa, Kamis (25/6/2009) pukul 14.30 Wita.

Ketua RT 18/RW 07, Kelurahan Oesapa, Y Tunga, dan tokoh masyarakat setempat, Marten Eli Sama, kepada wartawan di tempat kejadian perkara (TKP), menjelaskan, sekitar pukul 11.00 Wita, keempat orang tersebut, yakni Brigpol Jeren Mbai, Bobi Kosta, seorang tukang ojek dan seorang pedagang sayur meneguk miras di rumah Bobi Kosta. Namun tidak diketahui pasti sebab musabab terjadinya perkelahian antara Brigpol Jeren Mbai dengan Bobi Kosta. "Kami kaget karena ada keributan di dalam rumah Bobi Kosta. Tak berapa lama Bobi Kosta dan Jeren Mbai sudah bergulingan di atas tanah dalam kompleks Pospol Oesapa. Tadi sangat banyak warga yang menonton ketika keduanya berkelahi," kata Y Tunga, dibenarkan Marten Eli Sama yang juga mantan Lurah Oesapa. Tunga mengaku menyesal atas terjadinya perkelahian antara Bobi Kosta dengan Brigpol Jeren Mbai. Saat perkelahian itu, Brigpol Jeren Mbai masih mengenakan baju kaos coklat serta celana panjang coklat kepolisian. "Kita sangat menyesalkan kejadian itu karena ditonton oleh masyarakat banyak. Kita minta kasus ini diproses saja, karena Jeren Bai sudah sering buat keonaran di Oesapa," kata Tunga. Tunga mengatakan, sejak Brigpol Jeren Mbai bertugas di Oesapa, ia seringkali membuat keresahan terhadap warga. Yang bersangkutan seringkali membuat keonaran setelah meneguk miras. Sementara Daniel Tule yang juga menjadi saksi mata dalam kejadian itu mengatakan, keributan antara Bobi Kosta dan Brigpol Jeren Mbai awalnya tidak berlangsung lama karena ia (Daniel Tule) mengamankan Bobi Kosta ke dalam kamarnya. Namun beberapa saat kemudian, muncul Brigpol Jeren Mbai menempeleng pipi Bobi Kosta beberapa kali. "Bobi Kosta sudah tidur. Kedua tangannya saya sudah pegang dengan erat. Tetapi tiba- tiba Jeren Mbai masuk ke dalam kamar dan menempeleng kedua pipi Bobi. Bobi Kosta marah sehingga keduanya terlibat perkelahian," kata Daniel Tule. Daniel Tule menambahkan, ketika Bobi Kosta sedang tidur, Brigpol Jeren Mbai nyaris memukul Bobi menggunakan kaca, namun dihentikan salah seorang penghuni rumah di rumah Bobi Kosta. "Jeren sudah angkat kaca yang sudah pecah untuk dipukulkan ke arah Bobi, tetapi ada yang berteriak sehingga Jeren Bai mengurungkan niatnya itu," ujar Daniel Tule. Disaksikan Pos Kupang di rumah Bobi Kosta, salah seorang pemuda yang berprofesi sebagai penjual sayur di Kelurahan Oesapa masih tertidur pulas di bawah tempat tidur di rumah Bobi Kosta. Pemuda itu diduga karena teler miras setelah meneguk miras bersama Brigpol Jeren Mbai, Bobi Kosta serta seorang tukang ojek. Kondisi ruangan itu tampak berantakan, sisa-sisa makanan berupa ikan teri, masih berceceran di lantai kamar, serta pecahan piring dan kaca jendela berserakan di lantai.

sumber pos-kupang.com

Oknum Polisi dan Begundalnya Aniaya PRT

Agus Gunawan (20 tahun), seorang pembantu rumah tangga dianiaya oleh seorang oknum polisi berinisial Bripda AN, beserta lima kawannya. Kejadian tersebut terjadi di rumah milik Dede Rusli (32 tahun), yang merupakan majikan dari Agus Gunawan, di Perumahan Baranangsiang Blok E/1E, RT 03/08, Kelurahan Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.

Bripda AN yang merupakan salah satu petugas yang dibawahi Polresta Bogor, bersama tersangka lainnya, yakni AC (34 tahun), KKN (26 tahun), HR, EM, dan seorang yang masih belum diketahui identitasnya, bermaksud untuk menagih hutang sebesar 4 miliar kepada Dede Rusli, Ahad (6/12).

Merasa ketakutan dengan kedatangan keenam tersangka tersebut, Agus pun berdiam diri di dalam rumah. Saat kejadian, Dede Rusli yang bekerja sebagai PNS, sedang tidak ada di tempat. Setelah menunggu sekian lama, keenam pria tersebut mulai kehilangan kesabaran. Akhirnya, keenam pelaku tersebut itu pun langsung memanjat tembok dan membobol pintu rumah majikan korban.

Setelah berhasil masuk ke kediaman majikan korban, korban langsung meluapkan kekesalannya kepada Agus. Para pelaku tersebut, secara bergiliran menendang Agus secara bertubi-tubi. Tidak hanya itu, para pelaku mengacak-acak seisi rumah majikan korban.

Tidak terima dengan peristiwa tersebut, pemilik rumah melaporkan peristiwa tersebut ke Mapolresta Bogor, Jalan Kedunghalang Kecamatan Bogor Utara.

Wakapolresta Bogor, Komisaris Polisi Arif Rahman, pada saat konfirmasi oleh wartawan membenarkan penganiayaan yang dilakukan oleh salah seorang anggotanya tersebut. Dirinya juga membenarkan mengenai pekerjaan sampingan sebagai debt collector yang dijalani anggotanya tersebut.“Saat ini oknum tersebut sedang menjalani proses pemeriksaan oleh petugas Unit Pengaduan Pelayanan dan Penegakan Disiplin (P3D) Provost Polresta Bogor,”ungkapnya.

Namun, pihaknya juga mengungkapkan, hal tersebut masih berdasarkan laporan satu pihak. Oleh karena itu, pihaknya belum bisa melimpahkan sepenuhnya kesalahan tersebut pada anggota. “Tapi pihaknya akan tetap memberi tindakan yang tegas jika anggota saya tersebut telah terbukti melanggar hukum,"tegasnya.


sumber republika.co.id

Oknum Polisi Divonis Tujuh Tahun Penjara


Aniaya Tahanan Hingga Mati


Terbukti menganiaya tahanan sampai meninggal dunia, Basri, oknum anggota Polsek Lewa, divonis tujuh tahun penjara oleh majelis hakim Pengadikan Negeri Waingapu, Kamis (3/9/2009).

Basri bersama enam personel Polsek Lewa, menganiaya Lu Kamangi, tahanan Polsek Lewa, pada awal Desember 2008. Sejak ditangkap dan ditahan di sel Mapolsek Lewa, Basri dan enam oknum anggota Polsek Lewa, termasuk Kapolseknya saat itu, menganiaya tahanan tersebut. Setelah dirawat di rumah sakit, tahanan itu meninggal dunia.


Enam oknum polisi lainnya sudah divonis lebih dulu, dengan hukuman antara dua sampai lima tahun penjara. Hukuman untuk Basri tersebut, lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta hakim menghukum terdakwa Basri dengan pidana penjara selama 10 tahun.


Terhadap putusan hakim tersebut, terdakwa Basri menyatakan pikir-pikir.
Disaksikan Pos Kupang, pekan lalu, sidang pembacaan vonis itu dipimpin ketua majelis hakim, Pasti Tarigan, S.H, dan hakim anggota I Ketut Darpawan, S.H dan Victor, S.H.


Menurut hakim, perbuatan terdakwa Basri terbukti melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-3, yakni secara bersama-sama dan terang-terangan melakukan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia.


Majelis hakim mengatakan, keterangan empat saksi yakni Diki Takanjanji, Jamma Landutana, Farida Mbanjahuru dan Agustinus Anmuni menguatkan keterangan terdakwa. Dalam fakta persidangan, terungkap bahwa orang terakhir yang menganiaya korban Kamangi hingga hingga korban jatuh tersungkur di lantai adalah terdakwa Basri.


Hakim juga mempertimbangkan hal yang memberatkan terdakwa yakni Basri berbelit-belit dalam memberikan keterangan dan tidak mengakui perbuatannya. Terdakwa tidak menunjukkan niat baik untuk meminta maaf dan menyatakan penyesalannya.


Sebagai anggota polisi, demikian hakim, terdakwa seharusnya melindungi masyarakat, bukan menganiaya masyarakat hingga meninggal dunia.
Sedangkan hal yang meringankan yakni terdakwa sopan dalam persidangan, belum pernah dihukum dan mempunyai tanggung jawab keluarga.


Untuk diketahui (Pos Kupang, 2/12/2008), tiga tahanan, yakni Lu Kamangi, Jamma Landutana dan Diki Takanjanji secara beruntun dianiaya mulai dari kediaman mereka hingga ditahan di Mapolsek Lewa. Penganiayaan itu diduga dilakukan sejumlah anggota Polsek Lewa termasuk Kapolsek Lewa, Rony Wijaya. Korban Lu Kamangi akhirnya meninggal dunia setelah beberapa saat dilarikan ke RSUD Umbu Rara Meha Waingapu.


LIMA terdakwa lain yang telah divonispekan lalu, yakni Ipda Rony Wijaya (Kapolsek Lewa), Agus Anmuni, Maskur Taher, Damianus Asa dan Umbu Lijang (semuanya anggota Polsek Lewa, menyatakan banding terhadap putusan hakim.
Majelis hakim PN Waingapu sudah menjatuhkan vonisnya untuk kelima terdakwa yakni Ipda Rony Wijaya dihukum 4 tahun penjara, Agus Anmuni diganjar lima tahun penujara, Maskur Taher dihukum 3 tahun penjara, sementara Damianus Asa dan Umbu Lijang, keduanya dihukum masing-masing 2 tahun penjara.


Informasi yang diperoleh Pos Kupang, menyebutkan, keputusan untuk menyatakan banding tersebut setelah kedatangan dua anggota Polda NTT ke PN Waingapu, akhir Agustus lalu.

Dari buku tamu Pengadilan Negeri Waingapu, tertulis tanggal 31 Agustus 2009, dua anggota Polda NTT, Ronaldzee dan Yan Christian, ditemani KBO Reskrim Polres Sumtim, Putu Pariada bertemu Panitera PN Waingapu.


Informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa keperluan menemui panitera pengadilan tersebut adalah untuk menyatakan banding atas putusan hakim terhadap lima anggota Polsek Lewa. Namun saat itu, permintaan mereka ditolak dengan alasan pernyataan banding hanya bisa disampaikan oleh para terdakwa, bukan atasannya. Akhirnya, kelima terdakwa yang saat sidang putusan menyatakan menerima putusan hakim, akhirnya menyatakan banding.


Pihak keluarga korban menyayangkan intevensi Polda dalam proses hukum kasus itu. Mereka menilai Polda NTT belum ikhlas jika anggotanya dihukum, meski telah melakukan kejahatan penganiayaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia.


Salah satu anggota keluarga mengatakan, hukuman dua sampai lima tahun untuk lima anggota polisi itu tidak sebanding dengan nyawa korban yang sudah melayang, dan penderitaan istri dan tujuh orang anak korban akibat nyawa pencari nafkah mereka dicabut oknum anggota polisi.

sumber pos-kupang.com

Manajemen PLN Desak Kapolres Proses Oknum Polisi

Penganiayaan Satpam PLTD Waikabubak
Keluarga besar PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Ranting Sumba Barat (Sumbar) mendesak Kapolres Sumbar, AKBP Yayat Jatmika, mengusut kasus penganiayaan terhadap Arianto Bole, dan Aloysius Alos, satpam kantor pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di Waikabubak, tanggal 20 September 2009. Penganiayaan diduga dilakukan oknum anggota polisi di wilayah Polres Sumbar.

Desakan itu disampaikan Supervisor PT PLN Cabang Sumba, Andreas Dj Mehang, didampingi Asisten Manejer Bagian Pembangkitan PT PLN Cabang Sumba, Sulaiman, dan Manager PT PLN Ranting Sumbar, Frans Lomy, di kantor PT PLN Ranting Sumbar, Waikabubak kepada Pos Kupang, belum lama ini.

Mehang mengatakan, sesaat setelah kejadian penganiayaan itu, ia langsung melaporkannya ke piket jaga Polres Sumbar dan membawa dua korban ke RSUD Waikabubak untuk divisum. Namun, katanya, manajemen RSUD waikabubak menolak memberikan hasil visum dengan alasan hanya bisa diberikan kepada polisi. Pihak kepolisian telah memeriksa dua saksi korban dan berjanji akan memeriksa kembali setelah memperoleh hasil visum dari RS. Namun hingga dua minggu, proses hukum kasus tersebut belum jelas.

Mereka menduga, kasus ini sengaja didiamkan oleh Polres Sumbar lantaran pelakunya adalah oknum Polres Sumbar. Untuk itu, atas nama lembaga, Mehang berharap, Kapolres bisa obyektif dan transparan dalam proses hukum kasus tersebut.

Sementara itu korban penganiayaan, Arianto Bole dan Aloysius Alos, kepada Pos Kupang, menuturkan, peristiwa naas yang menimpa mereka Minggu (20/9/2009) malam lalu. Pada malam kejadian, sekitar pukul 23.50 Wita, saat keduanya sedang jaga malam di Kantor PLTD Waikabubak, datang seorang pemuda bersama teman-temanya, yang belakangan diketahui adalah anggota Polres Sumbar.

Oknum dimaksud berada di luar pagar Kantor PLTD dan berteriak meminta pegawai keluar. Mendengar suara teriakan itu, Arianto keluar mendekati pagar kantor. Namun di pagar itu, Arianto dipukul satu kali di tengkuk.

Teman Arianto lainnya, Aloysius Alos, kemudian ke halaman kantor dan menanyakan hal itu kepada oknum polisi yang ada di luar pagar tersebut. "Namun, oknum polisi itu justru mengamuk, naik dan loncat pagar hingga masuk ke halaman kantor PLTD milik PT PLN Ranting Sumbar lalu menganiaya Aloysius sambil berteriak 'jangan melawan, ini polisi," kata Arianto.

Setelah itu, pelaku berjalan ke ruangan sentral dan berteriak mencari pegawai lain. Arianto dan Aloysius berusaha mengejar pelaku namun keduanya dipeluk oleh dua pemuda yang adalah teman pelaku, sehingga mereka tidak bisa menghalau pelaku. Oknum polisi tadi kemudian kembali dan menghajar kedua korban yang telah dirangkul dari belakang oleh teman pelaku. Setelah itu, para pelaku pulang.

Arianto dan Aloysius mengaku mengenali salah satu pelaku penganiayaan itu adalah anggota Polres Sumbar, namun keduanya meminta nama oknum tersebut jangan dipublikasikan.


Kapolres Sumba Barat, AKBP Yayat Jatmika, yang hendak dikonfirmasi Pos Kupang di kantornya, pekan lalu, menyatakan sedang sibuk dan meminta wartawan menemui Kasatserse, Iptu M.Ali Muhaidori. Kasatserse yang ditemui di ruang kerjanya, mengatakan, belum mengetahui persoalan itu karena dia baru pulang dari Jawa. Ali meminta waktu beberapa hari ke depan untuk mencari tahu kebenaran informasi itu dan berjanji akan menyampakan ke publik.

sumber pos-kupang.com

Polisi Edarkan SS, Jaringan Tertata Rapi

Sindikat peredaran sabu sabu (SS) yang melibatkan oknum polisi berpangkat Brigadir Kepala (Bripka) Suhandy alias Andik dan seorang purel freelance tempat hiburan malam, dibongkar anggota Satnarkoba Idik II Polwiltabes Surabaya, Minggu (29/11) malam.

Bripka Suhandy yang dinas di Polres Surabaya Selatan ditangkap Kanit Idik II AKP Suhartono beserta anak buahnya di rumah kos Agus Gopsuanto di Jl Simorejo.
Dari penangkapan itu terbongkar rapor hitam tersangka Suhandy. Ia baru tiga bulan lalu mendapat pembebasan bersyarat (PB) dari Rumah Tahanan (Rutan) Medaeng.

Lelaki asal Jl Kalianak Anggrek III itu sebelumnya ditangkap anggota Ditnarkoba Polda Jatim dan divonis di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya selama 15 bulan penjara.

“Saya baru menjalani 10 bulan penjara kemudian dapat PB,” kata tersangka Suhandy.
Meski masih menyandang status napi, tersangka rupanya masih terlibat penyaluran SS dari kurir Dodik yang kini masih buron. “Kalau ngomong menyesal ya menyesal,” aku Suhandy.

Terbongkarnya jaringan ini pertama kali ketika polisi berhasil menangkap Agus Gopsuanto, 37, kos di Simorejo XXIV bersama pacarnya, Siti Nurcholifah, 31, asal Bogen Masjid. Perempuan yang menjadi purel itu tengah pesta SS dengan Agus. Dari lokasi kejadian, polisi menemukan satu poket SS seberat 0,4 gram dan pipet kaca.

Dari pengakuan tersangka, nama Suhandy dicatut. Kanit Idik II AKP Suhartono yang lantas berinisiatif memancing Suhandy agar datang ke rumah kos Agus untuk mengirim SS lagi. Begitu polisi nakal itu datang, AKP Suhartono dan anak buahnya langsung meringkusnya.

Suhandy mengaku jika SS yang dikirim itu seharga Rp 300.000 dan akan dijual lagi Rp 350.000. Seketika itu, tersangka Suhandi, Agus dan Siti digiring ke mapolwiltabes untuk diperiksa.

Suhandy mengaku SS yang dijual lagi itu diakui milik Dodi (buron). Seketika itu rumah Dodi di Jl Gresik PPI Pasar, digerebek. Dodi yang saat itu ada di teras rumah melihat gelagat polisi langsung kabur. Polisi berusaha mengejar, tidak bisa karena lari ke jalan-jalan tikus di Jl Gresik PPI.

Meski tidak bisa menangkap Dodi, polisi akhirnya membawa ibunya, Ismiati, 60. Perempuan tua itu ternyata ikut mengedarkan SS milik anaknya. Sesuai pengakuan Ismiati, ia sudah tiga kali berurusan dengan polisi. Tahun 2005, ia ditangkap petugas Polres Tanjung Perak dengan barang bukti 5 gram SS. 2007, tersangka ditangkap anggota Satnarkorba Polwiltabes Surabaya dengan barang bukti 2 ons SS. Terakhir, di rumah tersangka ditemukan barang bukti 0,4 gram SS.

“Mudah-mudahan ini yang terakhir. Ini gara-gara anak saya masuk penjara lagi,” tutur Ismiati dengan nada jengkel.

Kasat Narkoba Polwiltabes Surabaya AKBP Eko Puji Nugroho menjelaskan, jaringan yang melibatkan polisi ini diakui cukup besar. Pasalnya, jaringan mulai dari bawah (pengedar dan kurir) ke atas (bandar) cukup tertata. “Sayang Dodi yang memiliki akses langsung dengan bandar tidak tertangkap,” akunya.
Apakah Bripka Suhany akan dipecat karena sudah dua kali terlibat perkara yang sama (narkoba)? “Itu saya tidak bisa menjawab. Karena saya bukan atasan munghukum (ankum),” ungkapnya. mif

sumber surya.co.id

Oknum Polisi Penadah Motor Curian

Oknum polisi anggota Polsek Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Aiptu Suwardiono, 46, bersama dua warga sipil, terlibat kasus penadahan kendaraan bermotor (ranmor) curian. Warga perumahan Bumi Triwangga, Triwung Lor, Kabupaten Probolinggo itu ditangkap anggota Unit Resmob Satpidum Ditreskrim Polda Jatim, Rabu (2/12) siang. Dari dalam rumahnya, polisi menyita barang bukti sembilan motor bodong (tanpa surat resmi).

Penangkapan Suwardiono berawal dari penangkapan tersangka Nidi alias Choiri, 35, warga Sumberkari, Wonokerto, Kabupaten Probolinggo, Rabu (2/12) dini hari .
“Dari rumah tersangka kami menemukan barang bukti delapan motor bodong,” kata AKBP Anom Wibowo, Kasat Pidum Ditreskrim didampingi Kombes Pol Pudji Astuti, Kabid Humas Polda Jatim, Kamis (3/12).

Dari hasil pemeriksaan Nidi inilah, polisi menangkap Suwardiono. Bersama Suwardiono, Nidi membentuk sindikat penadah dan penjualan motor bodong. Nidi bertugas sebagai pencari pembeli, Suwardiono sebagai penyedia sekaligus pemberi harga jual motor.

Sebagai pembeli, Nidi mendapatkan komisi dari Suwardiono sebesar Rp 100.000 hingga Rp 150.000 per motor. Sementara Suwardiono memberi harga setiap motor bodong itu antara Rp 2 juta hingga Rp 3 juta. Suwardiono sendiri mengambil keuntungan antara Rp 200.000 hingga Rp 500.000 per motor.
Dari hasil pemeriksaan terhadap Suwardiono, dia mengaku mendapatkan motor-motor bodong itu dari Misbaul Munir, 27, warga Kejayan, Kabupaten Pasuruan. “Misbaul kami tangkap di rumahnya pada Rabu sore. Kami menemukan barang bukti empat motor bodong yang dia beli dari para pelaku curanmor dari berbagai daerah, seperti Surabaya, Sidaorjo, Malang, Pasuruan, dan Probolinggo tentunya,” jelas Anom.
Munir membeli dari para pelaku ini dengan harga rata-rata Rp 2 juta. Kemudian dia suplay ke Suwardiono dengan komisi Rp 100.000 hingga Rp 300.000 per motor. Ketiga komplotan penadah ini setiap motor mengambil untung mulai Rp 800.000 hingga Rp 1 juta kemudian dibagi tiga, dengan Suwardiono mendapat jumlah paling banyak.
Dari ketiga pelaku ini, polisi total menemukan barang bukti 21 unit motor bodong. Menurut pengakuan mereka, sebenarnya mereka ada 29 unit motor. Tapi yang delapan sudah laku terjual. Selain menyita motor, tim unit Resmod juga menyita puluhan lembar STNK palsu dan yang dipalsukan.
“Modus untuk STNK yang dipalsukan, adalah dengan menghapus, kemudian mengetik nopol atau nomor rangka (noka) atau nomor mesin (nosin). Mereka juga ada yang mengganti noka dan nosin yang ada di motor,” jelas Kompol Eko Siswoyo, Kanit Resmob Sat Pidum.
Jaringan sindikat penadahan ranmor curian ini telah beraksi sejak dua tahun terakhir. Terungkap saat salah satu korban, yaitu Anwar Latief, 41, warga Simorejo XV, Asem Rowo, Surabaya, mengenali sepeda motornya sebagai barang bukti sindikat ini.
“Sesuai dengan LP, pemilik mengaku kehilangan sepeda motor Honda Supra X pada Juni 2008. Kendaraannya sudah melalui cek fisik di Labfor dan akan segera diambil gratis,” sambung Pudji.
Pudji juga menjanjikan pihaknya akan merilis 20 barang bukti ranmor, lengkap dengan noka dan nosin yang telah diperiksa Labfor. ”Kepada masyarakat yang merasa kehilangan dengan cirri-ciri noka dan nosin tersebut bisa mengambil gratis dengan membawa BPKB-nya dan LP (Laporan Polisi-red),” ungkap Pudji.

Terkait dengan keterlibatan oknum polisi, Pudji menyebutkan oknum itu akan menjalani proses penyelidikan pidana di Sat Pidum Polda Jatim hingga vonis sudang di pengadilan negeri. Selanjutnya Suwardiono akan menjalani sidang kode etik anggota Polri oleh Polres Probolinggo.
”Dalam sidang kode etik dia akan mendapatkan sanksi tambahan. Apakah langsung pemecatan atau apa. Tergantung ankum (atasan terhukum-red)-nya,” kata Pudji.

Informasi lain menyebutkan bila oknum polisi ini memang di Probolinggo sering melakukan permasalahan. Sebelum bertugas di Polsek Pajarakan, dia sempat berdinas di Mapolres Probolinggo. Tapi karena indisipliner, dia dipindah ke Polsek Panjarakan.

Kasus ini sendiri terungkap saat polisi mencurigai banyaknya motor dengan kondisi nopol dan kondisi fisik yang tidak sesuai. “Selanjutnya kami bentuk tim dan melakukan lidik selama 5 minggu dengan menangkap ketiga tersangka ini. Kami juga menetapkan dua nama, berinisial IK dan SF, sebagai DPO pelaku curanmor,” imbuh Eko.rie

sumber surya.co.id

Polisi Minta Rp 16 Juta, Otopsi Jenazah Batal

Otopsi jenazah Elisabet Zelvin Sonbai, siswi SMP yang ditemukan tewas di Jalur 40, Kelurahan Manulai II, Kecamatan Alak, Selasa (8/9/2009), batal dilakukan karena oknum anggota polisi dari Polresta Kupang meminta biaya senilai Rp 16 juta.

Permintaan oknum polisi ini disampaikan kepada orangtua Elisabet, Markus Sonbai, melalui telepon ke ponsel milik salah satu keluarga Sonbai, Yuli Ago, dari ruang Instalasi Pemulasaran Jenazah (IPJ) RSU Kupang, Selasa (8/9/2009). Markus Sonbai yang ditemui di kediamannya, Selasa (8/9/2009), mengatakan, ia sangat menyesalkan permintaan oknum anggota polisi tersebut. "Mengapa untuk kepentingan penyelidikan pihak kepolisian, oknum polisi itu harus meminta biaya sejumlah Rp 16 juta," kata Markus Sonbai. Yuli Ago yang ditemui saat itu juga mengaku dirinya diminta oleh oknum polisi tersebut agar menelepon Markus Sonbai menginformasikan biaya otopsi senilai Rp 16 juta. Namun, setelah berkomunikasi dengan Markus Sonbai, oknum polisi tersebut kemudian meminta HP miliknya untuk berbicara dengan Markus Sonbai. Ditanya nama polisi tersebut, Ago mengatakan tidak sempat membaca nama yang tertulis di baju bagian dada kanan oknum polisi itu. Sonbai mengatakan, keluarganya dalam keadaan berduka, kehilangan anak kemudian ditemukan meninggal. "Apakah untuk kepentingan penyelidikan, polisi tidak ada biaya dan harus dibebankan kepada keluarga. Kami sudah berduka, miskin lagi, lalu diminta uang oleh oknum polisi senilai Rp 16 juta. Darimana kami bisa dapat uang sebanyak itu," kata Markus Sonbai. Saat ditemui, Markus Sonbai bersama seluruh rumpun keluarga sedang berkumpul membicarakan masalah rencana perlu atau tidaknya jenazah anaknya diotopsi. Markus mengatakan, karena masalah biaya anaknya batal diotopsi. Jenazah Elisabet saat ini masih ada di freezer di ruang IPJ RSU Kupang. "Kalau biaya sebanyak itu, kami minta jenazah Elisabet batal diotopsi," katanya. Markus Sonbai mengatakan, sangat menyesalkan kinerja dari pihak kepolisian Polresta kupang. "Kami duakali memberi laporan kehilangan dan dugaan penculikan anak kami. Tetapi polisi kurang menanggapi laporan kami hingga anak kami ditemukan meninggal dunia. Laporan kami sampaikan hari Minggu-Senin (6-7/9/2009) sekitar pukul 24.00 Wita. Anehnya, setelah diketahui Elisabet telah meninggal baru beberapa anggota polisi datang ke rumah. Mengapa saat ada laporan kehilangan polisi tidak langsung mencari anak kami," tanya Markus Sonbai. Kepala Instalasi Pemulasaran Jenazah (IPJ) RSU Kupang, Okto Boymau, yang dihubungi melalui ponsel-nya mengatakan, sesuai Perda No 4 tahun 2006, tarif biaya otopsi jenazah senilai Rp 160.000. Ini belum termasuk biaya perawatan jenazah. Boymau menambahkan, pihak RSU Kupang belum bisa melakukan otopsi karena jenazah Elisabet masih dalam penyelidikan pihak kepolisian. "Kami belum menerima surat pernyataan dari pihak kepolisian dan keluarga untuk melakukan otopsi jenazah Elizabet," katanya. (den)


sumber pos-kupang.com

Tangan Tahanan Dipaku Polisi, Dituduh Mencuri Sepeda Motor

Penganiayaan sadis dialami oleh Kasman Noho. Tersangka kasus pencurian sepeda motor itu disiksa oleh polisi penyidiknya dengan cara dipaku kedua tangannya. Peristiwa tersebut diungkapkan sendiri oleh Kapolda Gorontalo Brigjen Pol Sunarjono.

“Sementara ini, baru satu pelaku yang sudah berhasil kami usut. Nanti kita lihat perkembangan penyelidikan ke depan,” kata Kapolda pada konferensi pers yang digelar di Markas Polda Gorontalo, Jumat (4/12).

Kapolda mengungkapkan nama inisial anggota polisi penganiaya tahanan itu adalah Brigadir N dan bertugas di Kepolisian Resor Kota (Polresta) Gorontalo.

Dia mengatakan, N telah mengakui perbuatan menganiaya Kasman Noho, tersangka pencurian sepeda motor yang ditahan di Polresta Gorontalo. Dia juga telah memerintahkan Kapolresta Gorontalo agar segera mengusut kasus penganiayaan itu dan menahan Brigadir N.
Kasman Noho adalah warga Moutong Tilongkabila, Kabupaten Bone Bolango. Ia dijemput di rumahnya oleh polisi pada Selasa (1/12) lalu. Ia dituduh oleh atasannya telah mencuri sepeda motor milik kantor Koperasi “Fadillah”, tempat dia bekerja.

Setelah dijemput, Kasman kemudian diinterogasi oleh tiga anggota polisi di Mapolresta Gorontalo. Pada saat interogasi itulah, Brigadir N memaku kedua tangan Kasman. Beberapa saat setelah penganiayaan itu, Kasman kemudian dilarikan ke rumah sakit setelah mengalami luka serius di sejumlah bagian tubuhnya.

Kondisi Kasman setelah penganiayaan itu cukup mengenaskan. Selain mengalami luka akibat pada kedua tangan dipaku, kaki dan bahunya juga bengkak dan bernanah akibat pukulan benda tumpul. Peristiwa itu diketahui pihak keluarga setelah Kasman dilarikan ke rumah sakit, mengingat luka serius yang dideritanya.

Samin Gani, kakak korban, mengaku sangat kaget dengan keadaan sang adik setelah ditahan polisi. Sebab, saat dijemput polisi di rumahnya, Kasman masih dalam keadaan sehat. “Perlakuan ini benar-benar di luar perikemanusiaan,” katanya sambil menahan air mata.
Menurut pengakuan yang diperoleh dari Kasman, adiknya itu telah dianiaya oleh tiga anggota Polres Kota Gorontalo saat diinterogasi.

Meskipun sudah diakui bahwa penganiayanya adalah polisi, namun Kapolda Brigjen Pol Sunarjono mengaku belum bisa memastikan, bakal menanggung seluruh biaya perawatan Kasman Noho yang kini terbaring di rumah sakit.

“Untuk sementara biayanya ditanggung dulu oleh pihak keluarga, dan kalau nanti sudah jelas, bahwa pelakunya itu adalah anggota polisi, maka tentu kami akan bertanggung jawab,” kata Kapolda.

Hukuman Berat
Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Haryono Mintaroem mengatakan, kalau memang tindakan polisi memaku tersangka itu benar, maka polisi tersebut bisa dikenai hukuman berat. Dia telah melawan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 351, berbunyi, telah melakukan perbuatan yang mengakibatkan luka berat. Oknum polisi itu bisa dikenai hukuman penjara 5 tahun.

”Apapun alasannya, polisi tidak dibenarkan mencari keterangan dari tersangka dengan cara menganiaya, walaupun sekadar mencubit. Apalagi sampai memukul,” papar Haryono kepada Surya, Jumat (3/12) malam.

Dalam KUHP, luka berat memiliki beberapa kriteria, di antaranya, korban tidak bisa melakukan pekerjaan kira-kira selama dua pekan, tidak mampu lagi melakukan pekerjaan terus menerus, menyebabkan lumpuh dan terganggu daya pikirnya hingga empat pekan.

Menurut Haryono, dalam pemeriksaan, tersangka bebas memberikan keterangan. Seandainya polisi tidak memercayainya, maka polisi bisa mencari informasi dari pihak lain. Dan nanti, keterangan tersangka dan informasi yang didapatkan polisi tersebut bisa dibuka di persidangan.

Korban yang telah dianiaya polisi tersebut, kata Haryono, jika tidak terima, bisa melaporkan kepada lembaga kepolisian yang setingkat lebih tinggi. Misalnya, anggota Polsek melakukan penganiayaan terhadap tersangka, maka istri atau saudara tersangka bisa melaporkan ke Polwiltabes, dan seterusnya.

Atau bisa langsung lapor ke bidang profesi dan pengamanan (propam) polisi. Jika Propram juga tidak segera menindaklanjuti, atau sengaja mengulur-ulur waktu hingga bekas penganiayaan itu hilang, maka keluarga tersangka bisa melaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Biasanya, kata Haryono, untuk melindungi anggota polisi, Propram mengulur-ulur waktu hingga luka yang ada di tubuh tersangka sembuh. Setelah itu, Propam baru memeriksa oknum polisi tersebut. ”Kalau luka itu sudah sembuh, maka tidak ada lagi bukti kekerasan,” katanya. kcm/ant/iks


sumber surya.co.id

Sesama Polisi Duel, Tangkap Aipda Fatkhul Membawa SS

Di tengah kepolisian membangun citra pada masyarakat, oknum polisi berpangkat Aipda Fatkhul, 50, anggota Satreskrim Polsek Krembangan, ditangkap karena membawa sabu sabu (SS) 0,6 gram.

Penangkapan yang berlangsung Sabtu (5/12) di Jl Gresik PPI sekitar pukul 15.00 WIB, terkesan ditutup-tutupi agar tidak ketahuan wartawan. Namun berita buruk oknum polisi itu akhirnya tersebar juga, Senin (7/12).
Informasi yang diperoleh di lapangan menyebutkan, ketika penangkapan dilakukan anggota Satnarkoba Polres Surabaya Utara berlangsung, tersangka Fatkhul dengan polisi yang menangkap sempat duel. Bahkan Fatkhul beberapa kali dibanting ke jalan polisi karena terus melawan.
Warga sekitar yang mengetahui adegan bak film laga itu semula berinisitif memisah, namun warga tidak berani setelah tahu yang duel itu polisi melawan polisi. Akhirnya tersangka Aipda Fatkhul menyerah setelah tangannya ditarik dan diborgol dan kemudian dibawa ke Polres Surabaya Utara.

Sabu-sabu seberat 0,6 gram SS disembunyikan di jahitan celana bagian bawah. Melihat modus yang dilakukan, tersangka ditengarai kerap membeli narkoba. Biasanya kalau pelaku pemula, ditaruh di saku dan mudah ditemukan saat digeledah.

Penyanggongan tersangka berawal dari informasi jika ada oknum polisi sering keluar masuk Jl Gresik PPI dan membawa SS. Setelah disanggong sekitar satu jam, Fakhul muncul dari lokasi dan ketika digeledah petugas, tersangka melawan.

Kapolsek Krembangan AKP Isbari menjelaskan, kinerja Aipda Fatkhul cukup baik. Ia beberapa kali menangkap pelaku kejahatan atau peredaran narkoba di wilayah Polsek Krembangan. “Kinerjanya sangat bagus. Saya tidak ngecap soal kerjanya,” tutur AKP Isbari.
Sewaktu ditangkap, Fatkhul baru lepas tugas di mapolsek. “Dia itu baru keluar. Sorenya saya mendengar kalau tertangkap,” ucapnya.
Kapolres Surabaya Utara AKBP Djoko Hariutomo ketika dikonfirmasi mengaku sedang ada pengarahan Kapolda Jatim Irjen Pratiknyo di mapolda. Namun kapolres mengirim SMS yang membenarkan penangkapan Aipda Fatkhul dan sekarang sedang dikembangkan. mif

sumber surya.co.id

Serempetan, Polisi Hajar 2 Warga

Ulah Aiptu Selamet Jatmiko, 40, anggota Polres Nganjuk benar-benar arogan. Hanya karena serempetan sepeda motor, dia mengamuk hingga membuat dua warga sipil babak belur. Satu di antaranya remaja 17 tahun.

Insiden tersebut bermula dari persoalan sepele. Anwar Suprapto, 20, warga Desa Sekarputih, Bagor, di Jl Abdurahman Saleh, menyerempet Selamet. Keduanya sama-sama naik sepeda motor. Akibat serempetan itu, jembol kaki polisi ini berdarah.
Namun Anwar tetap tancap gas. Selamet kesal, dan kemudian mengejar hingga sejauh lebih dari 3 km. Sesampai di Bengkel Sekarputih, Anwar tersusul. Selamet langsung melabrak Anwar saat dia masih di atas motor. Polisi yang sudah kalap ini menghajarnya habis-habisan.

Kasminem, 50, saksi mata menuturkan kepada Surya, saat itu sekitar pukul 13.00 WIB, banyak anak sekolah dan warga lalu lalang di Jalan Raya Sekarputih. Tapi semua tak berani melerai karena Selamet terus menghajar korban sambil berteriak bahwa dia anggota polisi.

Namun salah satu remaja, Andrian Dwi Lestiyono, 17, memberanikan diri melerai. Dia malah menjadi sasaran amuk Selamet. “Saya berusaha melerai tapi malah dibentak karena dia polisi,” kata Andrian sambil menunjukkan bekas memar di leher.

Mengetahui amuk Selamet kian menjadi, Kasminem, menjadi pahlawan. Perempuan ini mendekap Anwar dan meminta polisi pergi. “Saya kerukupi (tutupi) dengan rok saya. Tapi dia masih teriak-teriak. Padahal Anwar mulut dan hidungnya sudah keluar darah. Giginya lepas dua di jalan,” kata Kasminem.
Salah satu anggota polisi yang tinggal di Desa Sekarputih mendatangai lokasi. Korban langsung dibonceng dibawa ke Mapolres Nganjuk.

Saat dikonfirmasi, Kapolres Nganjuk, AKBP Sulistiandriatmoko, mengaku belum mendapat laporan. “Saya kan baru hari ini sampai di Nganjuk. Ke Wakapolres saja,” katanya kapolres yang sehari sebelumnya menggantikan AKBP Selamet Hadi Supraptoyo. Wakapolres Kompol Chiko Ardwiatto, mengaku belum menerima laporan tersebut, meski kasusnya sudah dipaorkan ke proovost. “Insiden pemukulan apa? Sampai hari ini saya belum dapat laporan itu. Kalau ada pasti saya dapat laporannya,” elak Chiko.

Anwar, anak dari pasangan Midan, 54, dan Juminem, 50, warga Sekarputih, mengalami pendarahan pada hidungnya. Hingga Selasa (3/11) sore, korban masih menjalani operasi di RS Bhayangkara Nganjuk.

Saat Surya melihat kondisi korban di rumah sakit milik Polri itu, petugas tidak mengizinkan dengan alasan medis. Meski begitu, pihak rumah sakit menjelaskan bahwa kondisi hidung pasien Anwar patah dan harus menjalani operasi. k2

sumber surya.co.id

Polisi aniaya warga

Polisi salah Tangkap.

Subang- Naas betul nasib Neja (35 th) warga dusun Babakan Kiara RT 06/02
desa Rancabango kecamatan Patokbeusi. Tanpa sebab yang jelas tengah malam
jam 1.30 dinihari Jumat (7/10) saat nongkrong di warung kopi tepat di depan
rumahnya disergap polisi yang mengaku dari satuan buru sergap (Buser)
satreskrim polres Subang.

Tanpa memperlihatkan surat perintah penangkapan Neja dipaksa ikut polisi dan
dipukuli sepanjang jalan agar mengaku sebagai pelaku perampokkan yang tidak
pernah ia lakukan. Namun kemudian dilepaskan setelah sebelumnya sempat
diserahkan ke mapolsek Patokbeusi. Kini Neja tidak dapat berjalan akibat
penyiksaan yang dialaminya dan harus menjalani perawan di rumah sakit.
Polisi mengancam agar Neja tidak menceritakan kemalangan yang menimpanya
kepada orang lain.

Malam itu ketika sedang asik ngopi Neja melihat 2 mobil yang ditumpangai
beberpa orang menggedor rumahnya yang persis berada dekat tempatnya ngopi.
Karena merasa tidak menaruh curiga, ia berfikir bahwa orang-orang itu
mencarinya. Maka Neja menjelaskan bahwa dirinya meman bernama Neja.

Tanpa Ba bu lagi Neja langsung didorong masuk ke salah satu mobil. Yang baru
kemudian diketahui adalah dari satuan buser reskrim subang yang mencari
pelaku perampokan. Polisi menuduh Nejalah pelakunya. Dengan pukulan dan
penganiayaan sepanjang jalan dalam mobil tadi Neja tetap tidak mengakui
perampokan yang tidak pernah dilakukanya.

Kemudian kedua mobilpun berhenti di polsek Purwadadi dan kembali Neja
dihajar bahkan dengan menggunakan rotan yang ditekankan ke lehernya
sementara kepla dan badanya dihajar dengan balok. Namun Neja tetap tidak mau
mengakui tuduhan polisi.

Setelah itu Neda dibawa ke polsek Patokbeusi dan Polsek Patokbeusi
memberitahukan keluarganya tentang keberadaan Neja di sana. Saat
,menyerahkan Neja kepada Keluarganya polisi mengancam agar tidak mendendam
dan tidak mempermasalahkan kejadian yang menimpanya, jika akibatnya akan
ditanggung sendiri.

Dengan didorong di kursi roda Neja tak dapat berbuat apa-apa dan tak tahu
harus mengadu kemana, jika penagak hukum saja sudah menginjak-injak hukum
dan seenaknya menganiaya orang tanpa menggunakan prosedur tindakan
kepolisian.***

sumber groups.yahoo.com

Polisi Aniaya Satpam Masjid

Tak Terima Ditegur Saat Bermesraan

Seorang petugas satuan pengamanan (satpam) Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) Semarang, Munawir (24), warga Kendal, Rabu (25/11), menjadi korban penganiayaan dengan tangan kosong yang dilakukan oleh oknum polisi. Munawir mengatakan, penganiayaan tersebut terjadi saat dirinya sedang menjalankan tugas sehari-hari sebagai satpam dengan berpatroli di kawasan MAJT Semarang pada Rabu (25/11) sekitar pukul 12.00 WIB.

Saat berada di sisi utara kawasan MAJT, Munawir memergoki sepasang muda-mudi yang sedang bermesraan di bawah pohon. "Pada waktu itu posisi perempuan dipangku dan dipeluk laki-laki tersebut. Saya kemudian memperingatkan mereka karena pada saat yang bersamaan merupakan waktu Adzan Dzuhur," katanya.

Selain memperingatkan, Munawir kemudian juga menanyakan identitas pasangan muda-mudi tersebut. Pelaku justru berbelit-belit dalam memberikan keterangan serta marah-marah kepadanya. "Tidak lama setelah sempat terjadi adu mulut, pelaku tiba-tiba memukul saya yang masih berada di atas sepeda motor," ujarnya saat melapor di Mapolres Semarang Timur setelah sebelumnya melakukan visum di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang.

Akibat dipukul dengan tangan kosong oleh pelaku, Munawir menderita luka-luka pada bagian wajah dan pelipis, bahkan kaca helm yang dipakai korban juga pecah. Menurut Munawir, beberapa saat setelah kejadian penganiayaan, dengan mengendarai sepeda motor Yamaha Mio bernomor polisi K-6791-YE, pelaku yang diketahui berpangkat Briptu dengan inisial DG (25) dan bertempat tinggal di asrama polisi Kabupaten Blora mendatangi pos satpam di kompleks MAJT tersebut, untuk menyelesaikan masalah.

Sementara itu, badan pengelola MAJT yang diwakili oleh Kepala Tata Usaha MAJT Fatcuri saat dimintai pendapat seputar kasus penganiayaan terhadap satpam oleh seorang oknum polisi itu, mengaku sangat menyayangkan hal tersebut. "Hal ini sangat ironis di tengah usaha pihak pengelola dalam menertibkan kondisi MAJT agar tenang dan khusyuk sebagai tempat peribadahan," ujarnya.

Menurut dia, korban sebagai satpam sudah melaksanakan kewajibannya dengan menegur pelaku yang tidak memperhatikan etika dan nilai-nilai kesopanan di kawasan MAJT Semarang. "Kami menyerahkan kasus penganiayaan ini sepenuhnya pada pihak kepolisian dan hukum yang berlaku," katanya.

Hingga saat ini, kasus penganiayaan oknum polisi terhadap seorang satpam MAJT masih dalam penanganan pihak Provost Polres Semarang Timur.

sumber fbi

Polisi Aniaya Nenek

Seorang nenek bernama Satun, 55, warga Desa Tambaagung Ares, Kecamatan Ambunten, Sumenep menjadi bulan-bulanan penganiayaan oknum anggota Polsek Ambunten Aipda Moh Hasan, Jumat (9/1) petang. Akibatnya, mulut korban berdarah dan tiga gigi depannya rompal alias prothol.

Informasi dihimpun di tempat kejadian perkara (TKP) menyebutkan, penganiayaan oleh oknum polisi yang tergolong senior itu terjadi di sebuah sumur umum milik warga yang letaknya berdekatan dengan markas Polsek Ambunten.

Petang itu Satun sedang menimba air untuk kebutuhan minum dan memasak. Kemudian dari arah belakang datang Aipda Moh Hasan. Tanpa alasan jelas, ia marah-marah dan meminta Satun segera memindahkan ember airnya ke tempat lain. Namun karena masih memegang tali timba, si nenek tidak langsung merespons permintaan Aiptu Moh Hasan.

Merasa permintaannya tak digubris, Aiptu Moh Hasan naik darah kemudian memukul Satun hingga sempoyongan. Bahkan pelaku kemudian mendorong tubuh korban hingga kepalanya terantuk ke bibir sumur.

“Beberapa saat Bu Satun sempat tak sadarkan diri, hingga kemudian datang beberapa warga menolongnya lalu dilarikan ke Puskesmas Ambunten,” kata Iwan, 35, saksi mata yang juga warga setempat.

Saat diangkat untuk dibawa ke puskesmas, dari mulut korban terus mengucur darah. Setelah mulutnya dibuka, ternyata tiga gigi depanya rompal. “Diduga karena pukulan dan dorongan keras ke kepala korban hingga menyebabkan mulutnya mengenai bibir sumur,” lanjut Iwan.
Kapolsek Ambunten Iptu Sumaryono saat dikonfirmasi mengakui anggotanya telah menganiaya seorang warga sekitar Polsek Ambunten. Pelaku kemudian dibawa aparat Provost untuk diperiksa di Polres Sumenep.

“Memang benar telah terjadi penganiayaan oleh anggota kami. Dan saat ini pelaku sudah kami kirim ke provost Polres Sumenep untuk diproses sesuai hukum yang berlaku,” ujar Sumaryono kepada sejumlah wartawan.

Terhadap kejadian itu, Kapolsek berjanji segera menyelesaikan dengan pihak keluarga Ny Satun. Pihaknya juga berjanji akan membantu pembiayaan korban selama perawatan. “Kami berharap keluarganya bisa menempuh cara damai,” tambah Sumaryono.

Namun keinginan Kapolsek agaknya tak bersambut. Keluarga korban menyatakan tidak terima dengan aksi penganiayaan itu dan menolak tawaran damai yang diajukan. “Kami nilai ini perbuatan yang sangat tidak patut dilakukan oleh aparat penegak hukum yang katanya pelindung dan pengayom masyarakat, apalagi kasus ini terjadi tanpa tahu apa masalahnya kok sampai menganiaya,” kata Moh Hasan, 45, sepupu korban.

Karena itu pihaknya tetap akan melaporkan perbuatan oknum polisi itu ke Polres Sumenep agar diusut tuntas. “Polisi harus menunjukkan bahwa hukum itu tidak pandang bulu dan ini harus diusut sesuai aturan hukum yang berlaku,” tegas Moh Hasan.

sumber surya.co.id

Polisi Aniaya Warga Terjadi Pula Di Bogor

Belum usai kasus penganiayaan lima polisi terhadap warga sipil di Depok, di Bogor muncul kasus serupa. Wakil Kepala Kepolisian Resort Kota (Wakapolresta) Komisaris Arief Rachman mengatakan, pihaknya sedang melakukan proses pemeriksaan terhadap salah seorang oknum polisi Bripda An karena diduga melakukan tindakan penganiayaan terhadap salah seorang warga.

"Yang bersangkutan diperiksa oleh petugas Unit Pengaduan Pelayanan dan Penegakan Disiplin (P3D) Provos Polresta Bogor," katanya kepada wartawan Senin (7/12) di Mapolresta, Bogor.

Pemeriksaan tersebut atas adanya pengaduan Dede Rusli yang mengetahui pembantu rumahnya Agus Gunawan (20) mengakui dianiaya oknum polisi di kediamannya di Kompleks Perumahan Baranangsiang, Blok E/i-E. RT 03/RW 08, Kel. Tegallega, Kec. Bogor Tengah, Kota Bogor pada Minggu (6/12).

Informasi yang diperoleh, peristiwa itu berawa] kedatangan enam orang debt-collector yang salah seorang di antaranya adalah Bripda An hendak menagih utang kepada Dede Rusli.

Sesampainya di depan gerbang rumah Dede Rusli, korban Agus malah cuek dan tidak mau

menemui ataupun membuka pintu gerbang. Dengan demikian, hal ini membuat kesal keenam pria tersebut. Lantaran tidak dibukakan pintu, dengan gesit para penagih utang pun langsung memanjat tembok dan membobol pintu rumah Dede Rusli.

Setelah berada di dalam areal rumah, lantas keenam pria tersebut menumpahkan kekesalannya dengan menendang serta menghajar korban Agus secara bergiliran dan bertubi-tubi hingga babak belur. Yang membuat keenam pria tadi kian kesal orang yang ditagih utangnya tidak berada ditempat. Tak pelak, para pelaku itu langsung mengacak-acak seisi rumah majikan korban.

Wakapolresta Arif Rachman mengatakan, dalam kasus tersebut, masih berdasarkan laporan sepihak. Maka, pihaknya belum bisa melimpahkan sepenuhnya kesalahan tersebut kepada oknum polisi tersebut dan sedang dilakukan pemeriksaan.

Namun demikian, Komisaris Arief Rachman menegaskan, pihaknya akan tetap memberi tindakan yang tegas jika anggotanya memang terbukti telah melanggar. "Kami akan amankan, dan dia akan tetap ditindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku," katanya. (A-134)***

sumber bataviase.co.id

Bripda Wilem Trisna Jadi Tersangka

Aparat penyidik Reskrim Polresta Kupang telah menetapkan Bripda Wilem Trisna, anggota Samapta Polda NTT sebagai tersangka kasus kecelakaan lalu lintas di Jalan Mohamad Hatta, depan RSU Kupang, yang menewaskan Jefri Lay dan Kristovel Taebenu. Bripda Wilem Trisna akan diperiksa sebagai tersangka hari ini, Kamis (3/12/2009).

Kapolresta Kupang, AKBP Drs. Heri Sulistianto kepada wartawan di Mapolresta Kupang, Rabu (2/12/2009), menjelaskan, dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang merenggut jiwa dua siswa SMK Cahaya Putra itu, penyidik Reskrim Polresta Kupang telah memeriksa saksi-saksi.

"Beberapa saksi yang telah dimintai keterangan oleh penyidik mengaku melihat ada yang menendang sepeda motor itu. Setelah dikembangkan pemeriksaan mengarah kepada tersangka sebagai pelakunya," katanya.

Sulistianto mengatakan, penetapan Bripda Wilem Trisna sebagai tersangka sesuai pasal 359 KUHP: "Barang Siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun."

Untuk diketahui, dua orang siswa SMK Cahaya Putra, Jefri Lay dan Kristovel Taebenu tewas dalam kecelakaan lalu lintas di Jalan Mohamad Hatta, depan Rumah Sakit Umum (RSU) Kupang, Senin (12/10/2009) pukul 07.00 Wita.

Kecelakaan itu diduga terjadi setelah sepeda motor yang ditumpangi kedua korban jatuh akibat ditendang Bripda Wilem Trisna, oknum anggota Samapta Polda NTT. Kasus ini pertamakali ditangani penyidik Polda NTT. Namun kemudian diserahkan ke penyidik Reskrim Polresta Kupang untuk penanganan selanjutnya. (ben)

Dua Anggota Polisi Ditangkap Berjudi

Dua anggota polisi yang bertugas di Polres Manggarai, yakni Aiptu I Ketut Subawa (41) dan Bripka I Komang Aryana (37), ditangkap saat sedang bermain judi kartu oleh tim buser Polres setempat yang dipimpin Kasat Reskrim, Iptu Okto Wadu Ere.


Kapolres Manggarai, melalui Kasat Reskrim, Iptu Okto Wadu Ere, kepada Pos Kupang, Sabtu (5/12/2009), mengatakan, penangkapan kedua anggota polisi yang berjudi itu terjadi, Kamis (3/12/2009) malam.

Aiptu I Ketut Subawa (41), demikian Wadu Ere, adalah anggota Polres Manggarai yang bertugas di Polsek Cancar, Kelurahan Wae Belang, Kecamatan Ruteng. Sedangkan Bripka I Komang Aryana (37) bertugas di Pota, Kecamatan Sambi Rampas, Kabupaten Manggarai Timur.

Dua anggota polisi itu, jelas Okto Wadu Ere, ditangkap ketika sedang bermain judi di rumah Yohanes Jeheman di Rai, Kelurahan Wae Belang, Kecamatan Ruteng.

Selain membekuk dua anggota polisi, tim buser juga menangkap Marsel Tejo (47), salah seorang guru di Desa Bangka Ruang, Kecamatan Ruteng, dan Borgias Ngabut (47), berprofesi petani. Ikut diamankan dalam operasi itu, jelas Okto Wadu Ere, barang bukti berupa uang senilai Rp 2.500.000 serta kartu.

Pada malam yang sama sekitar pukul 20.00 Wita, jelas Okto Wadu Ere, tim buser yang dipimpinnya juga membekuk beberapa warga ketika sedang bermain judi kartu di rumah Daniel Jeharut, warga Kelurahan Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong.

Selain Daniel Jeharut, tim buser juga mengamankan beberapa penjudi, yaitu Tadeus Sali, Albertus Dinari, Zakarias Waki, Ardi Bagur, dan Berto. Dari tangan para penjudi, aparat kepolisian mengamankan sejumlah barang bukti, seperti uang hasil taruhan senilai Rp 410.000 serta dua pak kartu.

Menurut Okto Wadu Ere, para penjudi, termasuk dua anggota polisi yang ditangkap tim buser itu kini sedang dalam pemeriksaan aparat penyidik Reskrim Polres Manggarai. Para penjudi dijerat pasal 303 jo pasal 303 Bis KUHP dengan ancaman hukuman sepuluh tahun dan empat tahun penjara. "Semuanya masih dalam penahanan pihak kepolisian di Polres Manggarai," kata Okto Wadu Ere. (ben)

sumber kupang pos

Perwira Polisi Aniaya Warga Pannampu

* Memukul dan Menendang Berulang Kali
Nahas menimpa H Arise (43), warga Jl Pannampu, Kelurahan Pannampu, Kecamatan Tallo, Ia terpaksa melapor ke Bidang Profesi dan pengamanan (Propam) Polda Sulselbar setelah dianiaya pknum polisi, AKP Patahuddin. Sabtu (5/12).

Kondisi Arise babak belur setelah dipukul dan ditendang berulang kali oleh Patahuddin. Kasus ini telah dilaporkan ke Propam Polda dan didaftar dengan nomor laporan STPL/171/XII/2009/SI Yanduan.
Informasi yang berhasil dihimpun dari lapangan mengungkapkan, penganiayaan ini berawal saat korban memarkir kendaraannya di lokasi kejadian yang tak jauh dari rumah oknum. Karena kendaraan korban itu, mobil Patahuddin tak bisa keluar rumah.
Korban yang tidak tahu apa-apa, tiba-tiba didatangi pelaku dan dipukul dan ditendang berulang kali. "Saya kaget, Pak. Tiba-tiba dia datang dan marah serta langsung memukul dan menendang saya berulang kali. Saya seperti hewan saja" ujar korban kepada Tribun, kemarin.
Sejumlah warga yang melihat kejadian tersebut hanya diam terpaku dan tidak sanggup berbuat banyak. Warga takut karena mengetahui bahwa pelaku adalah aparat polisi.
Korban juga menjelaskan, selain dirinya, sejumlah masyarakat sempat mengalami hal yang sama. Tapi beberapa dari mereka yang menjadi korban kesewenang-wenangan oknum tersebut tidak berani melapor.
Bahkan informasi lainnya mengatakan, oknum polisi berpangkat Ajun Komisari Polisi (AKP) tersebut sudah dikenal sejumlah warga setempat suka melampiaskan emosinya dengan memukul.
"Sudah bukan rahasia lagi, Pak. Bahkan ada tukang becak pernah digertak dan dipukul berulang kali hanya karena mampir di depan rumahnya," jelas korban dalam ceritanya.
Korban yang tinggal hanya beberapa meter dari rumah oknum mengaku tidak menyangka jika aparat kepolisian yang seharusnya mengayomi masyarakat, justru menakuti warga dengan statusnya.
"Seharusnya, jika hanya karena kendaraannya terhalang oleh mobil saya, dia datang dengan baik-baik dan meminta agar saya menepikan mobil saya terlebih dahulu. Bukannya langsung memukul," lanjut pria asal Kabupaten Soppeng ini.(cr3)

Tindakan Tidak Benar.
KEPALA Bidang Humas Polda Sulselbar, Kombes Pol Hery Subiansauri, yang dikonfirmasi membenarkan adanya kejadian tersebut.
"Saya memang sudah mendengar peristiwa ini. Hanya saja saya belum tahu pasti bagaimana kronologi kejadian. Yang jelas jika ini benar, maka tentu akan ada sanksi bagi oknum tersebut," jelas Heri.
Selain itu Hery juga sangat menyangkan kejadian ini, karena saat ini Polri dengan gencarnya melakukan kegiatan reformasi berokrasi. "Saya baru dengar juga kejaidiannya, jika penuturan warga ini benar semuanya, maka tindakan tersebut sangatlah tercela," jelas Hery.(cr3)

sumber tribun timur

Senin, 07 Desember 2009

Jumlah Korban Penembakan Brimob, 19 Orang

Jumlah korban luka akibat penembakan menyusul konflik sengketa lahan antara Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Unit Cinta Manis dan warga Desa Rengas I dan II, Kabupaten Ogan Ilir (OI), Sumatra Selatan (Sumsel), mencapai 19 orang.

Berdasarkan informasi dihimpun di lapangan, Minggu (6/12), ada delapan warga lainnya yang juga menjadi korban penembakan terjadi di lokasi perkebunan tebu milik PTPN VII pada Jumat, namun tidak dibawa ke Puskesmas, karena luka dialami tidak separah 11 rekan-rekannya.

Setelah peristiwa berdarah itu, warga menemukan lebih dari 70 buah selongsong peluru milik aparat di lokasi kejadian, bahkan ada dua peluru tajam yang masih aktif dan hingga saat ini suasana di pedesaan dan di PTPN VII Unit Cinta Manis Rayon 6 masih mencekam.

Pantauan di Desa Rengas I dan II, warga masih bersiaga untuk mengantisipasi hal-hal tidak diinginkan dan informasi yang diterima warga, ratusan Satgas PTPN akan mendatangi pedesaan itu, namun hingga Minggu sore Satgas PTPN tidak muncul.

Sedangkan situasi di Rayon 6 PTPN VII Unit Cinta Manis yang berada di perkebunan masih dijaga ketat ratusan Brimob dan aktivitas di BUMN itu lumpuh total setelah aset perusahaan dibakar massa.

Aset yang dibakar itu meliputi belasan unit alat berat, perumahan karyawan, tengki minyak, kantor administrasi, dan pos pengamanan.

Belasan aparat Brimob ditemui di Rayon 6 yang tidak bersedia namanya dipublikasikan mengatakan, jumlah aparat melakukan penjagaan di sana mencapai 130 personel.

"Awalnya sejak satu bulan lalu hanya 30 personel, namun setelah tragedi jumlahnya ditambah 100 personel," kata salah satu aparat Brimob Polda Sumsel yang minta namanya tidak disebutkan.

Sedangkan warga yang menjadi korban penembakan tersebut adalah M Gunadi (30), Ahmad (25), Muhlis (23), Masani (42), Wawan Gunadi (25), Al Husairin (35), Wani (46), Bustoni (39), Wawan (30), Suhandi (35), Asep (20), Fauzi (25), Firwanto (35), Rela (42), Ahmad (30), Miswaman (35), Yanto (25), Faidil (45) dan Ibadilah (30).

Sebelumnya diberitakan, 11 warga Desa Rengas I dan II tertembak aparat keamanan, lalu sebagai bentuk balasan ribuan warga melakukan pembakaran sejumlah aset perusahaan.

Tragedi itu sendiri dipicu pembongkaran pondok warga di bekas perkebunan tebu desa setempat yang dilakukan Satuan Petugas (Satgas) PTPN dikawal puluhan personel Brimob, Jumat. Diduga kesal pondoknya dibongkar, ratusan warga mendatangi perkebunan BUMN itu.

Setiba di perkebunan, warga yang mayoritas membawa senjata tajam dihadang personel Brimob, karena situasi tidak terkendali, aparat membela diri menembakkan peluru karet, sehingga 19 penduduk Desa Rengas mengalami luka-luka.

Secara terpisah Kabid Humas Polda Sumsel, Kombes Pol Abdul Gofur ketika dihubungi di Palembang, Minggu mengatakan, keamanan di lokasi PTPN VII itu normal dan aktivitas sudah berjalan seperti biasa.

"Situasi di perusahaan tersebut sudah kondusif dan berjalan seperti biasa, namun aparat keamanan tetap melaksanakan penjagaan di lokasi perusahaan milik negara itu supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan," katanya.

sumber kompas
Istri Tewas & Suami Dipenjara
Pengacara: BAP Lanjar Dibuat Seolah-olah Kecelakaan Tunggal. Polisi dinilai sengaja membuat penyimpangan dalam kasus kecelakaan yang menimpa Lanjar. Dalam BAP Lanjar, tidak disebutkan bahwa istrinya tewas akibat tertabrak mobil setelah terjatuh dari motor. Kecelakaan yang dialami Lanjar dibuat seolah-olah kecelakaan tunggal selengkapnya
Denda Tilang Tidak Lebih dari 50rb (INFO WAJIB DIBACA!!)
Beberapa waktu yang lalu sekembalinya berbelanja kebutuhan, saya sekeluarga pulang dengan menggunakan taksi. Ada adegan yang menarik ketika saya menumpang taksi tersebut, yaitu ketika sopir taksi hendak ditilang oleh polisi. Sempat teringat oleh saya dialog antara polisi dan sopir taksi.. selengkapnya