Sabtu dini hari, warga Dusun Tawang, Desa Sumberbendo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri menggerebek rumah Wahyuni (20) dan menyeret keluar Zaenal Aula, oknum anggota Polres Kediri yang tengah menginap.
Zaenal adalah anggota Intelkam Polres Kediri berpangkat Briptu, asal Dusun Teladan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Pare yang diketahui telah beristri. Zaenal ditengarai menjalin hubungan gelap dengan Wahyuni. Sementara Wahyuni adalah seorang karyawati KSP di wilayah Pare.
Selama ini Wahyuni tinggal seorang diri, karena kedua orang tuanya sudah meninggal dunia. Sementara saudaranya tinggal di Surabaya. "Yang bersangkutan (Zaenal, red) tengah bersembunyi di dapur Yuni (sapaan akrab Wahyuni), lalu warga menarik keluar," kata Kholil (40), tokoh masyarakat Tawang yang ikut dalam penggerebekan, dini hari tadi.
Menurut cerita Kholil, penggerebekan rumah Wahyuni oleh warga terjadi sekitar pukul 24.00 WIB. "Sekitar pukul 21.30 WIB, seorang pria (Zaenal) bertamu ke rumah Yuni. Saat itu warga sudah mulai curiga, karena sepeda motornya dimasukkan ke dalam rumah. Ditunggu hingga larut malam yang bersangkutan tidak juga pulang, akhirnya warga datang secara beramai-ramai," cerita Kholil.
Saat warga datang mencari keberadaan Zaenal yang telah beranak satu itu, Yuni sempat menutup-nutupi dengan alasans udah pulang. Merasa dibohongi, warga pun mendesak masuk dan menemukan Zaenal tengah bersembunyi di dapur. "Kami minta kartu identitas ataupun KTP (Kartu Tanda Penduduk), yang bersangkutan tidak dapat menunjukkannya, akhirnya kami bawa ke rumah pak Kamituwo Soleh," imbuh Kholil.
Dalam perjalanan menuju rumah perangkat desa, Zaenal diarak oleh warga. Tiba di rumah Soleh, Zaenal didesak untuk menunjukkan kartu identitasnya. Akhirnya Zaenal pun pulang mengambil kartu Tanda Anggota (KTA) Kepolisian.
Mengetahui Zaenal seorang polisi, kemudian perangkat desa memintanya membuat surat pernyataan yang isinya, bertanggung jawab atas kejadian tersebut dan siap apabila suatu saat dibutuhkan warga untuk kembali. Setelah membuat surat pernyataan itu Zaenal langsung pergi. Sementara itu, sepeda motor Honda Supra 125 nopol AG 3546 FA milik Zaenal kini diamankan warga.
Terpisah Wakapolres Kediri Kompol Arnapi mengatakan akan menindak anggota yang terbukti bersalah. "Kini yang bersangkutan tengah menjalani pemeriksaan pada Unit P3D Polres Kediri. Mengenai sanksi yang akan dijatuhkan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku," tandas Kompol Arnapi.
[beritajatim.com/mut]
Sabtu, 30 Januari 2010
Oknum Polisi Resahkan Petani Karet
Sejumlah petani karet di Kecamatan Cileles, Cimarga dan Cikulur mengaku resah oleh oknum petugas Polres Lebak yang kerap menakut-nakuti para petani dengan tudingan pencurian hasil sadapan getah karet milik sebuah perusahaan perkebunan.
Akibat para petani karet yang takut itu, akhirnya bersedia menyerahkan sejumlah uang kepada oknum polisi yang diketahui seorang petugas Buru Sergap (Buser) Polres Lebak. Nilai uang yang diserahkan para petani karet itu berkisar Rp 1 juta hingga belasan juta rupiah.
Tak hanya itu, oknum polisi yang berinisial FR itu juga mendatangi sejumlah pengepul getah karet dengan tudingan sebagai penadah hasil curian. Salah satu korbannya adalah DR, seorang pengepul getah karet di Kecamatan Cikulur. Ia mengaku didatangi seorang petugas Buser dan diancam akan dipidanakan.
Lantaran takut, DR bersedia menyerahkan uang sebesar Rp 12 juta kepada oknum polisi itu. Tak hanya DR, pengepul getah karet asal Kecamatan Cileles dan Cimarga pun menjadi korban pemerasan oknum polisi itu.
“Sebagian besar para pedagang getah karet di tiga kecamatan itu telah diperas oleh polisi itu. Termasuk saya yang memang tidak tahu kalau getah karet yang saya beli itu adalah hasil curian,” keluh DR kepada bantenklikp21.com, Jumat (29/01/2010).
Terkait itu, DR akan mengadukan pemerasan yang dialaminya kepada Polres Lebak dengan didampingi Kepala Desa (Kades) setempat. “Saya dan pengepul lainnya bersama para Kades akan mendatangi Polres Lebak,” tandasnya.(pas/sdh)
sumber bantenklikp21.com
Akibat para petani karet yang takut itu, akhirnya bersedia menyerahkan sejumlah uang kepada oknum polisi yang diketahui seorang petugas Buru Sergap (Buser) Polres Lebak. Nilai uang yang diserahkan para petani karet itu berkisar Rp 1 juta hingga belasan juta rupiah.
Tak hanya itu, oknum polisi yang berinisial FR itu juga mendatangi sejumlah pengepul getah karet dengan tudingan sebagai penadah hasil curian. Salah satu korbannya adalah DR, seorang pengepul getah karet di Kecamatan Cikulur. Ia mengaku didatangi seorang petugas Buser dan diancam akan dipidanakan.
Lantaran takut, DR bersedia menyerahkan uang sebesar Rp 12 juta kepada oknum polisi itu. Tak hanya DR, pengepul getah karet asal Kecamatan Cileles dan Cimarga pun menjadi korban pemerasan oknum polisi itu.
“Sebagian besar para pedagang getah karet di tiga kecamatan itu telah diperas oleh polisi itu. Termasuk saya yang memang tidak tahu kalau getah karet yang saya beli itu adalah hasil curian,” keluh DR kepada bantenklikp21.com, Jumat (29/01/2010).
Terkait itu, DR akan mengadukan pemerasan yang dialaminya kepada Polres Lebak dengan didampingi Kepala Desa (Kades) setempat. “Saya dan pengepul lainnya bersama para Kades akan mendatangi Polres Lebak,” tandasnya.(pas/sdh)
sumber bantenklikp21.com
Gara-gara Ribut, Oknum Polisi Gebuki Anak di Bawah Umur
Salah seorang bintara yang bertugas di Polres Wajo melakukan pemukulan terhadap anak dibawa umur gara-gara anak tersebut ribut dekat kosnya. Peristiwa tersebut terjadi pada Desember 2009 lalu. Hal tersebut terungkap pada SMS yang dikirim ke Tribun Timur oleh salah seorang warga Wajo yang mengetahui kejadian tersebut.
Menanggapi kejadian tersebut Kapolres Wajo melalui Kabid Humas Polda Kombes Pol. Hery Subiansauri mengaku bahwa berdasarkan penyelidikan yang dilakukan jajaran Polres Wajo disimpulkan bahwa benar Bripda Junardi mengakui telah melakukan pemukulan.
"Pihak korban tidak mempermasalahkan lagi kasus pemukulan tersebut dengan membuat surat pernyataan tanggal 24 Desember 2009 yang ditandatangani oleh para korban Bripda Junardi, para saksi dan kepala kelurahan Tempe,"terang Herry pada Tribun, Selasa (26/1).
sumber tribun timur
Menanggapi kejadian tersebut Kapolres Wajo melalui Kabid Humas Polda Kombes Pol. Hery Subiansauri mengaku bahwa berdasarkan penyelidikan yang dilakukan jajaran Polres Wajo disimpulkan bahwa benar Bripda Junardi mengakui telah melakukan pemukulan.
"Pihak korban tidak mempermasalahkan lagi kasus pemukulan tersebut dengan membuat surat pernyataan tanggal 24 Desember 2009 yang ditandatangani oleh para korban Bripda Junardi, para saksi dan kepala kelurahan Tempe,"terang Herry pada Tribun, Selasa (26/1).
sumber tribun timur
Gugup Oknum Polisi Buang Sabu
Lagi-lagi seorang oknum bintara polisi terjerat kasus narkoba. Bukan hanya terlibat narkoba, bintara itu, Bripka Otv juga memiliki senjata api ilegal.
Bripka Otv berstatus sebagai anggota Polri yang berdinas di Mapolres Muaraenim. Sampai Senin (25/1) Bripka Otv masih menjalani pemeriksaan di Polres Ogan Ilir. Kabarnya Otv tak mengakui bahwa sabu-sabu yang ditemukan polisi itu adalah miliknya.
Ia ditangkap oleh jajaran Polres Oganilir yang kebetulan tengah menggelar razia di ruas Jalan Palembang Indralaya, Kamis (21/1) dini hari lalu. Dari informasi yang dihimpun di lapangan, kala itu Bripka Otv sedang melintas dengan menggunakan sepeda motornya. Ia pun diberhentikan oleh polisi yang tengah menggelar razia.
Diduga karena gugup dan dibawah pengaruh narkoba, ia pun membuang sebuah kotak rokok dan aksinya itu terlihat oleh polisi yang merazia. Polisi yang curiga lantas memeriksa kotak rokok itu dan rupanya di dalamnya berisi sepaket kristal putih yang diduga sabu-sabu.
Mulanya polisi tak mengetahui bahwa Bripka Otv adalah anggota Polri. Setelah itu Bripka Otv digeledah dan sebuah temuan mengejutkan lagi bahwa ia membawa senjata api yang ternyata tak berizin. Senpi jenis pistol revolver pabrikan berlaras pendek itu bukan yang biasa digunakan polisi
berpangkat bintara. Terkait kasus ini, Kabid Propam Polda Sumsel Kombes Pol Janner Humala Ramajagan Pasaribu melalui Kabid Humas Polda Sumsel, Kombes Pol Abdul Gofur mengatakan akan memproses anggota ini dengan tegas. “Jika terbukti maka sanksi paling tegas dipecat dari kesatuan,” kata Gofur saat diwawancarai di ruang kerjanya, Senin (25/1) siang.
Saat ini pemeriksaan intensif masih dilakukan. Selanjutnya yang bersangkutan rencananya bakal diserahkan ke tempat ia bertugas di Muaraenim. Mengenai kepemilikan senjata api itu juga tetap didalami. “Yang terpenting belum digunakan, kita akan uji dulu lebih jauh dan barang buktinya sudah disita,” kata Gofur. sripo
sumber sriwijaya post
Bripka Otv berstatus sebagai anggota Polri yang berdinas di Mapolres Muaraenim. Sampai Senin (25/1) Bripka Otv masih menjalani pemeriksaan di Polres Ogan Ilir. Kabarnya Otv tak mengakui bahwa sabu-sabu yang ditemukan polisi itu adalah miliknya.
Ia ditangkap oleh jajaran Polres Oganilir yang kebetulan tengah menggelar razia di ruas Jalan Palembang Indralaya, Kamis (21/1) dini hari lalu. Dari informasi yang dihimpun di lapangan, kala itu Bripka Otv sedang melintas dengan menggunakan sepeda motornya. Ia pun diberhentikan oleh polisi yang tengah menggelar razia.
Diduga karena gugup dan dibawah pengaruh narkoba, ia pun membuang sebuah kotak rokok dan aksinya itu terlihat oleh polisi yang merazia. Polisi yang curiga lantas memeriksa kotak rokok itu dan rupanya di dalamnya berisi sepaket kristal putih yang diduga sabu-sabu.
Mulanya polisi tak mengetahui bahwa Bripka Otv adalah anggota Polri. Setelah itu Bripka Otv digeledah dan sebuah temuan mengejutkan lagi bahwa ia membawa senjata api yang ternyata tak berizin. Senpi jenis pistol revolver pabrikan berlaras pendek itu bukan yang biasa digunakan polisi
berpangkat bintara. Terkait kasus ini, Kabid Propam Polda Sumsel Kombes Pol Janner Humala Ramajagan Pasaribu melalui Kabid Humas Polda Sumsel, Kombes Pol Abdul Gofur mengatakan akan memproses anggota ini dengan tegas. “Jika terbukti maka sanksi paling tegas dipecat dari kesatuan,” kata Gofur saat diwawancarai di ruang kerjanya, Senin (25/1) siang.
Saat ini pemeriksaan intensif masih dilakukan. Selanjutnya yang bersangkutan rencananya bakal diserahkan ke tempat ia bertugas di Muaraenim. Mengenai kepemilikan senjata api itu juga tetap didalami. “Yang terpenting belum digunakan, kita akan uji dulu lebih jauh dan barang buktinya sudah disita,” kata Gofur. sripo
sumber sriwijaya post
Diduga Gebuki Tahanan, Oknum Polisi Dilapor ke Propam
Oknum Direktorat (Dit) Narkoba Polda Sumut, Aiptu H dilaporkan ke Propam Poldasu dengan tuduhan menganiaya seorang tahanan tersangka kasus sabu-sabu seberat 1 Kg, M Amin (34) warga Dusun Keudondong, Desa Matang Neuheh, Kecamatan Nurussalam Bagok, Aceh Timur (NAD).
Penganiayaan menggunakan kayu balok 1×2 inchi dengan panjang sekira 50 cm itu dilakukan oknum Aiptu H di ruang penyidik Satuan I Dit Narkoba Polda Sumut pada 23 Januari sekira pukul 17.00 WIB.
Proses untuk mencari pengakuan, namun tidak profesional itu mengakibatkan korban mengalami memar di bagian paha hingga lutut dan kepalanya. Penganiayaan dialami korban itu telah disampaikan ke Direktur Narkoba dan Kabid Propam Polda Sumut.
“Penganiayaan itu dilakukan menggunakan kayu balok. Kejadian ini menandakan petugas kepolisian belum profesional dalam menyidik kasus,” sebut tim kuasa hukum korban di antaranya Mahmud Irsad Lubis SH, M Rangga Budiantara, SH kepada wartawan di Medan, Kamis (28/1).
Lubis menceritakan, kliennya M Amin ditangkap petugas Polres Langkat pada Desember lalu dengan barang bukti 1 Kg sabu-sabu. Namun, tersangka tidak mengakui barang haram tersebut miliknya. Kendati demikian, tersangka berikut barang bukti 1 Kg sabu-sabu tetap diproses hukum di Mapolda Sumut. Kepada penyidik, M Amin bersikukuh bukan pemilik barang haram tersebut, meskipun telah mendekam dalam ke sel.
Dari pengembangan polisi, ditangkap seorang pria asal Aceh, M Jafar di Jakarta kemudian dipertemukan dengan tersangka M Amin. “Klien saya memang mengenal M Jafar,” aku Lubis.
Di ruangan Aiptu H itu, kata Lubis, M Amin sempat ditanya oleh oknum polisi tersebut, apakah ingin diperlukan seperti binatang atau manusia. Korban memilih ingin diperlakukan layaknya manusia. Namun, setelah beberapa kali menjawab tidak tahu atas pertanyaan siapa pemilik 1 Kg tersebut, Aiptu H langsung beraksi. Enam kali kayu balok tersebut diayunkan Aiptu H ke bagian paha dan kepala korban.
Sikap tidak manusiawi Aiptu H tersebut berhenti setelah diminta oleh M Jafar. “Selain ke paha hingga lutut, pukulan itu sekali ke wajah sebelah kiri dan sekali ke bagian atas kepala,” terang Lubis. Singkatnya, tekanan fisik dan intimidasi yang dilakukan Aiptu H membuat M Amin menyebut, kalau 1 Kg sabu-sabu yang ditemukan dalam bus listas Aceh-Medan itu milik M Jafar.
Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Drs Baharudin Djafar melalui Kasubbid Dok Liput, AKBP MP Nainggolan, tidak membenarkan perbuatan Aiptu H.
Nainggolan menjelaskan, dalam pengungkapan suatu kasus, polisi (penyidik) tidak perlu mencari pengakuan, melainkan pembuktian. “Sebagai masyarakat, haknya untuk melaporkan anggota polisi yang salah atau telah menyakitinya,” jelas Nainggolan. (Pr2/m)
sumber sib
Penganiayaan menggunakan kayu balok 1×2 inchi dengan panjang sekira 50 cm itu dilakukan oknum Aiptu H di ruang penyidik Satuan I Dit Narkoba Polda Sumut pada 23 Januari sekira pukul 17.00 WIB.
Proses untuk mencari pengakuan, namun tidak profesional itu mengakibatkan korban mengalami memar di bagian paha hingga lutut dan kepalanya. Penganiayaan dialami korban itu telah disampaikan ke Direktur Narkoba dan Kabid Propam Polda Sumut.
“Penganiayaan itu dilakukan menggunakan kayu balok. Kejadian ini menandakan petugas kepolisian belum profesional dalam menyidik kasus,” sebut tim kuasa hukum korban di antaranya Mahmud Irsad Lubis SH, M Rangga Budiantara, SH kepada wartawan di Medan, Kamis (28/1).
Lubis menceritakan, kliennya M Amin ditangkap petugas Polres Langkat pada Desember lalu dengan barang bukti 1 Kg sabu-sabu. Namun, tersangka tidak mengakui barang haram tersebut miliknya. Kendati demikian, tersangka berikut barang bukti 1 Kg sabu-sabu tetap diproses hukum di Mapolda Sumut. Kepada penyidik, M Amin bersikukuh bukan pemilik barang haram tersebut, meskipun telah mendekam dalam ke sel.
Dari pengembangan polisi, ditangkap seorang pria asal Aceh, M Jafar di Jakarta kemudian dipertemukan dengan tersangka M Amin. “Klien saya memang mengenal M Jafar,” aku Lubis.
Di ruangan Aiptu H itu, kata Lubis, M Amin sempat ditanya oleh oknum polisi tersebut, apakah ingin diperlukan seperti binatang atau manusia. Korban memilih ingin diperlakukan layaknya manusia. Namun, setelah beberapa kali menjawab tidak tahu atas pertanyaan siapa pemilik 1 Kg tersebut, Aiptu H langsung beraksi. Enam kali kayu balok tersebut diayunkan Aiptu H ke bagian paha dan kepala korban.
Sikap tidak manusiawi Aiptu H tersebut berhenti setelah diminta oleh M Jafar. “Selain ke paha hingga lutut, pukulan itu sekali ke wajah sebelah kiri dan sekali ke bagian atas kepala,” terang Lubis. Singkatnya, tekanan fisik dan intimidasi yang dilakukan Aiptu H membuat M Amin menyebut, kalau 1 Kg sabu-sabu yang ditemukan dalam bus listas Aceh-Medan itu milik M Jafar.
Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Drs Baharudin Djafar melalui Kasubbid Dok Liput, AKBP MP Nainggolan, tidak membenarkan perbuatan Aiptu H.
Nainggolan menjelaskan, dalam pengungkapan suatu kasus, polisi (penyidik) tidak perlu mencari pengakuan, melainkan pembuktian. “Sebagai masyarakat, haknya untuk melaporkan anggota polisi yang salah atau telah menyakitinya,” jelas Nainggolan. (Pr2/m)
sumber sib
Ketua DPRD Akui Pernah Dicekik Oknum Polisi
Ketua DPRD Mamuju, Sulawesi Barat Sugianto mengakui jika dirinya juga pernah mendapat perlakuan kasar bahkan sempat dicekik tanpa alasan yang jelas oleh oknum anggota kepolisian di wilayah itu.
"Jangankan rakyat jelata, saya saja selaku anggota DPRD saat itu pernah sempat dicekik oleh oknum aparat kepolisian Mamuju," kata Sugianto di Mamuju, Rabu.
Menurut dia, kejadian yang menimpanya itu sudah berlangsung lama sekitar dua tahun lalu saat masih berstatus anggota DPRD pada periode 2004-2009.
"Saya tidak tahu apa kesalahan saya waktu itu sehingga diperlakukan kasar. Apakah karena oknum polisi salah sasaran atau dengan dasar alasan yang lain-lain," ucapnya.
Politisi Partai Golkar ini menuturkan, jika dirunut kembali peristiwa kekerasan aparat yang terjadi di Mamuju sejak beberapa tahun terakhir, rata-rata dilakukan oleh aparat polisi yang baru saja "dilepas" dari Satuan Pendidikan Militer (SPM) Batua di Kota Makassar (Sulawesi Selatan) yang di tugaskan di daerah.
"Peristiwa kekerasan oleh oknum aparat itu untuk sementara saya masih kaji, karena ternyata kasus demi kasus yang terjadi di Mamuju ini dilakukan oknum polisi remaja yang baru selesai pendidikan," tuturnya.
Kemungkinan besar polisi remaja yang bersikap arogan seperti itu, lanjutnya, apakah karena ingin menunjukkan ke masyarakat bahwa dirinya sudah polisi atau alasan yang lain.
Mestinya, ujarnya, polisi yang baru saja dilepas dari SPM Batua itu diberikan pendidikan tambahan, sehingga polisi remaja itu mengetahui tupoksinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
"Ini harus menjadi catatan Polri, karena yang banyak berbuat ulah dan semena-mena adalah anggota baru, sedangkan anggota senior di jajaran tubuh kepolisian jarang melakukan perbuatan kasar, apalagi jika harus berbuat anarkis," ucapnya. (*)
sumber antara
"Jangankan rakyat jelata, saya saja selaku anggota DPRD saat itu pernah sempat dicekik oleh oknum aparat kepolisian Mamuju," kata Sugianto di Mamuju, Rabu.
Menurut dia, kejadian yang menimpanya itu sudah berlangsung lama sekitar dua tahun lalu saat masih berstatus anggota DPRD pada periode 2004-2009.
"Saya tidak tahu apa kesalahan saya waktu itu sehingga diperlakukan kasar. Apakah karena oknum polisi salah sasaran atau dengan dasar alasan yang lain-lain," ucapnya.
Politisi Partai Golkar ini menuturkan, jika dirunut kembali peristiwa kekerasan aparat yang terjadi di Mamuju sejak beberapa tahun terakhir, rata-rata dilakukan oleh aparat polisi yang baru saja "dilepas" dari Satuan Pendidikan Militer (SPM) Batua di Kota Makassar (Sulawesi Selatan) yang di tugaskan di daerah.
"Peristiwa kekerasan oleh oknum aparat itu untuk sementara saya masih kaji, karena ternyata kasus demi kasus yang terjadi di Mamuju ini dilakukan oknum polisi remaja yang baru selesai pendidikan," tuturnya.
Kemungkinan besar polisi remaja yang bersikap arogan seperti itu, lanjutnya, apakah karena ingin menunjukkan ke masyarakat bahwa dirinya sudah polisi atau alasan yang lain.
Mestinya, ujarnya, polisi yang baru saja dilepas dari SPM Batua itu diberikan pendidikan tambahan, sehingga polisi remaja itu mengetahui tupoksinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
"Ini harus menjadi catatan Polri, karena yang banyak berbuat ulah dan semena-mena adalah anggota baru, sedangkan anggota senior di jajaran tubuh kepolisian jarang melakukan perbuatan kasar, apalagi jika harus berbuat anarkis," ucapnya. (*)
sumber antara
Polisi Diperiksa Karena Kawal Kayu Tak Berizin
Kepolisian Resor (Polres) Pelalawan memeriksa dua oknum polisi karena dua orang itu mengawal pengangkutan kayu tak berizin yang diduga hasil penebangan liar di hutan Kabupaten Pelalawan, Riau.
"Dua anggota polisi masih diperiksa terkait kasus pengawalan kayu yang diduga ilegal," kata Kapolres Pelalawan AKBP Arie Rahman Nafarin, ketika dihubungi dari Pekanbaru, Senin.
Ia menjelaskan, dua anggota tersebut Brigadir Satu (Briptu) RN dan Brigadir Dua (Bripda) F. Berdasarkan pemeriksaan awal tim Pelayanan Pengamanan Penindakan Disiplin (P3D), lanjutnya, kedua oknum polisi itu mengaku kayu yang dikawal merupakan milik mereka sendiri untuk bahan baku pembuatan rumah.
"Tapi tetap saja salah karena kayu tersebut ditebang dan diangkut tanpa dilengkapi dengan dokumen resmi," katanya.
Berdasarkan keterangan, kayu tersebut ditebang dari lahan kebun milik Haji Taher seluas dua hektare di Desa Bunut Kecamatan Pangkalan Kuras, Pelalawan. Kedua oknum tersebut terancam dipidana apabila terbukti memperjualbelikan kayu tersebut.
Selain itu, Polres Pelalawan juga akan meminta keterangan saksi ahli dari Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan untuk melengkapi pemeriksaan terutama untuk mengetahui status hutan tempat penebangan kayu.
"Kami akan pidanakan jika hasil keterangan saksi ahli menyebutkan secara tegas keduanya terbukti menebang di wilayah hutan lindung atau di hutan produksi terbatas," ujarnya.
Kasus tersebut terungkap saat kedua anggota polisi bersitegang dengan dua oknum TNI di Simpang Bunut, Kecamatan Pangkalan Kuras, Selasa, (19/1).
Keributan itu ditengahi tim patroli Kepolisian Sektor (Polsek) Pangkalan Kuras, yang kemudian mengetahui keributan itu bersumber dari masalah kayu tak berizin. (*)
sumber antara
"Dua anggota polisi masih diperiksa terkait kasus pengawalan kayu yang diduga ilegal," kata Kapolres Pelalawan AKBP Arie Rahman Nafarin, ketika dihubungi dari Pekanbaru, Senin.
Ia menjelaskan, dua anggota tersebut Brigadir Satu (Briptu) RN dan Brigadir Dua (Bripda) F. Berdasarkan pemeriksaan awal tim Pelayanan Pengamanan Penindakan Disiplin (P3D), lanjutnya, kedua oknum polisi itu mengaku kayu yang dikawal merupakan milik mereka sendiri untuk bahan baku pembuatan rumah.
"Tapi tetap saja salah karena kayu tersebut ditebang dan diangkut tanpa dilengkapi dengan dokumen resmi," katanya.
Berdasarkan keterangan, kayu tersebut ditebang dari lahan kebun milik Haji Taher seluas dua hektare di Desa Bunut Kecamatan Pangkalan Kuras, Pelalawan. Kedua oknum tersebut terancam dipidana apabila terbukti memperjualbelikan kayu tersebut.
Selain itu, Polres Pelalawan juga akan meminta keterangan saksi ahli dari Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan untuk melengkapi pemeriksaan terutama untuk mengetahui status hutan tempat penebangan kayu.
"Kami akan pidanakan jika hasil keterangan saksi ahli menyebutkan secara tegas keduanya terbukti menebang di wilayah hutan lindung atau di hutan produksi terbatas," ujarnya.
Kasus tersebut terungkap saat kedua anggota polisi bersitegang dengan dua oknum TNI di Simpang Bunut, Kecamatan Pangkalan Kuras, Selasa, (19/1).
Keributan itu ditengahi tim patroli Kepolisian Sektor (Polsek) Pangkalan Kuras, yang kemudian mengetahui keributan itu bersumber dari masalah kayu tak berizin. (*)
sumber antara
Mabes Polri Bekuk Oknum Polisi di Lokasi Judi
Markas Besar Polri menggerebek lokasi perjudian di Tangerang, Banten. Salah satu dari pelaku yang berhasil dibekuka adalah anggota polisi dari Polda Jawa Barat.
"Diantaranya yang tertangkap adalah oknum Polri," kata juru bicara Polri Inspektur Jenderal Edward Aritonang di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Jumat 29 Januari 2010.
Dalam penggerebekan yang dilakukan Kamis 28 Januari 2010 itu, Polri masih menelusuri keterkaitan oknum polisi yang dibekuk saat penggerebekan.
"Ada oknum Polri yang diduga terlibat. Tapi masih kita kembangan, kami cari tahu dalam posisi apa keberadaannya di situ," ujar dia.
Apakah dari Polda Jawa Barat? "Sementara saya benarkan itu," kata dia.
Seperti diberitakan, Direktorat I Keamanan dan Trans Nasional Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menangkap 13 orang komlotan judi.
Mereka dibekuk di Jalan Jurumudi Komplek Alam Raya Blok B-67 Kelurahan/Kecamatan Benda, Kota Tangerang, Provinsi Banten, Rabu 27 Januari 2010 lalu.
sumber tempointeraktif
"Diantaranya yang tertangkap adalah oknum Polri," kata juru bicara Polri Inspektur Jenderal Edward Aritonang di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Jumat 29 Januari 2010.
Dalam penggerebekan yang dilakukan Kamis 28 Januari 2010 itu, Polri masih menelusuri keterkaitan oknum polisi yang dibekuk saat penggerebekan.
"Ada oknum Polri yang diduga terlibat. Tapi masih kita kembangan, kami cari tahu dalam posisi apa keberadaannya di situ," ujar dia.
Apakah dari Polda Jawa Barat? "Sementara saya benarkan itu," kata dia.
Seperti diberitakan, Direktorat I Keamanan dan Trans Nasional Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menangkap 13 orang komlotan judi.
Mereka dibekuk di Jalan Jurumudi Komplek Alam Raya Blok B-67 Kelurahan/Kecamatan Benda, Kota Tangerang, Provinsi Banten, Rabu 27 Januari 2010 lalu.
sumber tempointeraktif
Rabu, 27 Januari 2010
Salah Tangkap Lagi
Orang kecil selalu lemah di mata hukum, sementara orang besar senantiasa kuat di depan hukum. Sungguh kurang bijak dan arif jika hukum tidak berlaku buat semua orang. Semua warga negara Indonesia adalah sama di muka hukum. Benar demikian?
Sedemikian lenturkah pernyataan yang tertuang dalam tiap pasal, bab, atau halaman dari sebuah produk hukum sehingga terkesan “mengizinkan” seseorang yang berhadapan dengan hukum berusaha untuk menyelamatkan diri supaya lepas dan bebas tanpa bersyarat.
Lihat saja kejadian baru-baru ini, ternyata salah tangkap sepertinya menjadi “trend” bagi oknum polisi dengan dalih untuk penegakan hukum. Seorang dosen Universitas Indonesia (UI) yang tidak tahu kesalahannya, telah mengalami penyiksaan fisik oleh oknum polisi karena dianggap melawan saat digerebek.
Dalam proses interogasi, diketahui bahwa dosen UI tersebut tidak bersalah dan oknum polisi berkata: “Maaf, kami salah tangkap, dan karena Anda melawan maka Anda kami sikat!”
Di Gorontalo, Kasman Noho juga mengalami penyiksaan fisik oleh oknum polisi agar mengakui telah menggelapkan sepeda motor. Ingat dengan David dan Kemat dari Jombang yang menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan? Mereka mengalami penyiksaan bertubi-tubi oleh oknum polisi agar mengakui mereka sebagai pembunuh.
Pola interogasi dengan menusukkan paku, ditendang, dipukul pada bagian kepala adalah pola yang tidak bisa diterima dan ini harus dipertanggungjawabkan di depan hukum. Karena ini merupakan tindakan premanisme yang bisa merusak institusi kepolisian itu sendiri. Ini merupakan sebagian kecil dari bongkahan gunung es yang sedikit terkuak.
Keplisian Republik Indonesia (Polri) Polri perlu melakukan reformasi bertahap dan menyeluruh. Pelan tapi pasti Polri harus segera memperbaiki internalnya. Ada dua hal yang bisa disampaikan di sini kenapa salah tangkap itu terjadi. Pertama, akurasi data yang kurang valid. Kedua, pola investigasi yang kurang mengedepankan akal pikiran yang sehat serta mental yang labil sehingga menjadikan orang lain sebagai korban.
sumber surya online
Sedemikian lenturkah pernyataan yang tertuang dalam tiap pasal, bab, atau halaman dari sebuah produk hukum sehingga terkesan “mengizinkan” seseorang yang berhadapan dengan hukum berusaha untuk menyelamatkan diri supaya lepas dan bebas tanpa bersyarat.
Lihat saja kejadian baru-baru ini, ternyata salah tangkap sepertinya menjadi “trend” bagi oknum polisi dengan dalih untuk penegakan hukum. Seorang dosen Universitas Indonesia (UI) yang tidak tahu kesalahannya, telah mengalami penyiksaan fisik oleh oknum polisi karena dianggap melawan saat digerebek.
Dalam proses interogasi, diketahui bahwa dosen UI tersebut tidak bersalah dan oknum polisi berkata: “Maaf, kami salah tangkap, dan karena Anda melawan maka Anda kami sikat!”
Di Gorontalo, Kasman Noho juga mengalami penyiksaan fisik oleh oknum polisi agar mengakui telah menggelapkan sepeda motor. Ingat dengan David dan Kemat dari Jombang yang menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan? Mereka mengalami penyiksaan bertubi-tubi oleh oknum polisi agar mengakui mereka sebagai pembunuh.
Pola interogasi dengan menusukkan paku, ditendang, dipukul pada bagian kepala adalah pola yang tidak bisa diterima dan ini harus dipertanggungjawabkan di depan hukum. Karena ini merupakan tindakan premanisme yang bisa merusak institusi kepolisian itu sendiri. Ini merupakan sebagian kecil dari bongkahan gunung es yang sedikit terkuak.
Keplisian Republik Indonesia (Polri) Polri perlu melakukan reformasi bertahap dan menyeluruh. Pelan tapi pasti Polri harus segera memperbaiki internalnya. Ada dua hal yang bisa disampaikan di sini kenapa salah tangkap itu terjadi. Pertama, akurasi data yang kurang valid. Kedua, pola investigasi yang kurang mengedepankan akal pikiran yang sehat serta mental yang labil sehingga menjadikan orang lain sebagai korban.
sumber surya online
Kasus Salah Tangkap Terulang di Polres Kuningan?
Jajaran Polres Kuningan, Jawa Barat, diduga melakukan salah tangkap terhadap tiga warga Desa Bojong Cilimus, Kecamatan Cilimus. Mereka adalah Adi Ilyas, Mamat Rahmat, dan Enjum Jumaedi.
Ketiganya dituduh membunuh Husen yang bekerja sebagai pemulung. Selama menjalani pemeriksaan di Mapolres Kuningan pada 2 Agustus 2009 lalu, ketiganya kerap mengalami penganiayaan dari anggota polisi agar mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan.
Faktanya kemarin, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kuningan yang diketuai Dewi Iswani membebaskan ketiganya dari segala tuduhan dan tuntutan. “Berdasarkan fakta-fakta dan para saksi di persidangan, ternyata Adi, Mamat, dan Enjum tidak terbukti membunuh Husen, sehingga majelis membebaskan ketiganya dari tuntutan,” jelas Dewi dalam amar putusannya, Selasa (26/1/2010).
Adi Ilyas, salah satu terdakwa yang dihubungi seusai persidangan mengatakan, merasa bersyukur keadilan masih berpihak pada dirinya sehingga majelis hakim membebaskan dari segala tuduhan. Namun dia menyayangkan sikap penyidik kepolisian yang menyiksa dirinya selama dalam tahanan.
“Bayangkan saya ditahan selama enam bulan sejak 2 Agustus 2009. Dalam tahanan polisi, saya kerap dipukuli dan dipaksa mengaku, itu dilakukan penyidik reserse dan kriminal (reskrim) agar saya mengaku membunuh Husen,” ujar Adi.
Adi mengaku trauma atas perlakuan polisi. Dia meminta Mabes Polri segera memeriksa penyidik Polres Kuningan agar peristiwa ini tak terulang kembali. Hal yang sama juga diakui Mamat Rahmat.
Menurut dia, polisi sudah keterlaluan dalam melakukan kekerasan terhadap dirinya. Pria berusia 35 tahun ini mengaku kerap diintimidasi dengan todongan pistol. Bahkan tangannya kerap disundut rokok agar mengakui telah membunuh Husen yang tak lain adalah saudara kandungnya sendiri.
“Saya minta nama baik saya direhabilitasi karena orang se-Kabupaten Kuningan menilai saya telah membunuh saudara sendiri. Maunya sih saya menuntut pihak kepolisian karena telah menyiksa tapi bagaimana caranya saya hanya orang kecil,” katanya.
(SM Said/Koran SI/ful)
summber okezone
Ketiganya dituduh membunuh Husen yang bekerja sebagai pemulung. Selama menjalani pemeriksaan di Mapolres Kuningan pada 2 Agustus 2009 lalu, ketiganya kerap mengalami penganiayaan dari anggota polisi agar mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan.
Faktanya kemarin, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kuningan yang diketuai Dewi Iswani membebaskan ketiganya dari segala tuduhan dan tuntutan. “Berdasarkan fakta-fakta dan para saksi di persidangan, ternyata Adi, Mamat, dan Enjum tidak terbukti membunuh Husen, sehingga majelis membebaskan ketiganya dari tuntutan,” jelas Dewi dalam amar putusannya, Selasa (26/1/2010).
Adi Ilyas, salah satu terdakwa yang dihubungi seusai persidangan mengatakan, merasa bersyukur keadilan masih berpihak pada dirinya sehingga majelis hakim membebaskan dari segala tuduhan. Namun dia menyayangkan sikap penyidik kepolisian yang menyiksa dirinya selama dalam tahanan.
“Bayangkan saya ditahan selama enam bulan sejak 2 Agustus 2009. Dalam tahanan polisi, saya kerap dipukuli dan dipaksa mengaku, itu dilakukan penyidik reserse dan kriminal (reskrim) agar saya mengaku membunuh Husen,” ujar Adi.
Adi mengaku trauma atas perlakuan polisi. Dia meminta Mabes Polri segera memeriksa penyidik Polres Kuningan agar peristiwa ini tak terulang kembali. Hal yang sama juga diakui Mamat Rahmat.
Menurut dia, polisi sudah keterlaluan dalam melakukan kekerasan terhadap dirinya. Pria berusia 35 tahun ini mengaku kerap diintimidasi dengan todongan pistol. Bahkan tangannya kerap disundut rokok agar mengakui telah membunuh Husen yang tak lain adalah saudara kandungnya sendiri.
“Saya minta nama baik saya direhabilitasi karena orang se-Kabupaten Kuningan menilai saya telah membunuh saudara sendiri. Maunya sih saya menuntut pihak kepolisian karena telah menyiksa tapi bagaimana caranya saya hanya orang kecil,” katanya.
(SM Said/Koran SI/ful)
summber okezone
IPW Desak Mabes Polri Usut Kasus Salah Tangkap
Ketua Presidium Indonesian Police Watch Neta S Pane menilai apa yang dilakukan penyidik Polres Kuningan harus segera disikapi Mabes Polri.
Menurut Neta, propam Mabes Polri harus proaktif memeriksa penyidik Polres Kuningan karena kasus penganiayaan terhadap para tersangka di kepolisian kerap berulang. “Kasus ini harus jadi pembelajaran agar penyidik polri lebih profesional dalam menyelidiki suatu perkara pidana,” tegasnya.
Dia mengimbau para keluarga terdakwa yang telah dibebaskan melaporkan kasus tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), karena kasus penganiayaan merupakan pelanggaran pidana.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang mengatakan, pihaknya menghormati putusan PN Kuningan atas kasus tersebut. Mantan Kapolda NTT ini berjanji menindaklanjuti informasi itu. “Kami akan cek laporan tersebut. Kalau memang terbukti ada kekerasan dari penyidik, tentunya akan kami periksa,” ungkapnya.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Kuningan AKP Sukirman membantah anggotanya telah melakukan kekerasan selama penyidikan kasus tersebut. “Bukan zamannya lagi kami berbuat kekerasan dalam pemeriksaan. Jika ada pengakuan tersebut, ya tentunya tidak benar. Kalau itu pengakuan tersangka, ya itu hak mereka. Apalagi saat diperiksa yang bersangkutan mengakui sendiri hal tersebut,” terangnya.
Kasus dugaan salah tangkap ini mencuat setelah PN Kuningan memvonis bebas tiga terdakwa kasus pembunuhan Husen beberapa waktu lalu. Tiga terdakwa yang disidangkan yaitu Adi Ilyas, Mamat Rahmat, dan Enjum Jumaedi.
Mereka dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Ketiganya pun hendak menuntut polisi merehabilitasi nama mereka. Selain itu, ketiganya juga mengaku sering dianiaya polisi selama ditahanan agar mengakui pembunuhan yang tidak dilakukan.
sumber okezone
Menurut Neta, propam Mabes Polri harus proaktif memeriksa penyidik Polres Kuningan karena kasus penganiayaan terhadap para tersangka di kepolisian kerap berulang. “Kasus ini harus jadi pembelajaran agar penyidik polri lebih profesional dalam menyelidiki suatu perkara pidana,” tegasnya.
Dia mengimbau para keluarga terdakwa yang telah dibebaskan melaporkan kasus tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), karena kasus penganiayaan merupakan pelanggaran pidana.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang mengatakan, pihaknya menghormati putusan PN Kuningan atas kasus tersebut. Mantan Kapolda NTT ini berjanji menindaklanjuti informasi itu. “Kami akan cek laporan tersebut. Kalau memang terbukti ada kekerasan dari penyidik, tentunya akan kami periksa,” ungkapnya.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Kuningan AKP Sukirman membantah anggotanya telah melakukan kekerasan selama penyidikan kasus tersebut. “Bukan zamannya lagi kami berbuat kekerasan dalam pemeriksaan. Jika ada pengakuan tersebut, ya tentunya tidak benar. Kalau itu pengakuan tersangka, ya itu hak mereka. Apalagi saat diperiksa yang bersangkutan mengakui sendiri hal tersebut,” terangnya.
Kasus dugaan salah tangkap ini mencuat setelah PN Kuningan memvonis bebas tiga terdakwa kasus pembunuhan Husen beberapa waktu lalu. Tiga terdakwa yang disidangkan yaitu Adi Ilyas, Mamat Rahmat, dan Enjum Jumaedi.
Mereka dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Ketiganya pun hendak menuntut polisi merehabilitasi nama mereka. Selain itu, ketiganya juga mengaku sering dianiaya polisi selama ditahanan agar mengakui pembunuhan yang tidak dilakukan.
sumber okezone
Selasa, 26 Januari 2010
Istri Tewas & Suami Dipenjara
Pengacara: BAP Lanjar Dibuat Seolah-olah Kecelakaan Tunggal.
Polisi dinilai sengaja membuat penyimpangan dalam kasus kecelakaan yang menimpa Lanjar. Dalam BAP Lanjar, tidak disebutkan bahwa istrinya tewas akibat tertabrak mobil setelah terjatuh dari motor. Kecelakaan yang dialami Lanjar dibuat seolah-olah kecelakaan tunggal.
"Kasus yang menimpa saudara Lanjar Sriyanto ini kasus hukum yang muatannya struktural. Pembuatan BAP-nya terjadi penyimpangan. Penyebab kematian Saptaningsih, istri Lanjar, tidak dimasukkan. Dengan demikian seolah-olah ini kecelakaan tunggal," ujar Taufiq, kepada wartawan di Solo, Senin (11/1/2010).
Dia menilai ada unsur kesengajaan dalam pembuatan BAP menyimpang tersebut. Karena mobil isuzu panther yang menabrak Saptaningsih setelah terpental dari motor adalah milih seorang anggota polisi di jajaran Polres Ngawi. Dalam kasus ini mobil tersebut tidak dijadikan barang bukti.
Mobil isuzu panther tersebut adalah milik Pandi Widodo yang direntalkan. Setelah kejadian, Pandi menemui adik kandung Saptaningsih untuk membuat kesepakatan penyelesaian kekeluargaan atas kasus tersebut. Kesepakatan dengan tanda tangan diatas materai tersebut dibuat 29 September 2009.
"Kasus pidana berorientasi pada kebenaran materiil. Penyebab kematiannya apa, harus jelas. Apa karena jatuh atau karena ada isuzu panther yang tidak pernah dihadirkan dalam persidangan itu. Lagipula kalau memang tidak merasa bersalah, kenapa pemilik mobil panther itu minta damai dengan terdakwa. Kalau bersalah, kenapa tidak ada berkasnya," lanjut Taufiq.
Dalam persidanggan berikutnya yang direncanakan Kamis mendatang, tim pengacara akan mengajukan penangguhan penahanan kepada hakim. Selain karena alasan-alasan formil, alasannya lainnya terdakwa adalah tulang punggung keluarga dan mempunyai tanggungan seorang anak yang masih kecil.
Selanjutnya pengacara juga akan meminta dihadirkannya polisi penyidik yang melakukan olah TKP untuk mengetahui secara persis penyebab kematian, anggota polisi pemilik mobil isuzu panther yang mengajak kesepakatan damai dengan keluarga, serta sopir mobil isuzu panther.
Polisi dinilai sengaja membuat penyimpangan dalam kasus kecelakaan yang menimpa Lanjar. Dalam BAP Lanjar, tidak disebutkan bahwa istrinya tewas akibat tertabrak mobil setelah terjatuh dari motor. Kecelakaan yang dialami Lanjar dibuat seolah-olah kecelakaan tunggal.
"Kasus yang menimpa saudara Lanjar Sriyanto ini kasus hukum yang muatannya struktural. Pembuatan BAP-nya terjadi penyimpangan. Penyebab kematian Saptaningsih, istri Lanjar, tidak dimasukkan. Dengan demikian seolah-olah ini kecelakaan tunggal," ujar Taufiq, kepada wartawan di Solo, Senin (11/1/2010).
Dia menilai ada unsur kesengajaan dalam pembuatan BAP menyimpang tersebut. Karena mobil isuzu panther yang menabrak Saptaningsih setelah terpental dari motor adalah milih seorang anggota polisi di jajaran Polres Ngawi. Dalam kasus ini mobil tersebut tidak dijadikan barang bukti.
Mobil isuzu panther tersebut adalah milik Pandi Widodo yang direntalkan. Setelah kejadian, Pandi menemui adik kandung Saptaningsih untuk membuat kesepakatan penyelesaian kekeluargaan atas kasus tersebut. Kesepakatan dengan tanda tangan diatas materai tersebut dibuat 29 September 2009.
"Kasus pidana berorientasi pada kebenaran materiil. Penyebab kematiannya apa, harus jelas. Apa karena jatuh atau karena ada isuzu panther yang tidak pernah dihadirkan dalam persidangan itu. Lagipula kalau memang tidak merasa bersalah, kenapa pemilik mobil panther itu minta damai dengan terdakwa. Kalau bersalah, kenapa tidak ada berkasnya," lanjut Taufiq.
Dalam persidanggan berikutnya yang direncanakan Kamis mendatang, tim pengacara akan mengajukan penangguhan penahanan kepada hakim. Selain karena alasan-alasan formil, alasannya lainnya terdakwa adalah tulang punggung keluarga dan mempunyai tanggungan seorang anak yang masih kecil.
Selanjutnya pengacara juga akan meminta dihadirkannya polisi penyidik yang melakukan olah TKP untuk mengetahui secara persis penyebab kematian, anggota polisi pemilik mobil isuzu panther yang mengajak kesepakatan damai dengan keluarga, serta sopir mobil isuzu panther.
Lanjar Serahkan Uang Terima Kasih ke Oknum Polisi
Lanjar Sriyanto (35) yang didakwa lalai hingga menyebabkan istrinya tewas dalam kecelakaan, tak henti-hentinya menghadapi cobaan.
Mungkin sudah kepalang basah, apa yang sempat dia kemukakan di berbagai media soal penyerahan uang kepada penyidik Satlantas Polres Karanganyar, disampaikan pula kepada tim Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jateng.
Lanjar tak lagi menunjukkan keraguan ketika dicecar berbagai pertanyaan petugas Propam Polda, di rumah kontrakannya di Jalan Jambu Raya VI, Jajar, Laweyan, Jumat (22/1). Diselingi makan, minum dan merokok, dia terlihat santai untuk menceritakan apa yang ditanyakan petugas.
Berbagai hal dikemukakan sejak dia menjalani proses hukum, mengurus jasa raharja untuk istrinya, hingga ada kompromi uang ''terima kasih'' untuk polisi yang menguruskan surat kelengkapan sebagai syarat mendapatkan jasa raharja.
Tim Propam Polda Jateng yang dipimpin seorang perwira berikut anggotanya berjumlah sekitar 4 personel, datang ke tempat tinggalnya sejak Jumat pagi.
Terurai jelas dalam pemeriksaan bahwa Lanjar yang kerap dipanggil Gandung mengaku telah menyerahkan uang Rp 1 juta kepada penyidik.
Semula uang sebagai bentuk ucapan terima kasih itu diserahkan petugas berinisial K. Namun yang bersangkutan tidak menerimanya secara langsung. Uang tersebut kemudian diterima penyidik lainnya. Nama penyidik yang menerima uang dari Lanjar dikemukakannya kepada petugas Propam secara jelas. Nama yang disebut Lanjar berinisial Y.
Bukan hanya buruh bangunan yang didakwa lalai menyebabkan istrinya, Saptaningsih tewas dalam kecelakaan tersebut yang diperiksa. Adik iparnya, Taru Kristianto (35) juga dimintai keterangan.
Taru yang merupakan adik kandung almarhumah Saptaningsih, dimintai keterangan tim Propam di Poltabes Surakarta. "Di Poltabes, kami hanya pinjam tempat," tegas salah satu penyidik yang tidak mau menyebut namanya.
Taru dimintai keterangan seputar penyerahan ''uang keikhlasan'' berdasar sepengetahuannya. Meski mengaku tidak mengetahui persis saat Lanjar menyerahkan uang Rp 1 juta kepada penyidik, setidaknya dia mengetahui sejak dari rumah ketika Lanjar memasukkan uang Rp 1 juta ke dalam amplop.
Sepulang dari Kantor Satlantas Polres Karanganyar, Lanjar menceritakan kepada adik iparnya itu kalau uangnya sudah diserahkan kepada petugas. "Apa yang saya dengar dan yang saya ketahui, semuanya sudah saya ceritakan kepada petugas Propam dan tidak ada kendala," tegas Taru dalam pesan singkatnya.
sumber suaramerdeka.com
Mungkin sudah kepalang basah, apa yang sempat dia kemukakan di berbagai media soal penyerahan uang kepada penyidik Satlantas Polres Karanganyar, disampaikan pula kepada tim Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jateng.
Lanjar tak lagi menunjukkan keraguan ketika dicecar berbagai pertanyaan petugas Propam Polda, di rumah kontrakannya di Jalan Jambu Raya VI, Jajar, Laweyan, Jumat (22/1). Diselingi makan, minum dan merokok, dia terlihat santai untuk menceritakan apa yang ditanyakan petugas.
Berbagai hal dikemukakan sejak dia menjalani proses hukum, mengurus jasa raharja untuk istrinya, hingga ada kompromi uang ''terima kasih'' untuk polisi yang menguruskan surat kelengkapan sebagai syarat mendapatkan jasa raharja.
Tim Propam Polda Jateng yang dipimpin seorang perwira berikut anggotanya berjumlah sekitar 4 personel, datang ke tempat tinggalnya sejak Jumat pagi.
Terurai jelas dalam pemeriksaan bahwa Lanjar yang kerap dipanggil Gandung mengaku telah menyerahkan uang Rp 1 juta kepada penyidik.
Semula uang sebagai bentuk ucapan terima kasih itu diserahkan petugas berinisial K. Namun yang bersangkutan tidak menerimanya secara langsung. Uang tersebut kemudian diterima penyidik lainnya. Nama penyidik yang menerima uang dari Lanjar dikemukakannya kepada petugas Propam secara jelas. Nama yang disebut Lanjar berinisial Y.
Bukan hanya buruh bangunan yang didakwa lalai menyebabkan istrinya, Saptaningsih tewas dalam kecelakaan tersebut yang diperiksa. Adik iparnya, Taru Kristianto (35) juga dimintai keterangan.
Taru yang merupakan adik kandung almarhumah Saptaningsih, dimintai keterangan tim Propam di Poltabes Surakarta. "Di Poltabes, kami hanya pinjam tempat," tegas salah satu penyidik yang tidak mau menyebut namanya.
Taru dimintai keterangan seputar penyerahan ''uang keikhlasan'' berdasar sepengetahuannya. Meski mengaku tidak mengetahui persis saat Lanjar menyerahkan uang Rp 1 juta kepada penyidik, setidaknya dia mengetahui sejak dari rumah ketika Lanjar memasukkan uang Rp 1 juta ke dalam amplop.
Sepulang dari Kantor Satlantas Polres Karanganyar, Lanjar menceritakan kepada adik iparnya itu kalau uangnya sudah diserahkan kepada petugas. "Apa yang saya dengar dan yang saya ketahui, semuanya sudah saya ceritakan kepada petugas Propam dan tidak ada kendala," tegas Taru dalam pesan singkatnya.
sumber suaramerdeka.com
Cabuli Janda, Oknum Polisi Dipenjara 14 Hari
Sidang disiplin terhadap Bripka Vinson Silitongga yang mencabuli seorang janda digelar di Polres Surabaya Utara. Sidang memvonis anggota Samapta Polsek Bubutan itu penjara selama 14 hari.
Keputusan itui dibenarkan Wakapolres Surabaya Utara Kompol Toni Sugiyanto. "Setelah mendengarkan kesaksian 11 saksi, sidang hari ini memang mendengarkan putusan hakim. Dan putusannya Bripka Vinson dihukum 14 hari penjara," ujarnya, Selasa (19/1).
Sebelumnya, Bripka Vinson Silitongga disidang disiplin lantaran diduga mencabuli Anita (39), bukan nama sebenarnya, warga Perumahan Taman Pondok Indah, Wiyung pada pertengahan September lalu. Waktu itu, korban mengantar temannya yang kehilangan dompet melapor ke Polsek Bubutan.
Rupanya, saat itu Bripka Vinson tertarik dengan korban. Saat itulah Bripka Vinson meminta nomer HP korban. Selanjutnya, Bripka Vinson dan korban berkomunikasi melalui HP.
Tanggal 28 September, Bripka Vinson datang ke rumah korban. Waktu itu Bripka Vinson beralasan hanya sekedar mampir usai dari RS Bhayangkara Polda Jatim. Karena yang datang polisi, korban pun mempersilakan masuk ke rumahnya.
Selanjutnya, Bripka Vinson dan korban terlibat obrolan. Dalam obrolan itu, korban menceritakan kalau punya masalah penagihan uang Rp 1,5 juta yang dipinjam Yimi, warga Putat Gede.
Mendengar keluhan ini, Bripka Vinson lalu mengantar korban menagih uang tersebut ke rumah Yimi. Namun, Yimi tak ada di rumahnya. Karena tak ada di rumah, korban lalu mengambil sebuah lukisan untuk dijadikan sebagai jaminan.
Selanjutnya, korban dan Bripka Vinson kembali ke rumah. Nah, di dalam rumah inilah, Bripka Vinson melakukan perbuatan asusilanya dengan memeluk tubuh korban dan menciuminya sehingga korban berontak.
Sayangnya, penolakan ini tak membuat Bripka Vinson mengurungkan perbuatannya. Bahkan, Bripka Vinson semakin menjadi-jadi dengan memeluk korban dari belakang. bahkan mencoba membuka resleting celana korban sehingga korban kabur ke ruang tamu. Tapi korban terjatuh di sofa. Kondisi ini dimanfaatkan Bripka Vinson untuk memeluk korban.
Bahkan, Bripka Vinson mencoba memperkosa korban yang telah dikaruniai dua anak ini. Korban berusaha melarikan diri ke luar rumah. Satu minggu kemudian, tepatnya 4 Oktober pukul 11.00 WIB, Bripka Vinson kembali datang ke rumah korban. Kali ini Bripka Vinson mengaku suruhan Yimi untuk mengambil lukisan.
Tapi korban tak mau mengembalikan lukisan. Korban mau mengembalikan lukisan asalkan Yimi membayar hutang Rp 1,5 juta. Selanjutnya Bripka Vinson pulang. Sekitar pukul 14.00 WIB, Bripka Vinson kembali datang ke rumah korban. Tapi kali ini Bripka Vinson tak bisa bertemu dengan korban. Karena tak ketemu itulah, Bripka Vinson mengancam dua anak korban.
Ancaman ini membuat korban ketakutan. Merasa tak kuat dengan ancaman tersebut, korban melapor ke unit P3D Polres Surabaya Utara. Dan laporan ini ditindaklanjuti Kapolres Surabaya Utara, AKBP Djoko Hari Utomo dengan menggelar sidang disiplin terhadap Bripka Vinson. [beritajatim.com/mut]
sumber inilah.com
Keputusan itui dibenarkan Wakapolres Surabaya Utara Kompol Toni Sugiyanto. "Setelah mendengarkan kesaksian 11 saksi, sidang hari ini memang mendengarkan putusan hakim. Dan putusannya Bripka Vinson dihukum 14 hari penjara," ujarnya, Selasa (19/1).
Sebelumnya, Bripka Vinson Silitongga disidang disiplin lantaran diduga mencabuli Anita (39), bukan nama sebenarnya, warga Perumahan Taman Pondok Indah, Wiyung pada pertengahan September lalu. Waktu itu, korban mengantar temannya yang kehilangan dompet melapor ke Polsek Bubutan.
Rupanya, saat itu Bripka Vinson tertarik dengan korban. Saat itulah Bripka Vinson meminta nomer HP korban. Selanjutnya, Bripka Vinson dan korban berkomunikasi melalui HP.
Tanggal 28 September, Bripka Vinson datang ke rumah korban. Waktu itu Bripka Vinson beralasan hanya sekedar mampir usai dari RS Bhayangkara Polda Jatim. Karena yang datang polisi, korban pun mempersilakan masuk ke rumahnya.
Selanjutnya, Bripka Vinson dan korban terlibat obrolan. Dalam obrolan itu, korban menceritakan kalau punya masalah penagihan uang Rp 1,5 juta yang dipinjam Yimi, warga Putat Gede.
Mendengar keluhan ini, Bripka Vinson lalu mengantar korban menagih uang tersebut ke rumah Yimi. Namun, Yimi tak ada di rumahnya. Karena tak ada di rumah, korban lalu mengambil sebuah lukisan untuk dijadikan sebagai jaminan.
Selanjutnya, korban dan Bripka Vinson kembali ke rumah. Nah, di dalam rumah inilah, Bripka Vinson melakukan perbuatan asusilanya dengan memeluk tubuh korban dan menciuminya sehingga korban berontak.
Sayangnya, penolakan ini tak membuat Bripka Vinson mengurungkan perbuatannya. Bahkan, Bripka Vinson semakin menjadi-jadi dengan memeluk korban dari belakang. bahkan mencoba membuka resleting celana korban sehingga korban kabur ke ruang tamu. Tapi korban terjatuh di sofa. Kondisi ini dimanfaatkan Bripka Vinson untuk memeluk korban.
Bahkan, Bripka Vinson mencoba memperkosa korban yang telah dikaruniai dua anak ini. Korban berusaha melarikan diri ke luar rumah. Satu minggu kemudian, tepatnya 4 Oktober pukul 11.00 WIB, Bripka Vinson kembali datang ke rumah korban. Kali ini Bripka Vinson mengaku suruhan Yimi untuk mengambil lukisan.
Tapi korban tak mau mengembalikan lukisan. Korban mau mengembalikan lukisan asalkan Yimi membayar hutang Rp 1,5 juta. Selanjutnya Bripka Vinson pulang. Sekitar pukul 14.00 WIB, Bripka Vinson kembali datang ke rumah korban. Tapi kali ini Bripka Vinson tak bisa bertemu dengan korban. Karena tak ketemu itulah, Bripka Vinson mengancam dua anak korban.
Ancaman ini membuat korban ketakutan. Merasa tak kuat dengan ancaman tersebut, korban melapor ke unit P3D Polres Surabaya Utara. Dan laporan ini ditindaklanjuti Kapolres Surabaya Utara, AKBP Djoko Hari Utomo dengan menggelar sidang disiplin terhadap Bripka Vinson. [beritajatim.com/mut]
sumber inilah.com
Wakapolres Puncak Jaya Tembak Anak Buah Mabuk
Wakapolres Puncak Jaya, Papua, Kompol Marcelis menembak anak buahnya yang bernama Bripda R Faidiban pada Sabtu pekan lalu, pukul 03.00 dini hari waktu setempat.
Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Agus Rianto mengatakan, aksi penembakan itu terjadi setelah Faidiban diamankan dalam sel tahanan Polres Puncak Jaya karena diketahui mabuk-mabukan.
Faidiban sempat dikeluarkan dari sel, namun dia kembali mabuk-mabukkan, sehingga berusaha diamankan oleh Wakapolres Marcelis. Bukannya menurut, Faidiban justru melempar Marcelis dengan drum, akhirnya Wakapolres mengarahkan tembakan ke arah kaki korban.
"Karena dianggap melawan," ujar Kabid Humas Polda Papua Agus Rianto, Senin (2/11/2009).
Saat ini korban telah dirawat secara intensif di RS Bhayangkara Jayapura. Sementara Tim Propam Polda Papua sedang menuju Kabupaten Puncak Jaya untuk mengamankan Marcelis.
sumber okezone
Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Agus Rianto mengatakan, aksi penembakan itu terjadi setelah Faidiban diamankan dalam sel tahanan Polres Puncak Jaya karena diketahui mabuk-mabukan.
Faidiban sempat dikeluarkan dari sel, namun dia kembali mabuk-mabukkan, sehingga berusaha diamankan oleh Wakapolres Marcelis. Bukannya menurut, Faidiban justru melempar Marcelis dengan drum, akhirnya Wakapolres mengarahkan tembakan ke arah kaki korban.
"Karena dianggap melawan," ujar Kabid Humas Polda Papua Agus Rianto, Senin (2/11/2009).
Saat ini korban telah dirawat secara intensif di RS Bhayangkara Jayapura. Sementara Tim Propam Polda Papua sedang menuju Kabupaten Puncak Jaya untuk mengamankan Marcelis.
sumber okezone
Sepanjang 2009 Tercatat 5.464 Kasus Polisi Nakal
Jajaran Mabes Polri mencatat sudah ada 5.464 kasus pelanggaran yang dilakukan anggotanya di sepanjang tahun 2009. Angka ini mengalami penurunan ketimbang torehan pada tahun lalu.
"Itu data akhir Oktober. Jadi kalau kita prediksi sampai dengan akhir Desember, diharapkan tidak melebihi angka 6.000 kasus," ujar Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Sulistyo Ishak kepada wartawan di Mabes Polri, Jumat (11/12/2009).
Pada tahun 2008, Mabes Polri mencatat terjadi 7.035 kasus pelanggaran disiplin oleh anggotanya yang tersebar di berbagai wilayah. Kasus pelanggaran disiplin terbaru yang dilakukan anggota Polri adalah penyergapan disertai penganiayaan JJ Rizal, seorang penulis di pelataran Depok Town Square.
Rizal dicurigai membawa narkoba dan langsung dipukuli begitu saja. Kini kasus tersebut sedang dalam proses penyidikan. "Kita tidak akan menutup-nutupi kesalahan anggota. Hal itu dalam rangka program polisi untuk meningkatkan kinerja dan citra yang lebih baik," ungkap dia.
sumber okezone
"Itu data akhir Oktober. Jadi kalau kita prediksi sampai dengan akhir Desember, diharapkan tidak melebihi angka 6.000 kasus," ujar Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Sulistyo Ishak kepada wartawan di Mabes Polri, Jumat (11/12/2009).
Pada tahun 2008, Mabes Polri mencatat terjadi 7.035 kasus pelanggaran disiplin oleh anggotanya yang tersebar di berbagai wilayah. Kasus pelanggaran disiplin terbaru yang dilakukan anggota Polri adalah penyergapan disertai penganiayaan JJ Rizal, seorang penulis di pelataran Depok Town Square.
Rizal dicurigai membawa narkoba dan langsung dipukuli begitu saja. Kini kasus tersebut sedang dalam proses penyidikan. "Kita tidak akan menutup-nutupi kesalahan anggota. Hal itu dalam rangka program polisi untuk meningkatkan kinerja dan citra yang lebih baik," ungkap dia.
sumber okezone
Surat Kaleng Kapolwil Kediri Lecehkan 4 Polwan
Kepala Kepolisian Wilayah Kediri Komisaris Besar Polisi Heru Purwanto dituduh telah melakukan sejumlah perbuatan asusila kepada empat orang anggota polisi wanitanya atau Polwan.
Tuduhan yang ditulis pada surat kaleng itu kini beredar di masyarakat Kota Kediri. Di dalam dua lembar kertas berukuran folio yang terfoto copy itu dibeberkan bagaimana secara seksual Kapolwil Heru telah melecehkan Evi, seorang anggota Kepolisian Wilayah Solo yang menjadi anak buahnya saat menjabat Kepala Bagian Lalu Lintas Polwil Solo.
Heru juga dituding melecehkan Brigadir Santi Rahma, seorang Polwan yang menjadi asisten pribadinya saat menjabat Direktorat Lalu Lintas Polda Jawa Tengah. Saat ini Brigadir Santi Rahma bertugas sebagai anggota Kepolisian Daerah Riau.
Heru juga melecehkan Brigadir Satu Fitria anggota Polwan Kepolisian Resor Kampar, serta anggota Polwil Kediri Brigadir Dua Kristin yang kini bertugas di Polda Jawa Timur.
Tidak berhenti sampai disitu, surat yang ditulis seorang anggota polisi berpangkat Ajun Komisaris Polisi dengan inisial AJR itu juga memaparkan bagaimana Heru juga melecehkan anak pemilik kantin di Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Bahkan beberapa di antaranya telah dinikahi siri dan diberikan fasilitas mewah seperti rumah dan mobil.
Kasus ini sempat diperiksa Tim Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum). Namun, kata AJR dalam suratnya, kasus ditutup dengan sejumlah uang. "Kasus ini ditutup dengan sejumlah uang," tulis AKP AJR dalam suratnya.
Yang menarik, surat ini sengaja dilaporkan AKP AJR kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dengan tembusan ibu negara Ani Yudhoyono, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Kompolnas, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Komnas HAM, anggota Komisi III DPR RI, Ketua Ombudsman, KPK dan Kapolda Jawa Timur
Ditemui secara terpisah Kombes Pol Heru Purwanto membantah tudingan tersebut. Dia mengatakan jika surat serupa sudah beredar pada Bulan Juli 2009 lalu dan sudah ditindaklanjuti oleh Irwasum.
Heru juga membenarkan jika empat bulan lalu, tim Irwasum kembali mendatanginya untuk kepentingan penyelidikan. "Logikanya jika saya salah tentu sudah tidak di sini sekarang," ujar Kapolwil yang sudah 2 tahun menjabat di Kediri ini kepada wartawan, Senin (25/1/2010).
Heru menduga surat kaleng tersebut sengaja ditulis dan disebarkan oleh salah satu anggotanya yang kecewa dengan kebijakannya.
Heru bahkan langsung melontarkan tudingan kepada salah salah satu dari 77 perwira di jajaran Kepolisian Wilayah Kediri yang nonjob sebagai pelaku penyebaran surat kaleng tersebut. "Saya akan melakukan penyelidikan ke dalam,karena ini pasti datangnya dari dalam," tegasnya.
sumber okezone
Tuduhan yang ditulis pada surat kaleng itu kini beredar di masyarakat Kota Kediri. Di dalam dua lembar kertas berukuran folio yang terfoto copy itu dibeberkan bagaimana secara seksual Kapolwil Heru telah melecehkan Evi, seorang anggota Kepolisian Wilayah Solo yang menjadi anak buahnya saat menjabat Kepala Bagian Lalu Lintas Polwil Solo.
Heru juga dituding melecehkan Brigadir Santi Rahma, seorang Polwan yang menjadi asisten pribadinya saat menjabat Direktorat Lalu Lintas Polda Jawa Tengah. Saat ini Brigadir Santi Rahma bertugas sebagai anggota Kepolisian Daerah Riau.
Heru juga melecehkan Brigadir Satu Fitria anggota Polwan Kepolisian Resor Kampar, serta anggota Polwil Kediri Brigadir Dua Kristin yang kini bertugas di Polda Jawa Timur.
Tidak berhenti sampai disitu, surat yang ditulis seorang anggota polisi berpangkat Ajun Komisaris Polisi dengan inisial AJR itu juga memaparkan bagaimana Heru juga melecehkan anak pemilik kantin di Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Bahkan beberapa di antaranya telah dinikahi siri dan diberikan fasilitas mewah seperti rumah dan mobil.
Kasus ini sempat diperiksa Tim Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum). Namun, kata AJR dalam suratnya, kasus ditutup dengan sejumlah uang. "Kasus ini ditutup dengan sejumlah uang," tulis AKP AJR dalam suratnya.
Yang menarik, surat ini sengaja dilaporkan AKP AJR kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dengan tembusan ibu negara Ani Yudhoyono, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Kompolnas, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Komnas HAM, anggota Komisi III DPR RI, Ketua Ombudsman, KPK dan Kapolda Jawa Timur
Ditemui secara terpisah Kombes Pol Heru Purwanto membantah tudingan tersebut. Dia mengatakan jika surat serupa sudah beredar pada Bulan Juli 2009 lalu dan sudah ditindaklanjuti oleh Irwasum.
Heru juga membenarkan jika empat bulan lalu, tim Irwasum kembali mendatanginya untuk kepentingan penyelidikan. "Logikanya jika saya salah tentu sudah tidak di sini sekarang," ujar Kapolwil yang sudah 2 tahun menjabat di Kediri ini kepada wartawan, Senin (25/1/2010).
Heru menduga surat kaleng tersebut sengaja ditulis dan disebarkan oleh salah satu anggotanya yang kecewa dengan kebijakannya.
Heru bahkan langsung melontarkan tudingan kepada salah salah satu dari 77 perwira di jajaran Kepolisian Wilayah Kediri yang nonjob sebagai pelaku penyebaran surat kaleng tersebut. "Saya akan melakukan penyelidikan ke dalam,karena ini pasti datangnya dari dalam," tegasnya.
sumber okezone
Langganan:
Postingan (Atom)
Istri Tewas & Suami Dipenjara
Pengacara: BAP Lanjar Dibuat Seolah-olah Kecelakaan Tunggal.
Polisi dinilai sengaja membuat penyimpangan dalam kasus kecelakaan yang menimpa Lanjar. Dalam BAP Lanjar, tidak disebutkan bahwa istrinya tewas akibat tertabrak mobil setelah terjatuh dari motor. Kecelakaan yang dialami Lanjar dibuat seolah-olah kecelakaan tunggal
selengkapnya
Denda Tilang Tidak Lebih dari 50rb (INFO WAJIB DIBACA!!)
Beberapa waktu yang lalu sekembalinya berbelanja kebutuhan, saya sekeluarga pulang dengan menggunakan taksi. Ada adegan yang menarik ketika saya menumpang taksi tersebut, yaitu ketika sopir taksi hendak ditilang oleh polisi. Sempat teringat oleh saya dialog antara polisi dan sopir taksi..
selengkapnya