Tanpa kita sadari, kehidupan kita sampai hari ini, bersinggungan dengan yang namanya “polisi”. Mulai dari tingkat Pospol (Pos Polisi) sampai Mabes Polri. Dari pangkat Bharada sampai dengan Jenderal.
Banyak saat dimana kita begitu anti dengan polisi. Tapi, di banyak saat yang lain, kita menjadi respek dan kagum dengan polisi.
Hal yang juga saya temui di banyak orang, sebagian dari mereka begitu membenci polisi. Sebagian dari mereka juga, begitu kagum dan berharap besar pada polisi.
Pada kenyataannya. Bahwa, polisi adalah alat (atau apapun-lah namanya) yang harus ada di setiap negara. Bahwa, polisi adalah penting dan lembaga penyelesai masalah. Meski, sesekali, polisi juga (mau tidak mau) menjadi bagian dari penyebab masalah.
Awam kemudian menyebutnya sebagai Oknum. Ini istilah paling egaliter dan santun untuk memisahkan polisi sebagai institusi dan polisi sebagai perseorangan.
Kita dan banyak orang, telah menjadi saksi bagaimana tahun 1998 menjadi momentum penting bagi polisi. Ketika angkatan yang satu ini dipisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Kita dan banyak orang, juga telah menjadi saksi bagaimana polisi berubah. Kantor-kantornya. Seragamnya. Kepangkatannya. Peralatan dan perlengkapannya. Persenjataannya. Kapasitas intelektualnya. Dan yang penting lagi adalah, bagaimana kemudian polisi telah memiliki banyak
perangkat konstitusi yang menjadi lembaga ini bisa mengungkap apa saja yang oleh publik dianggap sebagai kejahatan. Mulai dari kejahatan terencana, kejahatan tidak sengaja, kejahatan disengaja, sampai kejahatan (yang mungkin saja) dibuat agar menjadi kejahatan.
Kebetulan, dalam sebuah diskusi dengan seorang kawan yang dinas di Kepolisian, fakta ini diterima dengan senyuman. “Ya, itulah polisi. Bahwa, keberadaan polisi itu harus ada di setiap negara. Polisi tidak bisa dihilangkan dari struktur kenegaraan. Kalau kemudian terjadi persoalan dengan institusi ini, tentu ini masalah orang-perorang atau kepentingan. Polisi sebagai bagian dari negara, tidak mungkin bermasalah. Karena, polisi adalah penjaga ketertiban dan keamanan. Jadi, yang diselesaikan bukan polisinya. Tapi, masalahnya,” kata kawan itu.
Mengesankan untuk seorang kawan saya yang menjadi “polisi” di negara Indonesia yang terus
belajar berdemokrasi ini. Minimal, bagi saya, kawan ini telah meyakinkan bahwa polisi sebagai institusi, tidak mungkin menjauh dari demokrasi yang sedang bergerak di Republik Indonesia. Bahwa, polisi tidak bisa menjadi pengekang, penghambat apalagi menjadi masalah bagi demokrasi. Polisi harus bergerak bersama demokrasi dalam koridor penjaga keamanan dan ketertiban.
* * *
Kepada lima orang, saya pernah mengajukan pertanyaan yang sama: polisi itu kawan, atau lawan?
Jawabnya mengejutkan. Kelimanya spontan menjawab lawan, kemudian terdiam beberapa saat, dan menjawab pelan: “Ya… kawan juga sih?”
Seperti ambigu, tetapi tidak.
Saya meyakini, ketika seseorang memiliki trauma dengan polisi, maka dia akan menyebut polisi sebagai lawan. Sebaliknya, ketika seseorang terkesan oleh pelayanan polisi, maka baginya polisi adalah kawan. Meski, pada ujungnya, ketika seseorang menjadi korban kejahatan atau menjadi korban ketidak-adilan, yang muncul di kepalanya agar masalah itu diselesaikan cuma satu kata: polisi!
Jadi, kalau ada pertanyaan: seperti apa polisi ideal itu, jawabannya bisa sangat relatif. Bisa jadi, kalau sepuluh orang yang ditanya, akan ada sepuluh profil polisi ideal. Kalau seribu, bisa jadi juga akan ada seribu profil polisi ideal.
Tentu, ini tidak bisa menjadi permakluman bahwa polisi tidak perlu punya bentuk. Justru, ini adalah catatan penting buat siapapun yang menjadi pimpinan polisi dan jajarannya. Bahwa, polisi bukan saja berada di wilayah hukum dan adminstratif. Polisi juga ada di wilayah persepsi publik.
Sama seperti kenyamanan dan kebahagiaan, setiap orang akan punya persepsi terhadapnya. Dalam konteks kehidupan bernegara, persepsi itulah yang kemudian diwujudkan dalam berbagai program, kebijakan dan performa. Sehingga, negara memiliki standar untuk membuat rakyatnya nyaman dan bahagia.
Polisi juga sama. Harusnya ada standar polisi ideal. Polisi yang belajar dari perjalanan sejarahnya, perjalanan bangsa dan yang paling penting adalah belajar terus menghayati dinamika rakyatnya.
Polisi tidak bisa berjalan sendiri. Karena, polisi pada hakekatnya adalah rakyat juga…
sumber kompasiana
Minggu, 22 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Istri Tewas & Suami Dipenjara
Pengacara: BAP Lanjar Dibuat Seolah-olah Kecelakaan Tunggal.
Polisi dinilai sengaja membuat penyimpangan dalam kasus kecelakaan yang menimpa Lanjar. Dalam BAP Lanjar, tidak disebutkan bahwa istrinya tewas akibat tertabrak mobil setelah terjatuh dari motor. Kecelakaan yang dialami Lanjar dibuat seolah-olah kecelakaan tunggal
selengkapnya
Denda Tilang Tidak Lebih dari 50rb (INFO WAJIB DIBACA!!)
Beberapa waktu yang lalu sekembalinya berbelanja kebutuhan, saya sekeluarga pulang dengan menggunakan taksi. Ada adegan yang menarik ketika saya menumpang taksi tersebut, yaitu ketika sopir taksi hendak ditilang oleh polisi. Sempat teringat oleh saya dialog antara polisi dan sopir taksi..
selengkapnya
0 komentar:
Posting Komentar