Sabtu, 21 November 2009

Salah Tangkap dan Salah Menghukum

Dominikus Dalu S

Kepolisian sepertinya terperosok pada lubang yang sama, terkait kasus salah tangkap.

Para korban bahkan dijebloskan ke penjara atas kasus pidana yang tidak pernah mereka lakukan, peradilan sesat terjadi di depan mata. Keinginan mengungkap kejahatan oleh para penegak hukum malah membuat kejahatan baru dengan menghukum orang tidak bersalah.

Kita diingatkan kisah klasik Sengkon dan Karta (1974) yang dijebloskan ke penjara karena dituduh merampok dan membunuh, hal yang tidak pernah mereka lakukan terhadap korban suami-istri Sulaiman dan Siti Haya di Desa Bojong, Bekasi.

Budi Harjono yang disangka membunuh ayah kandungnya tahun 2002 di Bekasi ternyata bernasib sama karena tidak pernah membunuh ayahnya sendiri.

Tahun 2007, terjadi peradilan sesat atas Risman Lakoro dan Rostin Mahaji, warga Kabupaten Boalemo, Gorontalo, dan menjalani hukuman di balik jeruji besi atas pembunuhan anak gadisnya, Alta Lakoro. Namun, pada Juni 2007, kebenaran terkuak, korban masih hidup dan muncul di kampung halamannya.

Kejadian paling akhir adalah kasus Asrori, korban ke-11 yang diakui Very Idam Henyansyah alias Ryan, si pembunuh berantai. Setelah dilakukan penggalian mayat, ternyata jasad Asrori alias Aldo sesuai hasil pemeriksaan DNA sama dengan jenis darah kedua orangtua almarhum.

Meski Mabes Polri lalu meralat kejadian kesalahan penangkapan itu dengan alasan belum ada kepastian akan kebenarannya karena ada dua mayat yang konon bernama Asrori yang sedang diidentifikasi kepolisian, beritanya menjadi simpang siur. Sementara itu, tiga orang telah ditahan karena sudah berstatus terpidana dan terdakwa atas kasus pembunuhan yang menurut mereka— Devid Eko Prianto, Imam Hambali alias Kemat yang telah divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Jombang 10 tahun lebih, serta Maman Sugianto alias Sugik yang sedang disidang Pengadilan Negeri Jombang—tidak pernah mereka lakukan.

Hukum pidana kita telah mengatur pembuktian (Pasal 184 Ayat 1 KUHAP) bukan hanya pengakuan tersangka yang dapat dijadikan alat bukti. Dalam praktik, agar tersangka mengakui perbuatannya, penyidik kepolisian menggunakan berbagai cara, termasuk kekerasan, dan hampir semua korban salah tangkap mengalaminya.

Praktik penyiksaan

Kisah salah tangkap memang tidak menggambarkan citra kepolisian secara keseluruhan. Namun, sudah menjadi pengetahuan umum praktik penyiksaan tahanan serta kekerasan oleh kepolisian sering menghiasi keseharian tugas kepolisian. Harapan terhadap kepolisian sebagaimana bunyi Pasal 13 (c) UU No 2 Tahun 2002, yaitu ”Kepolisian RI bertugas memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”, sepertinya masih jauh panggang dari api.

Komite Anti-penyiksaan PBB dalam laporannya, 5-7 Mei 2008, menyatakan, praktik penyiksaan yang melanggar HAM di Indonesia cenderung meluas meski kita merupakan salah satu negara pihak yang telah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia melalui UU No 5/1998.

Kita berharap pimpinan kepolisian menindak tegas oknum polisi yang terbukti bersalah melakukan kesalahan penangkapan, apalagi melakukan kekerasan kepada korban tidak bersalah. Kejadian salah tangkap dan salah menghukum menjadi salah satu alasan utama penolakan hukuman mati oleh pendapat yang kontra hukuman mati (abolisionis).

Alangkah berbahayanya pelaksanaan hukuman mati bila ternyata terpidana tidak bersalah, di mana sistem hukum di negara kita yang masih lemah, terlebih aparatnya masih tidak profesional seperti saat ini. Namun, bagi mereka yang prohukuman mati (retentionis) menyatakan, hukuman mati adalah tepat bagi pelaku pembunuhan (paham pembalasan). Jika demikian, agar hukum tetap tegak dan konsisten bagi terpidana mati yang ternyata tidak bersalah, dapatkah penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim, yang terlibat penghukuman mati itu harus dihukum mati juga sebagai balasannya. Sejauh ini belum ada preseden dan sistem hukum kita belum mengakomodasi hal ini.

Darurat hukum

Para korban salah tangkap dan salah hukum berhak mengajukan upaya hukum, seperti permohonan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung dengan menyerahkan bukti baru (novum) serta gugatan ganti rugi dan rehabilitasi sebagaimana diatur di dalam KUHAP. Akan tetapi, upaya itu membutuhkan waktu lama dan birokrasi bertele-tele. Karena itu, terobosan menghadapi situasi seperti ini perlu diterapkan langkah darurat. Mengingat para korban kini masih mendekam di penjara dan di tahanan, dibutuhkan langkah cepat dan tepat.

Penegak hukum hendaknya tidak saling lempar tanggung jawab, menyalahkan, dan tidak boleh bersikap pasif jika ada fakta bahwa korban tidak bersalah, seperti bunyi Pembukaan UUD 45, negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia.

Negara melalui penegak hukum—yang paling bertanggung jawab, yaitu Kepala Polri, Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung—hendaknya berkoordinasi dan mengambil langkah prioritas membantu memproses PK para korban dan menyidangkan gugatan ganti rugi serta merehabilitasi nama baik korban.

Para korban yang tidak bersalah itu sebaiknya mendapat ganti rugi yang layak dari negara dan bila perlu ganti rugi itu dibebankan kepada para penegak hukum yang terlibat peradilan sesat atas diri korban.

Kasus salah menghukum adalah kasus pelanggaran HAM yang sistematis dan termasuk jenis kejahatan amat serius. Karena itu, penanganannya harus bersifat extra ordinary. Para korban dapat pula menuntut para penegak hukum yang salah menghukum secara pidana dan perdata, misalnya karena penganiayaan sesuai dengan Pasal 351 KUHP dan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum.

Pelajaran dari berulangnya salah tangkap dan salah hukum bagi semua aparat penegak hukum adalah male enim nostro iure uti non debemus, janganlah kita salah menggunakan hukum kita.

Dominikus Dalu S Asisten Ombudsman pada Komisi Ombudsman Nasional; Pendapat Pribadi

sumber kompas

0 komentar:

Istri Tewas & Suami Dipenjara
Pengacara: BAP Lanjar Dibuat Seolah-olah Kecelakaan Tunggal. Polisi dinilai sengaja membuat penyimpangan dalam kasus kecelakaan yang menimpa Lanjar. Dalam BAP Lanjar, tidak disebutkan bahwa istrinya tewas akibat tertabrak mobil setelah terjatuh dari motor. Kecelakaan yang dialami Lanjar dibuat seolah-olah kecelakaan tunggal selengkapnya
Denda Tilang Tidak Lebih dari 50rb (INFO WAJIB DIBACA!!)
Beberapa waktu yang lalu sekembalinya berbelanja kebutuhan, saya sekeluarga pulang dengan menggunakan taksi. Ada adegan yang menarik ketika saya menumpang taksi tersebut, yaitu ketika sopir taksi hendak ditilang oleh polisi. Sempat teringat oleh saya dialog antara polisi dan sopir taksi.. selengkapnya