Di mata Sahaya, suaminya adalah pria baik yang jauh dari dunia kriminal, karena itu ia tak percaya kesimpulan polisi yang menembak mati suaminya, karena diduga terlibat perdagangan senjata api.
Riauterkini-PASIRPANGARAIAN-“Oh.. Amang.. Sudah kami bilang jangan keluar rumah. Tetapi kau tetap keluar juga,”.. Ratap dan sesal Sahaya Boru Ritonga, istri korban penembakan oleh polisi, disamping jenazah suaminya, Baduali Pohan (45), yang terbujur kaku. Korban tewas ditembak polisi, karena diduga akan bertransaksi senjata api dan melakukan perlawanan saat akan ditangkap polisi.
Ayah dari 3 anak, 2 laki-laki dan 1 perempuan itu tewas, dan diduga akan melakukan perlawanan, saat akan ditangkap. Baduali Pohan, juga sempat mendapat pertolongan. Namun naas, karena korban meninggal dalam perjalanan, ketika akan dibawa ke RSUD Pasirpangaraian, Selasa (4/5/10) sekitar pukul 02.00 Wib.
Tidak seperti biasanya, rumah gubuk kecil 4 x 6 meter, ditengah kebun sawit seluas 2 hektar milik keluarganya, di jalan Jepang Dusun IV Tanjung Beringin Desa Batang Kumu Kecamatan Tambusai Rohul. Ramai didatangi oleh sebagian masyarakat Kecamatan Tambusai. Bahkan Camat Tambusai Tengku Fauzan, bersama sejumlah perwira dari Polres Rohul, juga ikut dalam prosesi pemakaman korban, pada Selasa (4/5/10) sekitar pukul 17.00 Wib.
Anak korban, Siti Aisyah (12), murid kelas 6 SD Batang Kumu Tambusai, juga menangis dibelakang rumahnya. Ia sangat sedih saat itu, karena ia merupakan orang pertama yang menasehati ayah-nya agar tidak keluar rumah, Selasa (4/5/10) sekitar pukul 10.00 Wib. Selesai panen cabai di kebun belakang rumahnya, dan akan dijual ke Pekan Selasa Kecamatan Tambusai. “Janganlah bapak keluar, bapak kan masih capek. Istirahatlah dulu pak,” cerita Siti, masih terisak di belakang rumahnya, duduk diatas tunggul di bawah pohon kelapa sawit, didampingi nang uda-nya (adik ayah).
Siti Aisyah, bahkan tidak percaya atas kematian ayahnya. Apalagi sampai ditembak mati oleh oknum polisi. Menurutnya, ayahnya hanyalah seorang petani dan tidak pernah terlibat dalam tindak kriminal. Sehingga ia dan keluarganya tidak percaya atas penembakan itu. “Bapak hanya seorang petani, tidak mungkin ia sejahat itu,” ungkap Siti dengan lugunya.
Sementara istri korban, Sahaya Boru Ritonga, yang baru siuman dari pingsannya. Dengan setia duduk disamping jenazah suaminya. Tangisnya semakin menjadi, ketika ada beberapa orang pelayat yang datang untuk melayat suaminya. Seperti anaknya, ia juga tidak percaya atas keterlibatan suaminya ke dalam kelompok penjual senjata api. Karena kesehariannya hanya memegang cangkul dan parang babat ilalang. Temannya hanyalah matahari, bukan timah panas, yang bisa membunuh orang dalam sekejap. “Saya tidak percaya sejahat itu suamiku. Karena ia bapak yang baik untuk anak-anak kami,” cerita Sahaya, sambil menangis.
Beberapa warga yang sempat cerita saat melayat di rumah korban, sekaligus rekan sehari-hari korban, yang biasa duduk di warung kopi, tidak percaya atas kematian korban. Karena menurut mereka, Baduali Pohan, merupakan sosok yang humoris, dan mempunyai rasa sosial kepada masyarakat. Tetapi mereka hanyalah manusia biasa, sehingga tidak bisa membaca perilaku orang diluar, termasuk korban.
“Kalau di kampung, ia baik dan suka humor. Kita tidak tahu bagaimana sepakterjangnya diluar kampung. Namun kita tetap tidak percaya, karena ia hanya petani. Mana miungkin bermain senjata api, apalagi senjata api ilegal,” cerita seorang warga pelan, karena takut didengar orang lain.riauterkini.com
Riauterkini-PASIRPANGARAIAN-“Oh.. Amang.. Sudah kami bilang jangan keluar rumah. Tetapi kau tetap keluar juga,”.. Ratap dan sesal Sahaya Boru Ritonga, istri korban penembakan oleh polisi, disamping jenazah suaminya, Baduali Pohan (45), yang terbujur kaku. Korban tewas ditembak polisi, karena diduga akan bertransaksi senjata api dan melakukan perlawanan saat akan ditangkap polisi.
Ayah dari 3 anak, 2 laki-laki dan 1 perempuan itu tewas, dan diduga akan melakukan perlawanan, saat akan ditangkap. Baduali Pohan, juga sempat mendapat pertolongan. Namun naas, karena korban meninggal dalam perjalanan, ketika akan dibawa ke RSUD Pasirpangaraian, Selasa (4/5/10) sekitar pukul 02.00 Wib.
Tidak seperti biasanya, rumah gubuk kecil 4 x 6 meter, ditengah kebun sawit seluas 2 hektar milik keluarganya, di jalan Jepang Dusun IV Tanjung Beringin Desa Batang Kumu Kecamatan Tambusai Rohul. Ramai didatangi oleh sebagian masyarakat Kecamatan Tambusai. Bahkan Camat Tambusai Tengku Fauzan, bersama sejumlah perwira dari Polres Rohul, juga ikut dalam prosesi pemakaman korban, pada Selasa (4/5/10) sekitar pukul 17.00 Wib.
Anak korban, Siti Aisyah (12), murid kelas 6 SD Batang Kumu Tambusai, juga menangis dibelakang rumahnya. Ia sangat sedih saat itu, karena ia merupakan orang pertama yang menasehati ayah-nya agar tidak keluar rumah, Selasa (4/5/10) sekitar pukul 10.00 Wib. Selesai panen cabai di kebun belakang rumahnya, dan akan dijual ke Pekan Selasa Kecamatan Tambusai. “Janganlah bapak keluar, bapak kan masih capek. Istirahatlah dulu pak,” cerita Siti, masih terisak di belakang rumahnya, duduk diatas tunggul di bawah pohon kelapa sawit, didampingi nang uda-nya (adik ayah).
Siti Aisyah, bahkan tidak percaya atas kematian ayahnya. Apalagi sampai ditembak mati oleh oknum polisi. Menurutnya, ayahnya hanyalah seorang petani dan tidak pernah terlibat dalam tindak kriminal. Sehingga ia dan keluarganya tidak percaya atas penembakan itu. “Bapak hanya seorang petani, tidak mungkin ia sejahat itu,” ungkap Siti dengan lugunya.
Sementara istri korban, Sahaya Boru Ritonga, yang baru siuman dari pingsannya. Dengan setia duduk disamping jenazah suaminya. Tangisnya semakin menjadi, ketika ada beberapa orang pelayat yang datang untuk melayat suaminya. Seperti anaknya, ia juga tidak percaya atas keterlibatan suaminya ke dalam kelompok penjual senjata api. Karena kesehariannya hanya memegang cangkul dan parang babat ilalang. Temannya hanyalah matahari, bukan timah panas, yang bisa membunuh orang dalam sekejap. “Saya tidak percaya sejahat itu suamiku. Karena ia bapak yang baik untuk anak-anak kami,” cerita Sahaya, sambil menangis.
Beberapa warga yang sempat cerita saat melayat di rumah korban, sekaligus rekan sehari-hari korban, yang biasa duduk di warung kopi, tidak percaya atas kematian korban. Karena menurut mereka, Baduali Pohan, merupakan sosok yang humoris, dan mempunyai rasa sosial kepada masyarakat. Tetapi mereka hanyalah manusia biasa, sehingga tidak bisa membaca perilaku orang diluar, termasuk korban.
“Kalau di kampung, ia baik dan suka humor. Kita tidak tahu bagaimana sepakterjangnya diluar kampung. Namun kita tetap tidak percaya, karena ia hanya petani. Mana miungkin bermain senjata api, apalagi senjata api ilegal,” cerita seorang warga pelan, karena takut didengar orang lain.riauterkini.com
0 komentar:
Posting Komentar