Selasa, 13 April 2010

Masalah di Tubuh Polri: Oknum atau Sistemik?


Setiap ada persoalan yang menyangkut anggotanya, Polri selalu membela diri dengan menyatakan bahwa itu merupakan ulah “oknum”. Bahkan, menyebut “polisi” saja — tanpa “oknum” di depannya– untuk hal-hal yang buruk sangat mungkin akan berakhir pada pemerkaraan sang penyebut.

Akan tetapi, melihat perkembangan akhir-akhir ini, masihkah kita percaya bahwa itu hanya “oknum”? Masih lekat dalam ingatan kita, ketika pertama kali Susno Duadji (SD) mengumandangkan tudingan ‘markus’, antara lain pada Edmond Ilyas (EI) dan Radja Erisman (RE), Polri spontan membantah dan kemudian memperkarakan SD, tanpa terlebih dahulu menyelidiki apakah tudingan SD itu benar atau tidak.

Padahal, mestinya susbtansi tudingan itu yang mestinya diselidiki dulu. Kalau ternyata tidak benar, baru kemudian yang melancarkan tudingan (SD) dapat diperkarakan. Sebaliknya, kalau ternyata benar, berarti tudingan SD valid, mestinya Polri harus memberi penghargaan pada SD, bukan malah memperkarakannya.

Kenyataan bahwa EI kemudian dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda Lampung merupakan indikasi bahwa dia memang bersalah. Dan oleh karena itu, bantahan spontan serta langkah yang prematur terhadap SD justru menunjukkan bahwa ada ’sesuatu’ di tubuh Polri, yang sepertinya hendak disembunyikan.

Identifikasi masalah apakah itu ulah oknum ataukah sistemik, punya implikasi yang jauh berbeda. Kalau hanya ulah oknum, maka penyelesaiannya bisa melalui jalur internal dan jalur hukum. Secara internal, polri cukup menjatuhkan sanksi administratif pada anggota yang melanggar, dan jika ada indikasi pidana, menyerahkan kasusnya untuk diproses sesuai prosedur.

Akan tetapi, kalau ternyata masalahnya bersifat sistemik, maka langkah internal saja tidak cukup. Diperlukan langkah politis dari pihak di luar (atas) polri untuk membenahinya. Presiden (dan DPR) harus turun tangan.

Saya pribadi percaya, bahwa masalah di tubuh polri sebenarnya bersifat sistemik. Kalau ada yang tidak percaya, cobalah baca buku biografi (alm) Hoegeng. Dari situ kita akan tahu, bahwa perilaku (oknum) dari dulu sampai sekarang tidak berubah (mis: suap, menjadi beking judi, terlibat penyelundupan, rekayasa kasus, melindungi anak pejabat, dsb). Dan jika ada suatu masalah, tidak kunjung bisa diselesaikan, atau bahkan kelihatan semakin parah, maka itu berarti sistem tidak berjalan dengan baik.

Bedanya dengan sekarang adalah, waktu Hoegeng menjadi Kapolri, itu dianggap sebagai masalah, sehingga beliau berinisiatif untuk melakukan ‘pembersihan’ di internal polri (tanpa harus ‘dipaksa-paksa’ oleh pihak luar). Sekarang, ‘pembenahan’ dilakukan setengah hati, dan baru dilakukan kalau ‘terpaksa’ karena besarnya tekanan publik. Kasus SD dan EI di awal tulisan ini merupakan petunjuk yang sangat kuat untuk indikasi tsb.

Oleh karena itu, saya juga berpendapat bahwa persoalan di tubuh polri berubah dari masalah ‘oknum’ ke ’sistemik’ sejak Pak Harto mencopot Hoegeng dari jabatan kapolri, justru ketika Hoegeng melakukan pembersihan di dalam tubuh polri dari hal-hal yang sekarang kita sebut sebagai makelar kasus. Sejak saat itu, kita belum pernah mendengar adalah langkah-langkah signifikan yang dilakukan untuk membersihkan polri. Bahkan kemudian ada kesan bahwa menjadi polisi bersih itu ’salah’, atau paling tidak dinilai ‘aneh’, dan bisa-bisa malah ‘di-Hoegeng-kan’. Jadi, jangan heran kalau sekarang seolah-olah ‘meledak’, karena masalahnya sudah berakumulasi selama puluhan tahun.

Di dunia kesehatan ada pameo: Bahkan dokter yang paling hebat sekalipun tidak akan dapat menyembuhkan penyakit, kalau si pasien tidak mau berterus terang tentang penyakit dan apa yang dirasakannya. Analog dengan itu, sekali lagi: menurut saya, pembenahan di tubuh polri hanya dapat dilakukan secara signifikan, kalau didahului oleh sebuah ‘pengakuan’ dari pemerintah, bahwa persoalan itu bersifat sistemik.

Dan itu artinya, kebijakan reformasi di tubuh polri perlu dilakukan secara ’sistemik’ pula, tidak hanya ‘tambal sulam’. Dan sekali lagi, proses itu tidak bisa diserahkan kepada internal polri, juga tidak pada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Presiden (dan DPR) perlu turun tangan, atau minimal bersiap untuk turun tangan, guna mengambil langkah-langkah yang lebih signifikan. Tanpa itu, jangan kaget kalau masalah-masalah seperti ini akan terus berulang di masa mendatang.

polhukam.kompasiana.com/

0 komentar:

Istri Tewas & Suami Dipenjara
Pengacara: BAP Lanjar Dibuat Seolah-olah Kecelakaan Tunggal. Polisi dinilai sengaja membuat penyimpangan dalam kasus kecelakaan yang menimpa Lanjar. Dalam BAP Lanjar, tidak disebutkan bahwa istrinya tewas akibat tertabrak mobil setelah terjatuh dari motor. Kecelakaan yang dialami Lanjar dibuat seolah-olah kecelakaan tunggal selengkapnya
Denda Tilang Tidak Lebih dari 50rb (INFO WAJIB DIBACA!!)
Beberapa waktu yang lalu sekembalinya berbelanja kebutuhan, saya sekeluarga pulang dengan menggunakan taksi. Ada adegan yang menarik ketika saya menumpang taksi tersebut, yaitu ketika sopir taksi hendak ditilang oleh polisi. Sempat teringat oleh saya dialog antara polisi dan sopir taksi.. selengkapnya